Kapan Islam dan Muhammadiyah Hadir di Tanah Papua?

Sejarah Belum Dituliskan: Kapan Islam dan Muhammadiyah Tiba di Tanah Papua

google.com
Mengumandang adzan di Papua.
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Sampai hari ini soal sejarah kawasan Timur Indonesia khususnya Papua memang masih begitu menyimpan banyak misteri. Bahkan kalangan sejarawan mengatakan kawasan itu, khususnya Papua, masih gelap. Sangat jauh misalnya dengan sejarah kawasan barat Indonesia yang tampak sangat terang. Apalagi sejarah kawasan Jawa yang disebut sudah transparan berkat jasa besar para sejarawan Belanda, salah satunya H.J De Graaf,

Soal sejarah Papua misalnya, dalam sebuah kesempatan mendiang sejarawan lulusan Universitas Leiden, Belanda, Dr Muridan mengatakan sejarah kawasan itu harus lebih banyak ditulis dan dikaji. Terutama sejarah kawasan Papua yang oleh Belanda selaku ‘mantan tuan’ koloni Indonesia juga tak banyak mengkajinya. Pembahasan atau data mengenai Papua dalam arsip lama Belanda tak ada yang mandiri. Situasi wilayah ini selalu hanya ditempelkan secara sekilas ketika membahas situasi Maluku, Ternate dan Tidore.

‘’Jadi ketika saya studi arsip kuno Belanda soal Papua di Belanda, entri data Papua kebanyakan menempel para soal-soal wilayah lain di Maluku, khususnya soal Kesultanan Ternate dan Tidore. Sedangkan kajian Indonesia soal wilayah itu baru mulai serius pasca integrasi Papua di tahun 1960-an. Misalnya adanya kajian antropologis oleh Prof Koentjaringrat, ‘’ kata Muridan yang menulis disertasi soal Sultan Nuku dalam sebuah diskusi di Fakultas Sejarah UI.

Beberapa pandangan berbeda menjelaskan bagaimana pertama kali Islam masuk dan menyebar di tanah Papua. Syiar Islam di negeri ‘Mutiara Hitam’ mulanya tersebar di wilayah Papua Barat. Masyarakat di sana menyakini, Islam lebih dahulu tersebar dibandingkan agama lain.

Masih gelapnya sejarah Papua secara umum, makin terasa bila ingin mengetahui kapan kiranya ajaran Islam sampai ke tanah tersebut. Sampai hari ini bangsa Indonesia, khususnya kaum Muslim sendiri, juga belum banyak yang mengenalnya. Buku-buku ajar sejarah di sekolah-sekolah juga tak memuatnya. Kaum Muslim Indonesia secara umum, baik dai dan ulama, juga banyak tak mengenalnya.

Akibatnya, banyak yang terkejut bila menjumpai orang Muslim asal Papua karena mereka selama ini menyangka tanah itu begitu terasing dari sentuhan ajaran Islam. Khususnya lagi peran Persyarikatan Muhammadiah.  Hal ini juga membuat Papua oleh Muslim Indonesia semakin dianggap sebagai wilayah serba 'terra incognita' (wilayah tak dikenal), alias antah berantah. Yang terdengar dari luar soal wilayah itu seolah hanyalah nestapa dan konflik.

A. Kapan Islam Tiba di Papua?

Sampai hari ini soal kapan Islam sampai ke Papua masih terjadi silang pendapat. Ada yang mengatakan mulai abad ke 13 Masehi, ada pula yang mengatakan itu terjadi seiring dengan eksisnya ajaran Islam di Kesultanan Tidore dan Ternate yang kala itu menguasai wilayah itu. Ajaran Islam pun kala itu dianggap masih menumpang lewat karena warga dari dua kesultanan itu tak berdiam di sana. Mereka hanya sekedar singgah untuk mencari teripang, ikan, kayu hitam, atau hasil laut dan hutan lainnya.

Bahkan dalam perkembangan terakhir ada klaim yang menyatakan ajaran Islam sudah eksis di Papua sejak dekade kedua tahun 1200 M. Indikasi ini berasal dari artefak sebuah Alquran kuno berukuran besar yang terdapat di Papua. Fakta ini dikatakan Raja Patipi ke XVI, H Ahmad Iba, dengan menegaskan bila Islam masuk ke Papua sejak 17 Juli 1224 M.

