Kisah Reformasi Mahasiswa dengan Bekal Perut Kenyang
Reformasi Mahasiswa dengan berbekal perut kenyang.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Muhammad Subarkah
Dalam sebuah wawancara di televisi kala mantan presiden Soeharto wafat, pengamat politik Sukardi Rinakit yang waktu itu diwawancarai bersama Emha Ainun Nadjib menceritakan pengalamannya bertemu dia setelah tak lagi menjadi presiden. Dia sempat bertanya seperti ini kepada Pak Harto (panggilan akrab Soeharto) mengenai kesannya atas demonstrasi yang dilakukan mahasiswa itu.
Saat itu Sukardi menjawab kurang lebih sepert ini dengan menirukan jawaban Pak Harto. "Mereka anak-anak saya. Mereka pintar, bisa sekolah dengan baik, dan berpakaian yang juga baik juga karena ada peran saya di sana."
"Apa kesan Bapak kalau begitu?" sahut Sukardi.
"Ngenes," jawab Soeharto. Dia lalu menceritakan situasi keadaan rakyat yang kala itu banyak yang kembali antre bahan makanan seperti pada zaman Jepang atau Orde Lama. Rupanya, meski keluarga sudah melarang Pak Harto menonton tayangan televisi yang saat itu penuh bully-an kepadanya, ternyata diam-diam ia melihatnya juga.
Saat itu Pak Harto melihat tayangan berita di televisi mengenai rakyat yang kembali mengantre bahan makanan. Apalagi, kala itu pemerintahan Presiden BJ Habibie yang baru menggantikannnya mengadakan program socila safety net (jaring pengamanan sosial) dengan cara membagi bahan sembilan bahan pokok. Kala itu penulis pun sempat meliput acara pembagian sembako di beberapa kota pantura bersama Jenderal Wiranto.
*****
Uniknya, berbeda dengan situasi pada tahun-tahun pertama reformasi yang sempat ada pembagian "sembako" kepada rakyat, jalannya demonstrasi mahasiswa yang menduduki Gedung Parlemen Senayan berlangsung dengan penuh pasokan bakan makanan.
"Revolusi, revolusi, revolusi sampai mati!" Ungkapan heroik ini kala itu selalu terdengar meledak seperti tembok tebal yang roboh ketika massa demonstran selama tiga hari menduduki Gedung DPR (Gedung Parlemen) di Senayan, Jakarta.
Ribuan orang menyesaki gedung yang memakai model arsitektur tempurung atau batok kelapa ala punggung kura-kura itu. Massa berjaket mahasiswa memang menjadi mayoritasnya. Namin, memang juga tampak massa dari kalangan rakyat biasa atau pelajar yang ikut memadati area gedung itu.
Entah dari mana datangnya, massa tiba-tiba memasuki gedung parlemen itu laksana munculnya gelontoran air bah akibat terjadinya bencana tsunami raksasa. Kabar burung yang beredar saat itu menyatakan pihak Panglima ABRI, Jenderal Wiranto, saat itu memutuskan membuka pintu gedung parlemen agar massa bisa masuk guna menghindari munculnya korban yang tak diinginkan. Akibatnya, massa yang semula hanya berada di luar gedung atau jalanan kini masuk ke dalam arena gedung itu.
Maka, pihak keamanan pun kala itu tak mau lagi ngotot membiarkan massa terus berada di luar gedung atau menyesaki jalanan Gatot Subroto. Mereka terlihat membiarkan massa menjebol pintu masuk yang ada di bagian depan gedung yang sebelumnya memang dijaga dan dipertahankan secara ketat.
Gedung Parlemen Berubah Jadi Pasar Rakyat
Tentu saja ribuan massa yang kemudian masuk ke dalam area Gedung DPR membuat suasana ingar bingar. Awalnya halaman memang kosong seperti hari-hari biasa. Namun, karena massa dibiarkan masuk, dalam sekejap seluruh pojok dan sisi ruang yang ada di dalam atau di halaman gedung menjadi disesaki orang.
Tanpa ada komando resmi, aktivitas parlemen langsung terhenti. Suara teriakan dan kerumunan orang segera mengharu biru ruang dan udara gedung parlemen. Tak beberapa lama setelah massa menyesaki halaman, sebuah panggung orasi didirikan. Sementara itu, di tangga dan di atap gedung kura-kura, massa terlihat duduk-duduk.
Berbagai grafiti yang berisi hujatan kepada pemerintahan Presiden Suharto dicoretkan. Tulisan memaki Orde Baru dan ABRI dicoretkan di dinding gedung parlemen. Tulisan makian poster gantung Suharto dan ABRI the sons of bicth disemprotkan dengan cat warna hitam dan merah di tembok samping tangga naik gedung parlemen.
Suasana gedung parlemen pun lantas berubah mirip pasar rakyat. Keriuhan berlangsung dari pagi sampai malam dan sampai pagi kembali. Sejumlah tokoh dari Amien Rais, Adnan Buyung, hingga berbagai pimpinan organisasi mahasiswa silih berganti datang ke gedung itu untuk memberikan orasi.
Isi atau tema pidato para orator saat itu cuma satu: "Suharto segera mundur dari jabatan presiden. Setelah itu, serahkan negara ke rakyat!"
Tak hanya berisi makian kepada penguasa saat itu, di tengah panasnya aksi demonstrasi, muncul suasana meneduhkan. Artis Reza Artamevia (lengkapnya Reza Artamevia Adriana Eka Suci) yang saat itu tengah berada di puncak popularitasnya berkat lagu ciptaan Ahmad Dhani "Cinta kan Membawamu Kembali" sempat datang ke halaman depan gedung parlemen untuk menghibur demonstran.
"Cinta kan membawamu kembali di sini,
menuai rindu..membasuh perih
...bawa serta dirimu, dirimu yang dulu..mencintaiku...
apa adanya....."
Begitu penggalan syair lagu yang dinyanyikan Reza di depan kerumunan demonstran. Tentu saja nyanyian Reza yang menggunakan pengeras suara megafon disambut sorakan riuh demonstran. Reza menyanyikan pada waktu sore hari menjelang matahari terbenam.
Mendengar lagu hit Reza itu memang hati tiba-tiba terasa pedih seperti teriris karena tampak jelas negara tercinta masuk dalam situasi chaos dan penuh ketidakpastian. Di berbagai daerah muncul kerusuhan dan pembakaran. Rumah ketua DPR/MPR Harmoko di Solo luluh lantak dibakar massa. Kawasan pusat perdagangan Glodok pun sudah hangus menjadi abu.
Namun, tak hanya sempat dibuat syahdu dengan alunan suara Reza, warna emosi pendudukan gedung DPR itu kemudian juga disemarakkan suara pidato ala Zainuddin MZ yang serak-serak basah dan kerap mengucapkan kata betul yang khas itu. Suara ala dai sejuta umat asal kampung Betawi Gandaria tersebut selalu muncul dalam kurun waktu tiga hari yang panas itu.
"Di era demokrasi...suara rakyat adalah suara Tuhan..., betul...?" kata suara itu yang segera disambut teriakan bersama dari ribuan massa: "betuuuuullll!"
Namun, kemudian muncul gaya sindirian ala Zainuddin: "Tapi kalau rakyatnya bodoh apa Tuhan juga ikut bodoh pula..., betul...?" Kontan ledekan ala gaya suara pidato disambut teriakan ejekan "huuuu" yang berkepanjangan.
Suara merdu Reza yang kemudian bersuami mendiang anggota DPR Adjie Masaid serta alunan pidato dengan timbre suara ala Zainuddin MZ yang pada kemudian hari pascareformasi mendirikan Partai Bintang Reformasi (PBR) saat itu mampu menjadi hiburan dan penyejuk suasana demonstrasi pendudukan Gedung DPR.
*****
Malam Mencekam Namun Perut Kenyang
Selama masa pendudukan Gedung DPR, massa demonstran datang silih berganti. Pada hari kedua mulai tampak rombongan demonstran mahasiswa asal luar Jakarta. Ini bisa dilihat dari warna jaket yang mereka kenakan.
Uniknya, meski Gedung DPR disesaki massa mahasiswa, persedian makanan tak kekurangan. Padahal, lokasi Gedung DPR jauh dari pasar atau tempat penjualan makanan. Meskipun di bagian belakang tersedia warung makan, kebanyakan warung itu tutup terutama pada waktu hari kedua masa pendudukan. Sebab, stok persedian makanan yang ada pada hari pertama langsung habis diserbu demonstran yang kelaparan.
Entah dari mana datangnya terutama ketika malam tiba, nasi bungkus dengan aneka menu makanan mulai dari menu nasi padang, nasi ala warung tegal, hingga model makanan cepat saja seperti KFC hingga makanan Jepang ala Hoka-Hoka Bento berseliweran dan dibagi-bagikan kepada demonstran.
Minuman seperti air mineral kemasan juga mudah didapatkan. Saat itu muncul banyak dermawan dan sukarelawan yang memasok serta membagian makanan kepada mereka yang berada di Gedung DPR. Suasana makin semarak ketika para penjual minuman asongan, seperti kopi dan teh panas, ikut pula berjualan.
Bahkan, di bagian samping Gedung DPR (sekarang tempat parkir DPD) muncul warung kopi dadakan. Berbagai orang mengudap di warung itu sembari ngomong apa saja dan mendengarkan siaran radio untuk memantau suasana di luar gedung dan seputaran Ibu Kota. Sementara itu, untuk yang memantau siaran televisi, para demonstran bisa melihatnya di ruang wartawan yang berada di dekat lift untuk masuk menuju ruang pimpinan DPR. Televisi tersebut dipantengi selama 24 jam.
Celakanya, meski perut kenyang dengan makanan, bagi mereka yang pada malam-malam itu sempat menginap di gedung DPR, suasana jelas mencekam. Ketika hari mulai gelap, berhamburlah isu akan adanya sweeping atau pembersihan gedung DPR.
Maka, setiap kali ada suara berdentam keras, demonstran yang malam itu berada di Gedung DPR langsung lari mencari perlindungan atau menyelinap duduk di belakang tembok. Trauma penembakan demonstran begitu menghantui benak mereka.
Nah, sebagai bukti berhamburannya makanan, hal ini kemudian terlihat ketika masa pendudukan Gedung DPR berakhir. Di dekat pintu masuk Gedung DPR yang berada di belakang, yakni sekarang di dekat sebuah taman yang berada tak jauh dari lapangan sepak bola, menumpuk segunung sampah sisa makanan.
Gunungan ini sempat terlihat dalam beberapa hari sebelum kemudian diangkut oleh banyak truk milik petugas kebersihan DKI Jakarta. Membersihkan dan merapikan area halaman dan gedung DPR memerlukan waktu sampai dua pekan. Selain itu, sampah dikumpulkan, taman dirapikan, dan kolam air mancur dikuras, berbagai coretan grafiti dihapus. Beberapa bagian tembok yang terkelupas dan kotor dicat kembali. Kursi dan meja yang rusak dan berantakan dirapikan kembali.
Alhasil, ajang "revolusi", eh "reformasi" (istilah reformasi awalnya memang dimaksudkan untuk menghaluskan istilah 'revolusi'), terbukti mampu berakhir dengan damai. Selama kurun pendudukan itu insiden penembakan atau tewasnya massa demonstran tak terjadi.
Kekhawatiran bila aksi itu berakhir dengan tumpahnya banyak darah seperti kasus unjuk rasa di lapangan Tian Men di Cina tak terjadi.
Namun, memang jargon atau teriakan para demonstran itu tetap keren dan terus terngiang sampai sekarang:
....Revolusi..Revolusi..Revolusi sampai mati...! (namun asal jangan sampai mati kelaparan...?).