Skisma Islam di Jawa: Pertarungan Islam-Komunis 1950-an
Jejak pertarungan santri dan komunis pasca pemberontakan di Madiun
REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Selepas kegagalalan pemberontakan PKI Madiun, kegiatan aktivis politik ikut surut. Namun, kegiatan mereka menggeliat lagi dengan adanya semacam izin dari Presiden Soekarno dalam rangka menyonsong Pemilu 1955. Saat itu, berkat tangan dingin kaum PKI muda dengan tokoh utamanya Aidit --dan juga Njoto-- sukses membesarkan partai ini hinga menduduki empat besar dalam perolehan suara di pemilu paling pertama setelah kemerdekaan.
- Keterangan foto: Aidit dan Njoto di masa muda.
Uniknya, dalam kajian sejarawan MC Ricklef dalam bukunya ‘mengislamkan Jawa’ mulai awal dekade 1950-an di Jawa terjadi polarisasi antar Umat Islam yang mulai akut, yakni perpecahan antara kalangan Islam santri dan abangan. Bahkan dibagian lain, Rickles menyebutnya seolah sebagai sebuah sebuah perpecahan religius atau ’skisma’. Dia menulis begini:
Sebuah proses polarisasi (antara Islam santri dan abangan) yang dapat mulai dilacak sekitar abad pertengahan abad ke-19, dengan demikian kini menjadi lebih tajam dan berpotensi menjadi lebih keras. Bahkan seorang Indonesianis di pertengahan dasawarsa 1950, W.F Wertheim, dalam kajiannya ‘The decline of constitutional democracy in Indonesia memberikan komentarnya seperti ini:
‘Apabila terjadi sebuah proses de Islamisasi di kalangan masyarakat perkotaan dan pedesaan Jawa, di sisi lain tampaknya terdapat pendalaman kesadaran Islami di antara mereka yang melaksanakan kewajiban-kewajiban religius mereka dengan sepenuh hati. Tak diragukan lagu, proses polarisasi ini, yang makin ditegaskan oleh sistem partai politik, telah memecah belah komunintas pedesaan di banyak tempat di Jawa.’
Partai politik yang paling aktif dan berhasil menggalang pengikut di Jawa adalah PKI. Mereka mengadopsi praktik-praktik yang disebutnya ‘kecil’ namun efektif’ untuk memenangkan dukungan akar-rumput dari kangan abangan. Para petani dibantu melalui distribusi alat-alat pertanian, benih, dan pupuk, acara-acara perayaan pedesaan dibantu, sarana irigasi, sumur, jalanan, jembatan dan berbagai fasilitas publik lain diperbaiki; pendidikan dasar dan pemberantasan buta huruf dilaksanakan, kelompok-kelompok olah raga di pedesaan disokong; mereka ang menjadi korban dari bencana alam mendapat pertolongan, dan semacamnya.
Seiring menggeliatnya tahapan kampanye untuk tahun pemilihan umum mulai dari sekitar 1953, tindakan-tindakan semacam itu beserta mobilisasi politik yang terkait meningkat. PKI sangat bekerja keras untuk mengembangkan Barisan Tani Indonesia (BTI) sebagai salah satu organisasinya. Pada tahun 1957, hampir 70 persen keanggotaan BTI berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di mana ia mengklaim memiliki 2,3 juta anggota. Indonesianis lainnya, Hendlye, dalam ‘Communist Party of Indonesia’ menulis:
‘Karena PKI, untuk mendapatkan dukungan rakyat, sangat mengandalkan dukungan dari kalangan elit pegawai pemerintahan, pejabat desa, guru, dan terlepas dari banyaknya wacana tentang hal sebaliknya, jelas-jelas merupakan partai ‘orang berpunya’, PKI dan organisasi massanya memiliki monopoli yang nyaris sepenuhnya dalam menyalurkan protes dan aspirasi sosial apa pun yang ada di kalangan warga abangan yang lebih miskin. PKI telah berbuat lebih jauh dan, di banyak wilayah abangan, dengan sengaja mengeksploitasi ketakutan dan ketidaksukaan abangan terhadap santri guna memenangkan dukungan.’
-
Selanjutnya MC Ricklefs menulis, ‘permusuhan ini tentu saja berbalas, di mana beberapa kalangan santri menganggap lawan politik mereka itu sebagai kafir dan sekelomok guru agama di Jawa barat bahkan menyatakan bahwa anggota PKI tidak boleh dimakamkan sebagai Muslim.
Dalam menggeleorkan kebencian santri-abangan, kampanye pemilihan umum yang berlangsung pada pertengahan dasawarsa 1950-an hanya kalah dari peristiwa Madiun tahun 1948. Tepat pada waktu inilah Clifford Geertz, Robert Jay dan para kolega mereka melaksanakan penelitian lapangan mereka di ‘Mojokuto’ nama samaran untuk Pare (dekat Kediri). Publikasi hasil penelitian mereka memberi kita wawasan yang luar biasa mengenai keadaan Jawa Timur pada 1953-1954, ketika mereka mengamati menguatnya kesadara identitas dan permusuhan santri abangan.
- Keterangan foto: Keluarga pesantren Takeran yang menjadi saksi bisu penculikan dan pembantaian para kaum santri dan kiai pada pemberontakan PKI 1948.
Robert Jay misalnya mencatat, sebuah perpecahan religus (skisma) yang membelag masyarakat setempat dan betapa cepatnya perkembangan skisme tersebut dalam kurun waktu beberapa bulan ketika dia menjalankan penelitian lapangannya. Jay menyatakan betapa masing-masing pihak mencoba membersihkan dirinya sendiri dengan gaya serta ritual yang mencirikan pihak lain. Sementara kaum perempuan santri biasanya, meski tidak selalu, mengenakan kerudung dan kaum perempuan abangan biasanya, meski tidak selalu tidak mengenakannya, semakin lama kerudung menjadi sebuah simbol yang esensial dari identitas santri, senantiasi dikenakan oleh perempuan santri dan tidak pernah perempuan abangan.
Cerita-cerita mengenai peristiwa Madiun semakin menegaskan batas-batas tersebut, sebab komunitas santri melihat kebangkitan PKI dan cemas bahwa mereka akan menjadi sasaran kekerasan kaum Komunis. Seiring semakin dekatnya pemilihan umum 1955,pertimbangan paling penting yang yang dimiliki para pemilik suara ketika akan memberikan suara mereka adalah bilakah seorang kandidat tertentu adalah santri atau abangan.
Kaum santri di wilayah yang diteliti Jay menentang penghormatan kepada pendiri desa dan roh-roh penjaga yang diberikan oleh kalangan abangan, dan melahirkan berbagai kultus semacam ini dikurangi atau ditiadakan di desa-desa santri. Batas tersebut sedemikian menguat sehingga mendekati akhir penelitian lapangan mereka, bahkan Jay dan isterinya kesulitan untuk berpindah dari satu komunitas ke komunitas yang lain karena dicurigai sebagai orang yang bersimpati kepada pihak lain.