Prancis Larang Demonstrasi Black Lives Matter

Saat ini, Prancis belum izinkan pertemuan lebih dari 10 orang.

AP
Sejumlah pengunjuk rasa berlutut di depan barikade yang terbakar saat demonstrasi di Paris, Selasa (2/6). Prancis larang warganya berdemonstrasi karena kekhawatiran penularan Covid-19.
Rep: Puti Almas Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Aksi protes yang digelar di Ibu Kota Paris, Prancis telah dilarang oleh pihak berwenang karena kekhawatiran penularan penyakit infeksi virus corona jenis baru (Covid-19). Sejumlah demonstrasi dilakukan untuk menyuarakan antirasisme pasca kematian seorang warga keturunan Afrika-Amerika Serikat (AS) George Floyd.

Pada Sabtu (6/6), pihak berwenang Prancis melaporkan demonstrasi hendak digelar di sekitar Menara Eiffel di Ibu Kota Paris. Selain itu, aksi serupa juga hendak dilaksanakan di depan Kedutaan Besar AS.

Dalam sebuah pernyaraan, Kepolisian Paris (Le Prefecture de Paris) mengatakan banyak orang yang akan mengikuti demonstrasi tersebut. Namun, saat ini, sesuai aturan selama pandemi Covid-19, hanya 10 orang yang dapat berkumpul dalam satu waktu di area publik.

"Setiap pertemuan besar dapat menjadi tempat berkembang biak bagi COVID-19," ujar Kepolisian Paris, dilansir The Independent, Sabtu (6/6).

Diperkirakan 20 ribu orang menentang larangan demonstrasi. Mereka menilai bahwa ini adalah strategi polisi bagi mereka yang ingin memprotes ketidakdilan rasial.

Gas air mata telah mewarnai jalan-jalan di Paris ketika polisi anti huru hara bentrok dengan demonstran. Petugas pemadam kebakaran juga dilaporkan berjuang untuk memadamkan banyak kebakaran yang telah terjadi selama aksi protes berlangsung.

Para pengunjuk rasa di seluruh dunia turun ke jalan untuk mendukung gerakan Black Lives Matter dan menuntut keadilan bagi Floyd. Pria berusia 46 tahun itu meninggal pada 25 Mei lalu, setelah didatangi dan ditangkap oleh sejumlah petugas kepolisian Minneapolis karena menggunakan uang 20 dolar palsu di sebuah toko.

Dalam sebuah rekaman video, setelah didatangi polisi, Floyd diborgol dan tidak memberontak sepanjang proses penangkapan tersebut. Namun, ia tetap ditahan dengan posisi tiarap, lalu polisi memegangi badan dan salah satu diantara petugas menahan bagian lehernya dengan lutut, hingga kemudian terlihat tak sadarkan diri dan dinyatakan meninggal dunia.

Di Prancis, isu rasisme juga mewarnai negara itu setelah seorang warga kulit hitam bernama Adama Traore meninggal dalam tahanan polisi beberapa tahun lalu. Keluarga dari pria berusia 24 tahun itu mengatakan nampaknya Traore meninggal karena kehabisan napas, setelah tiga petugas polisi menahan badannya dengan posisi tengkurap.

Fakta-fakta dari kasus kematian Traore telah banyak diperdebatkan. Sebuah laporan yang dirilis pekan lalu menyatakan petugas polisi yang terlibat saat penangkapan tersebut bebas dan mengatakan kematiannya disebabkan oleh beberapa faktor termasuk kondisi medis yang mendasarinya serta cuaca panas. Itu dengan cepat ditentang oleh ahli medis lain yang menilai kasus atas nama keluarganya.

Belum ada yang didakwa dengan kematian Traore sampai saat ini.
Juru bicara pemerintah Prancis Sibeth Ndiaye menolak perbandingan antara kekerasan polisi di Prancis dan AS pada, mengklaim tidak ada kekerasan negara sistemik di Perancis.

Beberapa pejabat penegak hukum di Perancis telah dituduh dalam beberapa tahun terakhir menggunakan kekuatan secara tidak proporsional. Hal ini terlihat selama adanya aksi protes Rompi Kuning pada 2018 dan 2019 di mana gas air mata kerap digunakan terhadap para demonstran.

Pemerintah Prancis berulang kali menolak istilah "kekerasan polisi" meskipun kritik dari organisasi hak asasi manusia kerap diberikan. Presiden Emmanuel Macron pada awal tahun ini mengumumkan rencana untuk meningkatkan etika pasukan keamanan sebagai bentuk tanggapan atas masalah-masalah yang melibatkan aparat tersebut.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler