Tinta Hitam Cumi-cumi Nikmat, Benarkah Najis Haram Dimakan?
Tinta hitam cumi-cumi bukan berasal dari pengolahan limbah di perut.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh KH Abdul Wahab Ahmad*
Belakangan ini muncul perdebatan kembali terkait hukum tinta hitam yang diluarkan cumi-cumi, apakah ia tergolong najis ataukah suci.
Sebagian berkata bahwa itu najis dengan berpedoman pada ulasan al-Habib Abdurrahman dalam Bughyat Al Mustarsyidin sebagai berikut:
الذي يظهر أنّ الشيء الأسود الذي يوجد في بعض الحيتان وليس بدم ولا لحم نجس, إذ صريح عبارة التحفة أنّ كلّ شيء في الباطن خارج عن أجزاء الحيوان نجس, ومنه هذا الأسود للعلّة المذكورة إذ هو دم أو شبهة
“Cairan hitam yang ditemukan pada sebagian makhluk laut dan bukan merupakan daging ataupun darah dihukumi najis. Sebab teks dalam kitab Tuhfah menegaskan bahwa sesungguhnya setiap sesuatu yang berada di bagian dalam adalah sesuatu yang bukan termasuk dari juz (juz/organ) hewan dan dihukumi najis, termasuk cairan hitam ini, karena alasan yang telah dijelaskan. Sebab cairan hitam ini sejatinya adalah darah atau yang serupa dengan darah.” (Syekh Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyat Al Mustarsyidin, hal. 15)
Sebagian lagi sulit menerima bila cairan hitam yang biasa disantap oleh masyarakat Indonesia dan beberapa negara lain ini dianggap najis sebab para ulama Indonesia dan lain-lain sejak dulu “nyaris” tidak ada yang ingkar terhadap masakan cumi-cumi yang berwarna hitam dan digemari banyak orang itu. Untuk mendukungnya, dipakailah pernyataan Kyai Thaifur Ali Wafa, seorang ulama kontemporer asal Madura yang dalam kitabnya menjelaskan sebagai berikut:
ـ (مسألة: ث) السواد الذي يوجد في بعض الحيتان مما اختلف فيه هل هو من الباطن فيكون نجسا أو لا فيكون طاهرا, فينبغي للعاقل أن يتحققه لأنّ هذا مما يتعلّق بالعيان. قلت: يعني أنّ هذا السواد إذا كان من الباطن فهو أشبه بالقيئ فيكون نجسا وإلّا فهو أشبه باللعاب فيكون طاهرا. وقد قال بعض مشايخنا: أنّ هذا السواد شيء جعله الله لصاحبه ترسا يتترس به عن كبار الحيتان فإذا قصده حوت كبير ليأكله أخرج هذا السواد فاختفى به عنه فلا يقاس بالقيئ ولا باللعاب لكونه خاصا له بهذه الخصوصية ويكون طاهرا والله أعلم
“Warna hitam yang ditemukan di sebagian jenis ikan merupakan sebagian persoalan yang diperselisihkan apakah termasuk kategori cairan yang keluar dari bagian dalam ikan sehingga tergolong najis, atau bukan dari bagian dalam sehingga dihukumi suci. Hendaknya bagi orang yang berakal agar mengkaji secara rinci permasalahan ini karena termasuk suatu hal yang berhubungan dengan realitas. Aku (pengarang) berkata cairan hitam ini jika memang berasal dari bagian dalam maka lebih serupa dengan muntahan sehingga dihukumi najis, jika tidak dari dalam maka serupa dengan air liur sehingga dihukumi suci.
Sebagian guruku pernah berkata: “Cairan hitam ini merupakan sesuatu yang diciptakan oleh Allah pada hewan yang memilikinya untuk dijadikan tameng agar dapat berlindung dari makhluk laut yang lebih besar. Ketika terdapat makhluk laut besar yang akan memangsanya maka ia mengeluarkan cairan hitam ini agar dapat bersembunyi. Maka cairan hitam ini tidak dapat disamakan dengan muntahan ataupun air liur, sebab cairan hitam ini adalah sesuatu yang menjadi ciri khas hewan ini, sehingga dihukumi suci” (Syekh Thaifur Ali Wafa, Bulghah At Thullab, hal 106)
Pendapat manakah yang sebaiknya dipilih? Untuk menjawabnya, mari kita kaji soal najis ini secara lebih terperinci melalui prinsip-prinsip penentuan najis berikut:
1. Penentuan barang najis pada dasarnya adalah ta’abbudi (menyangkut ketaatan ibadah, bukan sesuatu yang rasional) sehingga tidak bisa ditambah atau dikurangi. Tentang cairan hitam cumi, tak ada teks dari Alquran atau pun hadits yang menyebutkannya secara khusus.
2. Ada ketentuan umum bahwa segala sesuatu yang muncul dari proses pengolahan biologis oleh tubuh adalah najis. Misalnya kencing, berak, dan muntah. Hasil olah biologis ini disebut sebagai proses istihalah di mana makanan dan minuman diubah menjadi hal-hal tersebut di atas oleh organ tubuh dalam (organ pencernaan). Banyak ulama yang mengistilahkan hasil istihalah ini sebagai “sesuatu yang keluar dari dua jalan” sebab lumrahnya merupakan sisa makanan yang keluar dari kelamin atau dubur.
3. Hasil istihalah yang disepakati kenajisannya adalah yang melibatkan organ pencernaan (lambung dan usus) dan juga darah. Istihalah atau perubahan makanan menjadi hal lain yang tanpa melibatkan organ pencernaan, hukumnya diperselisihkan para ulama, misalnya air susu yang keluar dari kelenjar payudara. Namun kebanyakan ulama menganggap air susu suci jika berasal dari manusia atau hewan yang bisa dimakan.
4. Cairan tubuh yang tidak mengalami proses istihalah tidak dianggap najis, misalnya keringat, ludah dan dahak. Ketiganya dianggap berasal dari organ luar berupa kulit, mulut dan kerongkongan, tidak secara langsung berasal dari makanan/minuman yang dioleh tubuh.
5. Demikian juga dengan cairan sperma manusia dan sperma hewan yang bisa dimakan tidaklah dianggap najis oleh kebanyakan ulama (meskipun ada sebagian ulama yang menganggap sperma hewan sebagai cairan najis).
6. Cairan hitam cumi-cumi adalah cairan yang berasal dari kantong tinta yang letaknya di luar lambung cumi.
7. Dengan demikian, tinta cumi tidak berasal dari organ pencernaan (tempat istihalah lumrahnya) tetapi dari kelenjar khusus yang ditampung dalam kantong tinta yang menjadi ciri khas hewan jenis ini. Dengan kata lain, ia tidak bisa disamakan dengan kencing, kotoran atau muntah. Dan jelas juga tak bisa dikategorikan sebagai darah. Cairan tersebut lebih menyerupai cairan tubuh di luar organ pencernaan semisal sperma, susu atau keringat yang masing-masing mempunyai fungsi khusus di luar yang berkaitan dengan pencernaan.
8. Lubang keluarnya tinta juga tidak melalui anus atau kelamin cumi tetapi langsung ke rongga/corong khusus yang disebut siphon. Jadi tinta tersebut tidak masuk dalam kategori sesuatu yang keluar dari “dua jalan”.
Dari berbagai pertimbangan di atas, saya cenderung memilih pendapat yang menganggap cairan tinta cumi sebagai cairan suci sehingga tak mengapa dikonsumsi. Berbagai argumen yang menganggapnya najis sebab disamakan dengan darah, mirip darah, muntah atau kotoran hasil pencernaan tidaklah tepat. Ia bukanlah sisa makanan yang harus dikeluarkan dari tubuh dan bukan pula darah yang harus terus berada dalam tubuh.
Bila hendak dikiaskan, maka mengiaskannya dengan susu justru lebih pas sebab sama-sama berasal dari kelenjar khusus dalam tubuh. Yang berbeda hanyalah susu untuk makanan bagi anak hewan sedangkan tinta cumi untuk melarikan diri. Bisa juga tinta itu dikiaskan dengan lendir di sekujur tubuh belut yang berfungsi memudahkannya melarikan diri dari sergapan pemangsa. Meskipun berupa cairan tubuh, bukan berarti lantas haram seperti darah.
Selain itu, dalam kaidah ushul fiqh dinyatakan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah boleh hingga ada dalil khusus yang mengharamkannya. Ini memperkuat kesimpulan bahwa tinta cumi adalah halal sebab tak ada dalil spesifik yang mengharamkannya. Wallahu a’lam
*Peneliti ahli Aswaja Center Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur