China Prihatin dengan Komentar PM Jepang Soal Hong Kong
Beijing menegaskan Hong Kong merupakan urusan dalam negeri China.
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah China menyatakan keprihatinan besar atas komentar Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe terkait undang-undang (UU) keamanan nasional Hong Kong. Beijing pun menyoroti keinginan Tokyo memimpin negara anggota G7 mengeluarkan pernyataan tentang Hong Kong.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying mengatakah bahwa Hong Kong sepenuhnya menjadi urusan dalam negeri China. “Negara yang relevan harus mematuhi hukum internasional dan prinsip dasar hubungan internasional,” katanya dalam sebuah konferensi pers pada Rabu (10/6).
Pada Senin (8/6) lalu, Shinzo Abe mengatakan mengikuti situasi dan perkembangan di Hong Kong dengan keprihatinan mendalam. Hal itu sehubungan disahkannya UU keamanan nasional untuk Hong Kong oleh Kongres Rakyat Nasional China.
"Hong Kong adalah mitra yang sangat penting dalam hal ikatan ekonomi yang kuat dan hubungan manusia. Penting bahwa sistem asli 'satu negara, dua sistem' ditegakkan dan hal-hal lain berjalan stabil serta demokratis," kata Abe saat bicara di parlemen Jepang.
Dia pun memiliki niatan untuk mendorong negara anggota G7 mengeluarkan pernyataan bersama terkait situasi di Hong Kong. “Jelas, kami mengakui G7 memiliki misi untuk memimpin opini publik global dan Jepang ingin memimpin dalam mengeluarkan pernyataan berdasarkan ‘satu negara dua sistem’ di Hong Kong,” ujar Abe.
Kongres Rakyat Nasional China telah mengesahkan UU keamanan nasional untuk Hong Kong pada 28 Mei lalu. UU itu akan memperkuat kontrol Beijing atas wilayah semi-otonom tersebut.
Bagi Hong Kong, UU keamanan nasional dipandang sebagai jerat yang mengancam kebebasan. Sebab dengan UU itu parlemen China akan memiliki wewenang menetapkan kerangka hukum, termasuk implementasinya, untuk mencegah dan menghukum tindakan subversi, separatisme, termasuk campur tangan asing di Hong Kong.
Tindakan apa pun yang dianggap sangat membahayakan keamanan nasional akan diurus langsung parlemen China. Dengan demikian, warga Hong Kong tak bisa lagi dengan leluasa melaksanakan demonstrasi berjilid-jilid selama berbulan-bulan seperti pada 2019 lalu.