2 Kunci Keberhasilan Aceh Hadang Covid-19: Patuh dan Doa
Aceh membiasakan masyarakatnya untuk patuh dan berdoa lawan Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH— Khusus di Aceh, kasus pertama Covid-19 muncul pada 23 Maret, dan hingga kini terkonfirmasi telah 20 kasus, dengan rincian 17 kasus dinyatakan sembuh, satu meninggal dunia, dan dua lainnya masih di rawat di rumah sakit setempat.
Meski Aceh belum termasuk zona merah penyebaran Covid-19, Pemerintah Aceh tanpa lelah melahirkan berbagai langkah strategis dalam upaya menekan angka jumlah warga yang terjangkit virus corona.
Disamping warga disiplin mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah, masyarakat daerah berjulukan Serambi Makkah itu juga sangat kental dengan nilai religi dalam menangkal sebuah wabah atau bala.
Bahkan, daerah provinsi lain yang ada di Indonesia juga diminta untuk mencontohi daerah Tanah Rencong dalam penanganan Covid-19.
Ulama Aceh, Tgk Faisal Ali, mengatakan semua kasus positif Covid-19 di Aceh bukan bersumber dari penularan secara transmisi lokal, melainkan warga yang memiliki riwayat ke daerah zona merah virus corona dan terkonfirmasi positif setiba di Aceh.
Menurutnya, Aceh yang dianggap berhasil dalam menekan penyebaran Covid-19 itu, karena kepatuhan masyarakat atas anjuran pemimpin dalam berbagai hal, menjaga hingga mematuhi protokol kesehatan yang ada.
"Kemudian patuh dalam hal menjaga kewajiban beragama. Jadi masyarakat Aceh sangat mendengar apa yang disampaikan oleh para ulama, karena memang masyarakat Aceh itu sangat dekat dengan ulama," katanya, di Banda Aceh, awal pekan.
Ia menjelaskan selain berikhtiar yang bersifat manusia, yakni dengan menjaga petunjuk kesehatan, masyarakat Aceh juga mengutamakan memanjat doa kepada Allah SWT, baik dalam shalat wajib lima waktu, maupun di luar shalat wajib, dalam rangka menolak bala.
"Jadi kalau dalam sholat itu membaca (doa) qunut nazilah. Kalau di luar sholat itu ada kearifan lokal itu yang membaca (ayat) waqul jaal haqqu.., juga membaca (doa) ya lathif.., dan berbagai model bacaan lain terkait dengan tolak bala," katanya.
Hal demikian merupakan bentuk-bentuk yang dilakukan orang Muslim dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai upaya menjauhi bala atau bencana nonalam, yang disebut Covid-19.
"Maka bukan hanya untuk masyarakat Aceh yang kita berdoa, melainkan juga untuk masyarakat lain yang di luar Aceh telah memanjatkan doa kepada Allah SWT," ujar Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh itu.
Ulama yang akrab disapa Lem Faisal itu juga menyebutkan, masyarakat Aceh meyakini tidak ada penyebaran Covid-19 di masjid-masjid, mengingat seseorang yang mendatangi masjid ialah orang yang telah bersih dan suci.
"Kita yakin, karena kenapa kalau orang yang datang ke masjid pasti pakaiannya sudah bersih, dan dia memperhambakan diri kepada Allah, di situ bermunajat kepada Allah, ya Allah jauhi oleh-Mu dari pada kami akan bala, hal-hal seperti ini lah dilakukan," katanya.
Menurut dia, ketika masyarakat Aceh yang melaksanakan shalat adalah orang yang saleh, kuat keimanannya, maka sangat tidak beralasan apabila menafikan bahwa doa sebagai hal yang sangat utama dalam rangka menjauhi bala.
"Semuanya mengamalkan kearifan lokal dalam kita mencegah bala, itu yang membuat kita di Aceh tidak terproduksi COVID-19, hanya ada dari luar daerah, tapi alhamdulillah mereka yang dari luar juga diberikan kesembuhan oleh Allah SWT," katanya.
Dalam rangka menyambut normal baru di Aceh, ulama mengingatkan juga masyarakat untuk tidak pernah berhenti membaca qunut nazilah dalam setiap shalat, serta tetap mengumandangkan ayat-ayat dan zikir terkait dengan tolak bala.
"Juga kita perlu memperhatikan protokol kesehatan di dalam keseharian kita, jadi dua hal ini doa dan ikhtiar kemanusiaan itu harus kita jalankan, tapi sebagai orang yang beriman memperbanyak doa itu harus diutamakan," ujar Lem Faisal.