Ratu Adil Menurut Muslim Iran Hingga Umat Islam Indonesia
Ratu Adil dimaknai beragam oleh umat Islam Iran hingga Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID, Ide tentang Ratu Adil umumnya muncul ketika suatu kelompok masyarakat berada dalam kondisi ekonomi dan politik yang menyedihkah dan secara psikologis tak punya lagi harapan untuk bangkit bila hanya dengan menyandarkan pada kekuatan yang ada pada diri mereka sendiri.
Menurut Fiona Bowie (The Coming Deliverer, 1997), ide ini merupakan bagian dari ajaran orthodox semua agama. Aktif dan tidaknya ajaran ini sangat bergantung pada tingkat kesengsaraan yang dialami oleh suatu umat.
Ratu Adil biasanya dipersonifikasikan dalam wujud sesosok individu penuh kharisma, dengan kekuatan supranatural dan aura kenabian atau ketuhanan yang mampu menolong umat keluar dari krisis dan penderitaan.
Dalam teologi Syiah, dan juga sebagian umat Islam lain, gagasan tentang kedatangan Al-Mahdi al-Muntadzar (yang ditunggu-tunggu) seringkali tumbuh ketika mereka berada dalam situasi dan kondisi yang sangat tak berdaya.
Sebelum Revolusi Iran 1979, harapan akan kehadiran Al-Mahdi pada masyarakat Syiah Iran begitu luas tersebar. Al-Mahdi ini diyakini akan berperan sebagai sosok pembebas umat Islam dari kondisi keterpurukan dan keteraniayaan. Dalam agama Kristen, konsep tentang kehadiran Kristus (Messiah) untuk yang keduakalinya juga memiliki penjabaran yang mirip.
Gagasan ini berkembang pada masyarakat miskin, tersisihkan, dan putus asa yang menunggu-nunggu hadirnya makhluk yang mampu mengangkat derajat hidup mereka.
Pada awal abad ke-20, bagi sebagian masyarakat Indonesia, HOS Tjokroaminoto sering dianggap sebagai sosok Ratu Adil. Nama Tjokroaminoto dihubung-hubungkan dengan tokoh yang dinanti-nantikan kehadiranya di tengah rakyat Indonesia yang sengsara, Prabu Heru Tjokro.
Menurut pengamatan sejarawan Bernhard Dahm, melejitnya Sarikat Islam (SI) di era Perang Dunia I di antaranya adalah karena demam mesianis ini. Seabad sebelumnya, Pangeran Diponegoro menggunakan gelar Sultan Herutjokro atau Ratu Adil ketika ia memobilisasi para petani dan memimpin Perang Jawa 1825-1830. Presiden pertama Indonesia, Sukarno, oleh para pengikut militannya ketika itu juga sering diangap sebagai pengejawantahan Ratu Adil.
Bila dahulu Ratu Adil atau The Saviour atau The Just King itu selalu identik dengan person atau tokoh, maka wacana yang berkembang pada Islamis di Indonesia belakangan ini menunjukkan adanya pergeseran pemaknaan konsep Ratu Adil atau Al-Mahdi.
Bila pada tahun-tahun dahulu, umat Islam, terutama di Jawa, selalu mengharap kehadiran Ratu Adil bila mereka tertimpa krisis besar, maka pada krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia pada tahun-tahun terakhir dari abad ke-20 yang bekasnya masih terasa hingga saat ini, harapan terhadap munculnya Ratu Adil dalam arti sosok individu mengalami ketergusuran, kalau tidak kepunahan. Harapan yang sering dikemukakan Islamis untuk mengatasi krisis di Indonesia adalah sebuah konsep yang bernama syariat Islam.
Berbagai penelitian yang dilakukan baik oleh individu maupun lembaga, seperti penelitian Islam and Peace Building oleh ICIP-JICA (2004), menunjukkan bahwa tuntutan sebagian Islamis terhadap penerapan syariat Islam itu dilandasi oleh keyakinan bahwa syariat Islam akan berfungsi seperti sosok Ratu Adil.
Jargon-jargon yang ditampilkan dalam melihat peran syariat memperlihatkan bagaimana syariat betul-betul menempati posisi sebagai Messiah. Syariat, misalnya, dipandang sebagai total solution atau obat mujarab terhadap segala problem yang dihadapi oleh bangsa ini.
Krisis ekonomi, politik, moral, sosial, dan sebagainya adalah disebabkan karena bangsa ini menerapkan sistem sekular, sistem buatan manusia yang penuh kekurangan. Karena itu, sistem buatan manusia itu harus diganti dengan sistem milik Tuhan yang bernama syariat yang diyakini bersifat sempurna.