Iba mengisahkan, Islam dibawa oleh Syaikh Iskandar Syah ke Messia atau Mes Keajaan Patipi. Saat itu Syaikh Iskandar bertemu dengan seseorang bernama Kris Kris.

" Dan beliau (Syaikh Iskandar Syah, red) mengajarkan apabila kalian ingin selamat, ingin sejahtera, kalian harus mengenal alif lam lam ha (Allah), dan mim ha mim dal (Nabi Muhammad SAW) dan dilanjutkan dengan pembacaan syahadat,” tuturnya seperti dilansir Kiblat.net.

 

  • Keterangan foto:  Raja Patipi ke XVI, H Ahmad Iba, dan Alquran kuna. (Foto:kiblat.net)



Adanya silang pendapat itu hingga sekarang masih terjadi, misalnya di antara pendapat sejumlah penguasa di Raja Ampat-Sorong, Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni-Manokwari. Masing-masing memiliki argumen berdasarkan informasi dari pendahulu mereka dan juga bukti sejarah yang menjadi peninggalan berharga.

Salah satu bukti dari jejak awal penyebaran Islam di Papua adalah adalah berdirinya tiga masjid bersejarah di sana. Alhasil mereka menyatakan bahwa awal Islam memang terjadi setelah ada komunitas Muslim yang jumlahnya signifikan mulai mendirikan tempat ibadah ini.  Tiga masjid tertua di Papua ini adalah sebagai berikut:

  1. Masjid Tua Patimburak

Saksi bisu penyebaran Islam di Kokas, Fakfak, Papua Barat, adalah masjid tua di Kampung Patimburak. Tepatnya, masjid yang masih berfungsi hingga saat ini dibangun oleh seorang alim bernama Abuhari Kilian pada 1870.

Menurut catatan sejarah, masjid dengan konsep sebuah gereja ini merupakan masjid tertua di Fakfak. Selama keberadaannya, masjid ini pernah beberapa kali direnovasi. Namun, bentuk aslinya tetap dipertahankan, seperti empat pilar penyangga yang terdapat di dalam masjid dan lubang bekas peluru tentara Jepang.

Peneliti Balai Arkeologi Papua, menyebutkan bahan dasar arsitektur Masjid Patimburak hampir keseluruhannya berasal dari lingkungan sekitar, yakni dari kawasan Teluk Berau yang terdapat di sekitar pesisir Fakfak. Menurutnya, bangunan masjid ini dari kayu, bambu, pasir laut dan kapur sebagai campuran pasir laut untuk konstruksi temboknya, semua berasal dari sana.

2. Masjid Hidayatullah Saonek.

Masjid ini terletak di Jl H Rafana, memiliki luas tanah 12.588 meter persegi. Luas bangunan mencapai 1.512 meter persegi. Masjid ini dapat menampung 200 jamaah. Ciri khas masjid ini adalah terdapat empat tiang kuning penyangga di dalam masjid. Masjid ini memiliki satu kubah besar yang didominasi warna putih dan kubah kecil yang berada di sekitarnya berwarna hijau.

Masjid ini dibangun pada 1505. Ketika itu, Islam disebarkan oleh imam besar Habib Rafana yang kini diabadikan sebagai nama jalan menuju masjid tersebut. Makamnya terletak di atas bukit Pulau Saonek, Raja Ampat. Dia dikuburkan bersama istri-istrinya dan kucing peliharaan kesayangannya.

3. Masjid Abubakar Sidik

Masjid ini berdiri pada tahun 1524. Memiliki luas tanah 900 meter persegi dan luas bangunan 400 meter persegi. Lebih dari 2.000 jamaah mampu ditampung di masjid ini. Masjid yang terletak di Kampung Rumbati, Distrik Furwagi, Fakfak, ini masih memiliki model yang sederhana. Warna biru muda dan putih menghiasi bangunan tersebut.

Terdapat dua tingkat dengan beratap seng. Bangunan di tingkat kedua hanya menutupi setengah bangunan. Luasnya lebih kecil daripada bangunan di bawahnya. Masjid ini terletak di pinggir pantai dengan fondasi batu yang tinggi.



  • Keterangan foto: Jamaah di Masjid Abubakar Sidiq, Fakfak, Papua.
                        

                                ******


Dan ketika mencari tahu soal kepastian kapan awal ajaran Islam tiba di Papua, seorang putra Papua yang merupakan alumni Universitas Al Azhar, Mesir, dan kini menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Papua Barat, Ahmad Nausrau, menyatakan belum bisa memastikanya. Menurutnya, pihaknya terus meneliti sejarah yang tercatat dan terdokumentasikan mengenai masuknya Islam di Papua. Ini bernilai stragetis karena secara baik akan menjadi aset yang sangat berharga sekaligus warisan ilmu pengetahuan kepada generasi muda penerus bangsa agar.

“Jadi kamu orang Papua  mengetahui sejarah dan peradaban para leluhurnya dimasa lalu. Setidaknya landasan filosofi pemikiran inilah yang menginspirasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi  Papua Barat untuk tergerak melakukan penelitian sejarah masuknya agama Islam di Tanah Papua, khususnya Papua Barat, ‘’ kata Ahmad Nausrau.

Namun, lanjut Nausrau, boleh dibilang bahwa agama Islam merupakan salah satu agama yang sudah cukup lama masuk dan berkembang di Tanah Papua. Namun hingga saat ini belum diketahui secara pasti kapan dan siapa yang pertama kali membawa agama Islam ke Tanah Papua.

‘’Untuk mengatahui sejarah itu tidaklah mudah seperti membalikan telapak tangan. Semua harus dikaji dengan seksama,’’ ujarnya.

Maka, lanjut Nausrau, perlu ‘mujahadah’ dan ikhtiar yang sungguh-sungguh agar hasilnya optimal dan tentu saja bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah keshahihannya.

Berawal dari sinilah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Papua Barat kemudian menggandeng peneliti dari LIPI dan pihak terkait lainnya untuk datang ke sejumlah daerah di Papua Barat yang disinyalir sebagai tempat masuknya agama Islam pertama kali di Tanah Papua.

“Hasil penelitian ini pada akhirnya akan diseminarkan dan dijadikan tonggak baru peradaban Islam di Papua Barat. Insya Allah dokumen tersebut akan dijadikan buku dan bahan ajar di sejumlah pesantren dan madrasah di Papua Barat sehingga generasi muda yang akan datang mengetahui sejarah ini,’’ tegas Nausrau lagi.

Bukan hanya itu, kata Nausrau, berdasarkan hasil penelitian ini juga akan dibangunkan situs dan museum sejarah Islam di Papua Barat sehingga diharapkan nantinya bisa menjadi destinasi wisata religi di Papua Barat. Tentu saran dan masukan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk memperkaya hasil penelitian ini.

 

Sama halnya dengan kapan awal masuknya Islam di Papua, soal kapan waktunya Persyarikatan Muhammadiyah masuk dan eksis di Papua juga belum jelas benar, minimal ada kesepakatan. Padahal bila direnungkan, keberadaan Islam  di sana terindikasi sangat jauh rentang waktunya dengan eksistensi Muhammadiyah yang baru berdiri pada awal dekade kedua tahun 1900-an, tepatnya baru pada 18 November 1912 oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta.

Jadi dalam soal sejarah yang lebih muda saja — eksisnya Persyarikatan Muhammadiyah — sangat wajar bila belum ada kepastian, apalagi sejarah yang lebih rumit dan tua soal keberadaan Islam di Papua, juga belum ada tanda-tanda kejelasan. Dua hal ini jelas sama-sama membingungkan dan butuh kajian yang sangat serius.

Namun, khusus untuk soal data kapan Persyarikatan Muhammadiyah mulai eksis di tanah Papua ada fakta yang menarik. Data ini didapat  dari seorang akademisi di Universitas Papua (Unipa) yang ada di Manokwari, DR Mulyadi Djaya. Dia juga sekaligus menjadi ketua pengurus wilayah Muhammadiyah, Papua Barat.

Dalam perbincangan dia pun mengakui, bila nasib kepastian awal sejarah eksistensi Persyarikatan Muhammadiyah sama juga dengan sejarah awal kedatangan ajaran Islam di sana. Indidkasinya pun masih serba sumir, karena kemudian dikaitkan dengan kedatangan para aktvils politik para pejuang kemerdekaan Indonesia yang saat itu menjalani hukum pembuangan di kamp Boven Digul.

