Beban Perempuan Dinilai Berat Selama Physical Distancing

Ia berharap, semoga para orang tua mampu mengelola stres sebaik-baiknya.

Antara/Jojon
Seorang ibu berjalan sambil menggendong balitanya mendampingi anaknya pergi ke sekolah.
Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Pemerhati masalah perempuan dan anak, Lianny rumondor mengatakan beban perempuan bertambah besar selama physical distancing atau masa jaga jarak.


"Pada keluarga struktur sosial patriarki maka perempuan dituntut berperan sebagai pengasuh, pendidik, memastikan kesehatan keluarga, hingga menyiapkan makanan. Kondisi ini bisa jadi pemicu kekerasan dan ketika perempuan dianggap tidak maksimal menjalankan tugasnya dan saat itulah kekerasan kerap dianggap wajar untuk kaum perempuan," kata Lianny Rumondor di Pekanbaru, Rabu (10/6).

Pendapat pengamat perempuan dan anak di Riau itu disampaikan menanggapi rilis Komnas HAM yang menyebutkan kekerasan rumah tangga meningkat saat Work From Home (WFH). Serta tercatat 80 persen keluarga berpenghasilan di bawah Rp 5 juta, anak kerap menjadi sasaran kekerasan karena konflik selama WFH dan SFH.

Menurut dia, situasi ini jadi semakin serius karena sebagian besar kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan juga akan melibatkan kekerasan terhadap anak-anak dan remaja.

"Pandemi Covid-19 ini mengubah setiap sisi tatanan kehidupan kita. Sejak pemerintah mengimbau masyarakat membatasi kegiatan di luar rumah dengan WFH dan SFH dan selalu menjaga jarak, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak jadi meningkat. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa rumah belum tentu menjadi tempat aman bagi perempuan dan anak," katanya.

Di masa pandemi ini, katanya miris, bahwa perempuan dan anak menjadi lebih rentan bukan saja rentan tertular virus, tapi juga rentan menjadi korban kekerasan. Di masa pandemi ini banyak orang yang stress akibat di PHK sehingga tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan hidup mereka seperti biasanya.

Mereka yang terkena PHK maupun WFH adalah orang-orang yang sudah terbiasa melakukan aktifitas di luar rumah dan karena situasi pandemi dipaksa harus berada di rumah saja.

Mereka menjadi jenuh, tentunya, katanya lagi stress dan mudah tersinggung. Keadaan inilah yang bisa menjadi faktor pemicu kekerasan terhadap perempuan dan anak. Atau harga diri laki-laki sebagai suami juga mungkin tinggi, dan setelah di PHK merasa tidak dihormati, istri dan anak menjadi pelampiasan stres.

"Anak rentan menjadi korban kekerasan karena dua faktor, pertama, konflik relasi orang tua yang sudah retak. Kedua, masalah ekonomi keluarga," katanya.

Meskipun panduan mengenai "Perlindungan Anak" di masa pandemi dan "New Normal" sudah ada, tapi belum tentu semua keluarga sudah mengaksesnya dan ini menjadi tantangan keluarga di masa pandemi.

Untuk anak, apapun keadaan orangtuanya, hak bahagia anak harus terpenuhi meski keluarga dalam masa sulit sehingga dalam pengasuhan kita anak harus memenuhi kebutuhan akan kasih sayang, kelekatan, keselamatan dan kesejahteraan. Kita harus memastikan hak anak terpenuhi demi kepentingan terbaik bagi anak.

Ia berharap, semoga para orang tua mampu mengelola stres sebaik-baiknya guna meminimalisasi persoalan tersebut sehingga persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak di rumah dapat dihindari.

"Guna mencegah masalah di keluarga yang berujung pada kekerasan, masing-masing anggota keluarga harus menyadari pentingnya arti kesetaraan. Meskipun tidak mudah harus diusahakan untuk meningkatkan kebersamaan keluarga terlebih dahulu. Jalin komunikasi yang baik, dari situ nanti akan muncul solusi yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah," kata Ketua Forum Komunikasi Keluarga Anak Dengan Kedisabilitasan (FKKADK) Provinsi Riau itu.

Ketika sudah muncul solusi yang baik, katanya lagi, maka meskipun kondisi ekonomi mungkin belum membaik, tapi kondisi keluarga menjadi kondusif dan lebih harmonis, sehingga WFH dan SFH sudah pasti bisa dijalani dengan baik.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler