Islam Jelaskan Banyak Pertanyaan Sulit, Frederic Jadi Mualaf
Setelah jadi mualaf, Frederic banyak memberikan kontribusinya untuk Islam.
REPUBLIKA.CO.ID, SEVILLA -- Menjelang Hari Raya Idul Fitri 1441 H / 2020 kemarin, mantan striker di klub sepak bola Sevilla, Frederic Kanoute, berhasil mengumpulkan donasi senilai 1 miliar dolar AS untuk membangun masjid di Kota Sevilla, Spanyol. Kanoute tergerak mengumpulkan donasi lantaran belum ada satupun masjid di kota yang berada di selatan Negeri Matador itu.
"Ketika saya bermain untuk Sevilla, saya membantu komunitas muslim yang menggunakan mushala sementara. Mereka kini butuh bantuanmu untu membangun masjid di Sevilla, sebuah kota yang tidak memiliki masjid selama 700 tahun," kata Kanoute dalam video di Twitter-nya, seperti dikutip dari Anadolu Agency.
Pemain Mali yang lahir di Prancis ini memulai kampanye donasi tersebut sekitar satu tahun lalu. Kampanye itu dinamai Kanoute4SevilleMosque.
"Saya merasa terhormat menjadi bagian proyek ini yang saya percaya layak untuk didukung. Tempat seperti ini akan menjadi contoh cemerlang dari kehidupan Islam di zaman kita Insya Allah. Kita semua tahu bahwa satu pemain saja tidak memenangkan pertandingan. Bergabunglah dengan tim kami, kami membutuhkan dukungan Anda," katanya dalam video kampanye itu.
Kanoute mengatakan, dana akhirnya terkumpul hingga 1 miliar dolar AS pada Rabu, 20 Mei 2020 lalu. Ia pun mengucapkan terimakasih kepada semua orang yang telah menyumbangkan uang ataupun yang sakadar memyebar informasi soal donasi tersebut.
"Terimakasih banyak. Semoga Allah membalas dan mengangkat Anda semua yang telah berpartisipasi dalam kampanye ini, atau mereka yang berkontribusi, baik yang dalam bentuk uang atau hanya menyebarluaskannya," katanya.
Bukan sekali itu saja, Kanoute memberikan kontribusinya untuk umat. Gelimang uang dari industri olah raga termegah di dunia itu justru digunakan penyerang kelahiran Prancis itu untuk kemaslahatan umat.
Dia rela menyisihkan sebagian hartanya untuk memelihara syiar Islam. Pada tahun 2007, komunitas muslim Sevilla terancam tidak dapat menggelar sholat Jumat berjamaah ketika masjid di kota itu nyaris ditutup.
Izin penggunaan masjid di wilayah Ponce De Leon itu habis dan terpaksa dijual kepada publik. Kanoute tampil sebagai penyelamat dengan membeli masjid itu seharga 700 ribu dolar AS atau setara dengan Rp 6,6 miliar.
Untuk menyelamatkan masjid itu, Kanoute harus rela menyisihkan sekitar satu tahun gajinya di Sevilla. Meski demikian, Kanoute tetap tawadlu dan enggan berkomentar atas amal mulianya itu.
“Jika Kanoute tidak membelinya, mungkin kami tidak akan lagi bisa beribada shalat Jumat,” kata seorang juru bicara Islamic Community of Spain kepada media lokal Diario de Sevilla.
Kemudian, pada 2010, Kanoute menjadi pesepak bola Muslim di Eropa yang menunjukkan dukungannya langsung di lapangan dalam sebuah pertandingan resmi atas tragedi Palestina. Ia tampak begitu emosional ketika itu.
Ia berlari-lari menuju kamera TV dan para fotografer untuk mengambil fotonya sambil meminta Israel dan Amerika Serikat maupun sekutunya menghentikan agresinya terhadap Palestina. Bahkan, pada pertandingan lainnya, ia juga sempat menunjukkan sikapnya yang tegas terhadap Israel.
Itulah Frederic Kanoute. Apa yang ditunjukkannya itu merupakan kecintaannya pada Islam dan umat Islam. Siapa pun yang berani menginjak-injak kehormatan Islam, Kanoute akan berada di garda terdepan untuk menyuarakannya. Tentu saja, cara yang ditunjukkannya dengan cara yang damai dengan prestasi gemilang di lapangan hijau.
Masuk Islam
Kanoute lahir di Sainte Foy-les-Lyon pada 1977 di kawasan metropolitan di pinggiran Lyon, kota terbesar kedua di Prancis setelah Paris. Ayahnya adalah warga negara Mali, negara yang bentuknya seperti kupu-kupu.
Ia menetap di Paris saat berusia 21 tahun dan menjadi pekerja pabrik. Sang ayah menikah dengan perempuan Prancis, seorang profesor filsafat ibu Kanoute. Pendidikan menjadi hal penting di keluarga mereka.
Saudara laki-laki Kanoute seorang doktor, saudara perempuannya guru sekolah perawat. Dia sendiri selalu diharapkan ayah ibunya untuk masuk universitas. "Tapi, ayah, ibu, dan saudara-saudara saya tak keberatan saat saya memutuskan untuk berkarier sebagai pemain sepak bola. Meski tentu saja mereka lebih suka bila saya meneruskan kuliah," ceritanya sambil tertawa.
Menjadi Muslim, Kanoute muda mengenal Islam dari lingkungannya yang banyak dihuni para imigran dari Afrika bekas jajahan Prancis. Karena tertarik, dia lantas mencari buku-buku rujukan.
Tepat pada tahun pertama memulai karier profesional bersama Lyon, musim 1997/1998, saat usianya 20 tahun, dia mengucapkan kalimat syahadat. Namanya lantas berganti menjadi Frederic berganti menjadi Fr Oumar Kanoute.
Dia kemudian menikahi perempuan keturunan Mali, Fatima. Mereka telah dikaruniai beberapa orang anak. Ia mengaku sudah menghabiskan banyak waktu merenung mengenai kepercayaan dan agama.
"Keputusan saya bukan tanpa alasan. Saya sudah menghabiskan banyak waktu merenung mengenai kepercayaan dan agama. Islam mampu membuktikan dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan sulit soal hidup. Saya membaca dan terus membaca sehingga akhirnya yakin telah melakukan sesuatu yang benar," tuturnya.
Singkatnya, melalui Islam, katanya, Kanoute menemukan jawaban, keseimbangan, dan perdamaian. Bahkan, dengan kecintaannya yang teramat besar kepada sepak bola, Kanoute tetap meyakini ada sesuatu yang lebih penting dalam hidupnya.
"Saya pikir ada sesuatu yang lebih besar dibandingkan sepak bola. Tapi, bukan berarti sepak bola tak penting. Yang jelas saya mendapat pencerahan saat menjadi Muslim. Aturan dan hukum Islam menjadi model terbaik saya dalam menjalani hidup. Islam membantu saya menjalani hidup yang benar," tegas Kanoute.
Namun demikian, bukan tanpa halangan ketika Kanoute memutuskan memeluk Islam. Apalagi di saat berbagai media internasional sedang gencar-gencarnya memberitakan bahwa Islam sangat berbahaya dan memicu aksi terorisme. "Situasinya memang sangat sulit," ungkap Kanoute.
Tetapi, dengan hati yang teguh, dia selalu menjawab bahwa mereka yang terlalu fanatik dan berbuat teror hanyalah segelintir umat Islam di dunia. Bukan berarti publik, kata dia, bisa menghakimi seluruh umat Islam. Sebab, dalam hatinya meyakini bahwa Islam selalu mengajarkan pemeluknya untuk hidup dengan benar dalam perdamaian.
Umat Islam, termasuk dirinya, lebih sering mendengar dan membaca banyak omong kosong tentang Islam. Media, kata dia, telah membuat rasa takut terhadap Muslim. Sikapnya yang keras dalam membela Islam itu, diakui Frederic, membuat dia pernah dihina oleh para pemain sepak bola lainnya.
Namun, terkait hal ini, ia menyatakan siap untuk menghadapi apa pun dan tidak akan beranjak sedikit pun meninggalkan Islam. Seolah ingin memantapkan posisi keislamannya, Kanoute juga menerapkan perilaku Islami saat bertemu publik, baik di ruang pers maupun saat latihan.
Saat masih aktif, Ia kerap melakukan shalat lima waktu di ruang ganti ketika pertandingan berjalan, tetap berpuasa dalam pertandingan dan latihan di bulan Ramadhan. Dia juga tidak meminum bir, menyelamatkan sebuah masjid di Sevilla, dan meminta kostum khusus tanpa sponsor karena Sevilla --klub tempat ia bernaung ketika itu-- disponsori oleh rumah judi.
Dalam kariernya, Kanoute bukanlah pemain biasa. Kariernya sebagai pemain sepak bola dimulai saat bermain sebagai striker di klub lokal Prancis, Olympique Lyonnais, pada 1997-2000.
Setelah itu, dilanjutkannya di West Ham United pada 2000-2003. Saat bermain di West Ham, Kanoute tampil di 84 laga dan berhasil mencetak 29 gol.
Namun, pada akhirnya di 2003, Kanoute meninggalkan West Ham dan beralih ke klub Tottenham Hotspur hingga 2005. Selama menjalani karier sebagai pesepak bola profesional, ia berhasil meraih sejumlah gelar bergengsi, baik bersama klub maupun personal.
Bersama Sevilla, ia sudah memberikan enam gelar, yakni Piala UEFA (2006 dan 2007), Piala Super Eropa (2007), Piala Raja (2007, 2010), dan Piala Super Spanyol (2007). Sedangkan, untuk gelar pribadi, ia menjadi pemain terbaik Afrika tahun 2007.
Gelar sebagai African Footballer of the Year 2007 (pemain terbaik Afrika) adalah gelar pertama yang diraih oleh seorang warga Afrika yang lahir di Eropa tersebut. Kanoute juga menjadi pemain Mali pertama yang menjadi pemain terbaik Afrika setelah Salif Keita pada 1970. kandidat lain, yakni gelandang dan striker Chelsea, Michael Essien (Ghana) dan Didier Drogba (Pantai Gading).
Sebelumnya, striker berusia 33 tahun ini juga masuk nominasi sebagai pemain terbaik atas perannya meloloskan Mali ke putaran final Piala Afrika 2008. Seakan berusaha membuat prestasinya paripurna, dia juga membantu Sevilla menjuarai Piala UEFA dan Piala Raja. Karena itu pula, ia menjadi salah satu idola publik Ramon Sanchez Pizjuan sepeninggal Javier Saviola.