Maladewa, Formalisasi Syariat dan Islamisasi Lewat Budaya
Islam masuk ke Maladewa dengan cara damai dan pendekatan budaya.
REPUBLIKA.CO.ID, Islam hadir di Maladewa sejak berabad lampau. Agama Islam tiba di Maladewa diperkirakan pada abad XII yang selanjutnya menjadi agama resmi negara sejak 800 tahun lalu.
Meski catatan resmi tentang sejarah Maladewa baru dimulai abad ke-12, namun dari penelusuran bukti tertulis dan arkeologi dapat diketahui sejarah pada masa sebelum masuknya Islam.
Tahun 1214, hampir seluruh penduduk Maladewa memeluk Islam berkat kegigihan imam asal Arab, Abu Barakat Berberi. Begitu besar pengaruhnya hingga penguasa Hindu di sana kala itu, Dharam Sant, juga beralih ke agama Islam. Dia lantas mengubah namanya menjadi Sultan Muhammad Ibn Abdullah.
Peristiwa itu menjadi tonggak paling penting dalam perjalanan sejarah Republik Maladewa nama resmi negara ini. Hingga kini pun, masyarakat di sana selalu mengenangnya sebagai peristiwa "Revolusi Spiritual."
Memasuki zaman modern, cahaya Islam tak lantas pudar. Islam terus mengalami perkembangan, baik di tingkat pemerintahan maupun sosial kemasyarakatan. Ini misalnya ditunjukkan Presiden (saat itu-red) Mamun Abdul-Rashid dalam pidatonya bulan Juli 1984 yang tegas menyerukan, "Islam agamaku."
Menurutnya, Islam merupakan pandangan hidup ideal. Islam juga sangat dinamis dan mampu mengikuti perkembangan zaman hingga akan membawa kemanfaatan bagi siapa pun, dimana pun dan kapan pun. "Sistem dalam Islam dapat menjangkau setiap aspek pada kehidupan bermasyarakat."
Sebagai tindak lanjut, di bulan Nopember 1984 presiden mencanangkan proyek pembangunan komplek Masjid Jami dengan biaya 7 juta dolar AS. Upaya ini diharapkan semakin menambah ghirah keislaman pada segenap komponen masyarakat.
Tahun 1997 lahir undang-undang negara yang menyatakan Islam sebagai agama resmi negara. Ditetapkan pula bahwa setiap warga negara harus beragama Islam dan pengamalan agama selain Islam dilarang berdasarkan undang-undang. Perkecualian bagi orang asing yang non-Muslim, mereka bisa menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya namun harus dilakukan secara privasi serta tidak diperbolehkan mengajak penduduk untuk berpartisipasi. Dalam hal ini, presiden merupakan 'penguasa tertinggi penegak syariat Islam'.
"Islam telah menjadi karakteristik penduduk Maladewa karena mereka percaya Islam membawa kedamaian dan kesejahteraan," begitu bunyi laporan International Religious Freedom Report 2004.
Maumoon Abdul Gayoom, presiden Maladewa pada masa itu juga mengariskan kembali pendirian negara ini, yaitu tak ada agama selain Islam di negaranya. Untuk itu, presiden kemudian menginstruksikan Menteri Dalam Negeri menyusun langkah-langkah untuk mempertahankan dan menjaga kesatuan agama. Maka terbentuklah Mahkamah Tinggi Agama Islam yang dapat memberikan arahan-arahan di bidang agama. Di samping itu, disiapkan pula pedoman dan standar pelaksanaan ibadah sehingga amal ibadah umat dapat diterima di sisi Allah SWT.
Pemerintah juga melarang peredaran barang atau material apapun yang bercirikan non-Islam, namun diperbolehkan menyimpan literatur-literatur agama, seperti Injil, tapi hanya untuk kepentingan pribadi. Begitu pun penjualan pernak-pernik agama non-Islam -- kartu dan pohon Natal -- kecuali hanya dibatasi untuk orang asing dan turis. Langkah serta kebijakan lain adalah pelarangan bagi aktivitas penyiaran agama non-Islam serta misionaris. Peralihan agama dari Islam ke non-Islam sangat bertentangan dengan hukum syariat dan dapat berdampak bagi hilangnya hak kewarganegaraan.
Maladewa merupakan negara yang menerapkan praktek hukum syariat. Adapun hukum sipil menjadi bagian (subordinat) dari hukum syariat yang akan diterapkan bila menjumpai kasus yang tidak tercakup dalam hukum syariat. Di bawah sistem hukum Islam, kesaksian dua wanita sama nilainya dengan kesaksian seorang pria pada kasus pornografi, keuangan, dan waris. Namun terhadap kasus lain, kesaksian pria dan wanita dianggap sama nilainya.
Ini adalah salah satu keistimewaan Maladewa, dimana antara pria dan wanita dianggap berkedudukan sama. Di negeri ini, wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum pria, diluar hal-hal yang sudah diatur sesuai syara'.
Bila ditilik ke belakang, tradisi penghormatan terhadap wanita sudah menjadi bagian masyarakat sejak zaman dahulu. Catatan sejarah pertama menyebutkan, kepulauan ini diperintah oleh perempuan (ratu). Secara turun temurun, ratu akan mewariskan kekuasaan pada penerusnya, keturunan yang berjenis kelamin perempuan.