Selain itu, masih juga terasa sangat awal, karena soal eksistensi Muhammadiyah di Papua hanya ditandai dengan adanya shalat Idul Fitri atau shalat Ied bersama di lapangan. Dan ini juga masuk akal karena para ulama dan aktvis Muhammadiyah kala itu memang getol mengubah kebiasaan masyarakat yang selama ini menggelar shalat Ied di dalam masjid dengan menggantinya di luar ruang atau di lapangan terbuka. Alasan utamanya adalah untuk syiar Islam.

“Belum diketahui secara pasti kapan tradisi sholat ied di lapangan dimulai. Sebelumnya sholat Ied itu berjamaah di luar Papua diselenggarakan di masjid, suro atau musollah. Nah, oleh Muhammadiyah kebiasaan ini diubah. Semangat  ini meluas sampai ke Papua yang dibawa oleh para tokoh perjuangan bangsa yang kala itu dibuang ke Digul. Mungkin ini bisa menjadi salah satu indikasi mengenai awal spirit atau awal sosok organisasi Persyarikatan Muhammadiyah eksis di tanah Papua,’’ kata Mulyadi.

Menurutnya di Papua shalat Ied dilapangan sudah berlangsung sejak tahun 1926 silam ketika seorang tokoh pejuang dari Aceh Teuku Bujang Selamat mengerahkan ummat Islam di Merauke  —  Papua paling timur— untuk merayakan hari raya di tanah lapang.

Dan tak hanya Teuku Bajang saja, aktivis Muhammadiyah yang kala itu dibuang ke Digul atau disebut juga sebagai orang 'excil' juga banyak terkena hukum buang di sana. Misalnya, pada saat yang sama juga  ada sosok seorang mantan tokoh Muhammadiyah asal Solo yang juga dibuang di Digul karena terlibat, bahkan dianggap salah satu selaku pengobar Pemberontakan PKI di Hindia Belanda tahun 1926. Dia bahkan dimakamkan di sana, tepatnya di Manokwari. Tak hanya itu di sana ada banyak pula tokoh ulama dan akivisi perjuangan bangsa yang lain, seperti Moh Hatta yang juga dikenal sebagai sosok Muslim yang amat saleh.

Tapi berbeda dengan sosok H Misbach yang kontroversial, Teuku Bajang yang sempat menjalani masa pembuangan selama 21 tahun itu sebelum kembali ke Aceh, kala berada Digul memang aktif memperkenalkan ajaran Islam. Meski dalam pengawasan ketat Belanda dan Teuku Bajang kerap mencuri waktu untuk berdakwah di Merauke. Tujuannya untuk merubah agar rakyat dan umat Islam di sana memperoleh hidup yang berkemajuan.

Bila ditelusuri lagi, mengenai siapa sebenarnya Teuku Bujang Selamat, ternyata diketahui aslinya  bernama Bujang Salim Bin Rhi Mahmud. Dia adalah anak muda Aceh yang pada pada tahun 1920-an getol melakukan dakwah agama Islam seklaigus melakukan pergerakan politik melawan Belanda.

Akibat aktivitas itu, Teuku Bujang dianggap orang paling berbahaya bagi rezim kolonial. Dia kemudian ditangkap dan ditahan, kemudian diasingkan jauh ke ujung timur kawasan Indonesia dan sangat terasing, yaitu dikurung dalam kamp tahanan di Boven Digul Merauke pada 21 April 1922. Selama ditahan di Merauke sebelum dibawa ke penjara Digul, kesempatan itu malah dipakai oleh Teuku Bujang Salim bersama anak-anak Muslim setempat untuk berdakwah di kampung-kampung sekitarnya.

Pada saat itu, di Merauke dan Digul ummat Islam saat itu sudah mulai banyak. Terindikasi mereka mulai ada semenjak  kurun waktu 1906-1919. Asal-usulnya antara lain berasal dari pegawai atau tentara KNIL yang ditugaskan oleh Pemerintah Belanda, para buruh tani perkebunan tebu milik Belanda yang didatangkan dari Jawa, dan para pedagang. 

Selama dalam masa pembuangan di Merauke aktivitas dakwah Teuku Bujang tak pernah surut dengan pendekatan cara  khas Muhammadiyah, yaitu mempelopori pelaksanaan sholat Iedul Fitri di lapangan terbuka yang waktu pelaksanaannya berdasarkan hasil metode 'hisab', mendirikan gerakan Pramuka Hizbul Wathon, klub sepak bola, dan drumband. Bahkan untuk menunjang pendidikan putra-putri Muslim pada tahun 1929 aktvis pendakwah dan sekaligus aktivis politik ini mendirikan madrasah pertama di Merauke. Bahkan madrasah tersebut kini termasuk lembaga pendidikan Islam tertua di Papua.

  • Keterangan foto: Suasana kawasan sekitar kamp Boven Digul yang ganas penuh rawa nyamuk malaria. (foto.gahetna.nl).

Setelah itu dia juga membangun masjid yang sekarang bernama Masjid Nurul Huda, selain masjid Jamik yang sudah dibangun pada 1915. Dan sekiranya dapat ditengarai dari situlah cikal bakal berdirinya pergerakan Muhammadiyah.

Atas segala aktvitas dakwahnya ini, Teuku Bujang Selamat yang kini berada di Meruake  dicurigai Pemerintah Belanda. Akhirnya kemudian dia kembali ditangkap pada 1935. Dia kini dibuang ke Tanah Merah, Boven Digul yang lebih terisolir lagi di mana jaraknya sekitar 450 km dari Merauke. Jadi kini dia dibawa ke tanah pembuangan baru yang lebih berbahaya yang kala itu untuk mencapainya harus melalui hutan belantara dan melayari alur sungai yang ganas.

Pada tahun 1942 saat Jepang menyerang ke Papua, Bujang Salim diungsikan ke hutan Bijan lalu dibawa balik kembali ke Merauke. Tak cukup dengan itu, untuk semakin melumpuhkan pergerakan ulama Aceh tersebut, pada tahun 1943  Belanda membawa Teuku Bujang ke Australia.

Semenjak itu, hingga tujuh tahun ke depan dia bermukim di Australia. Baru pada tahun 1950, berdasarkan perjanjian antara Belanda-Indonesia untuk pengembalian semua tahanan politik, Teuku Bujang Salim dikembalikan ke Jakarta dan pulang ke kampung kelahirannya Keude Amplah, Nisam, Aceh Utara. 

  • Keterangan foto: Kamp pembuangan para aktivis perjuangan kemerdekaan Indonesia di Boven Digul. Kamp ini berada di tempat terasing di pinggir sungai Digul yang luas dan kala itu penuh buaya serta di tepi kawasan hutan yang lebat.
                            

                                    *****
Memang khusus untuk Teuku Bujang Salim, ada hal yang istimewa yang bisa menjadikan dia disebut sebagai salah satu pelopor aktvis dakwah persyarikatan Muhammadiyah di Papua. Hal itu terkait di masa awal sebelum Teuku Bujang Salim berangkat untuk diasingkan ke penjara yang disebut sebagai neraka dunia karena penuh dengan nyamuk malaria, dikelilingi sungai penuh Buaya, dan hutan lebat, yakni kamp pembuangan di Boven Digul.

Hebatnya, meski terancam hidup sengsara Teuku Bujang Salim tak gentar. Sebelum diasingkan dia tetap melanjutkan seruan perjuangannya dengan menyarankan kepada ummat Muslim untuk meminta tenaga guru ke Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan agama Islam tersebut.

Maka pada tahun 1933 datanglah Ustadz Jais yang dikirim oleh PP Muhmmadiyah Yogyakarta untuk bertugas di Madrasah Muhammadiyah di Merauke itu. Beliau bertugas disana sampai tahun 1935, lalu diganti oleh Ustadz Asrar bertugas sampai tahun  1936. Ustadz terakhir yang dikirim oleh PP Muhammadiyah Yogyakarta adalah Ustadz M Chotib.

Jadi, kedatangan Teuku Bujang Salim tersebut merupakan periode pertama berkembang serta eksisnya Persyarikatan Muhammadiyah di Papua yang berlanjut di Fakfak, Jayapura, dan Sorong hingga saat ini.

Akhirnya, dalam kisah ini tercermin bagaimana dari dahulu warga Muhammadiyah memang terus berusaha melebur serta hidup damai berdampingan dengan budaya dan warga lokal yang berbeda-beda. Sebuah pelajaran sejarah kehidupan yang indah dari ujung paling timur Indonesia.



Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler