Pemudik Hendak ke Jawa Menumpuk di Pelabuhan Bakauheni
Pemudik yang mayoritas pekerja proyek infrastruktur belum ikut rapid test.
REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Jumlah pemudik pejalan kaki yang akan menumpang kapal ferry menuju Pelabuhan Merak, Banten, masih menumpuk di Pelabuhan Bakauheni, Lampung, Ahad (17/5). Mereka tertahan tak bisa masuk kapal karena belum melakukan pemeriksaan rapid test yang dipersyaratkan petugas pada masa pandemi Covid-19.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh Republika.co.id, Ahad (17/5), enam hari menjelang Idul Fitri 1441 H, ratusan pemudik pejalan kaki tersebut berkelompok berasal dari sebagian Lampung, Jambi, Pekanbaru, dan Sumatra Selatan. Pemudik itu pekerja proyek jalan tol, proyek jaringan gas (jargas), dan proyek infrastruktur lainnya di daerah Sumatra. Mereka sudah tidak melanjutkan lagi pekerjaan dan akan pulang kampung ke Jawa.
Para pemudik tersebut berniat pulang kampung karena sudah tidak ada pekerjaan lagi, dan biaya hidup di perantauan jauh lebih tinggi dengan pendapatan yang ada. Sebagian pemudik ingin kembali ke kampung halamannya di daerah-daerah Pulau Jawa.
"Kami pekerja proyek jalan tol di Sumatra Selatan dan Jambi. Pekerjaan kami sudah habis. Kami tidak bekerja lagi. Jadi kami mau pulang kampung saja," kata Suharno (42 tahun), pemudik pejalan kaki asal Jambi tujuan Jawa Tengah.
Kelompok Suharno berjumlah 40-an orang masih tertahan di Pelabuhan Bakauheni sudah empat hari tiga malam. Meski sebelumnya mereka sudah memiliki surat keterangan tidak bekerja lagi pada proyek jalan tol di Jambi, dan juga surat dari kepala desa setempat tempatnya bekerja, mereka tidak bisa lolos masuk kapal ferry. Mereka hanya belum memiliki surat bebas Covid-19.
Menurut dia, petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) mensyaratkan setiap penumpang pejalan kaki harus diperiksa rapid test dengan hasil negatif. dan dikeluarkan surat sehat bebas Covid-19. Sebagian penumpang pejalan kaki harus mengeluarkan biaya untuk pemeriksaan rapid test berkisar Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu per orang.
Namun seiring meningkatnya jumlah pemohon, KKP Kelas II Panjang Wilayah Kerja Bakauheni menaikkan biaya rapid test menjadi Rp 300 ribu per orang. Setelah berjalan dua hari, KKP kehabisan alat dan terpaksa menutup layanan kepada pemudik pejalan kaki.
Pemudik terlantar
Para pemudik asal Sumatra tujuan Jawa tersebut akhirnya terlantar. Mereka terpaksa menambah hari bermalam di selasar dalam dan luar Pelabuhan Bakauheni, tanpa ada kejelasan kapan mereka akan berangkat. "Katanya, alat rapid test habis, sudah ditutup. Jadi, kapan kami mau menyeberang," kata Wardi, penumpang kapal lainnya.
Wardi pekerja infrastruktur jaringan gas di Sumsel, menyesalkan pemerintah memaksa rakyatnya harus membayar pemeriksaan rapid test dengan harga yang mahal. Seharusnya, ujar dia, rapid test tersebut diberikan gratis, karena untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, tapi anehnya biayanya dibebankan ke masyarakat.
Untuk mengurangi penumpukkan penumpang di Pelabuhan Bakauheni, Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Lampung, mulai bergerak ke Pelabuhan Bakauheni, Ahad (17/5). Kepala Dinkes Lampung dr Reihana mengatakan, petugas Dinkes Lampung akan memfasilitasi layanan pemeriksaan rapid tes di Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan.
"(Untuk melayani penumpang tersebut), Dinas Kesehatan telah memfasilitasi layanan rapid test di Pelabuhan Bakauheni," kata Reihana, yang juga juru bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Lampung, Ahad (17/5).
Dinkes Provinsi Lampung akan menyediakan layanan rapid test untuk mengurai penumpukkan penumpang di Pelabuhan Bakauheni. Dinkes telah menyiapkan sedikitnya 150 rapid test. Pemduik pejalan kaki, setelah dilakukan rapid test dengan hasil negatif, diperbolehkan melanjutkan perjalanan menuju kota-kota di Pulau Jawa.