Kepolisian Seattle Cari Cara untuk Buka Kembali Kantor
Belakangan kantor polisi di Seattle ditutup selama aksi protes kematian George Floyd.
REPUBLIKA.CO.ID, SEATTLE -- Kepolisian Seattle, Amerika Serikat (AS) mencari cara untuk membuka kembali kantor di lingkungan Capitoll Hill yang ditutup selama aksi protes Black Lives Matter pascakematian George Floyd berlangsung. Saat ini, penghalang yang berfungsi membatasi para demonstran dari tempat tersebut telah dihilangkan.
Aksi protes dalam beberapa hari terakhir juga dilaporkan berlangsung secara damai, tanpa adanya bentrokan apa pun. Banyak orang di Capitoll Hill yang menggambarkan Black Lives Matter denga melukis di satu blok jalan.
Banyak demonstran yang menyuarakan agar tuntutan mereka dipenuhi, sebelum negara dibuka kembali sepenuhnya secara normal pasca pandemi virus corona jenis baru (Covid-19). Kelompok lain berjalan dan bersepeda ke pusat kota di kota dan berdiri di dekat pagar yang dibuat untuk menjauhkan orang.
Selama akhir pekan, petugas menggunakan gas air mata dan semprotan merica untuk membubarkan demonstran di daerah tersebut setelah mengatakan ada serangan menggunakan proyektil. Namun, beberapa anggota dewan Seattle mengatakan polisi bereaksi berlebihan dan memperparah ketegangan yang tidak perlu.
Menurut Deanna Nolette selaku wakil kepala Kepolisian, kantor polisi ditutup karena situasi yang dinilai dapat berbahaya, seperti perusakan atau bahkan pembakaran. Meski demikian, tidak ada laporan kerusakan dan kebakaran di kantor kepolisian Seattle selama gelombang demonstrasi berlangsung. Nolette mengatakan polisi ingin mendiskusikan pembukaan kembali dan aparat yang bertyugas dapat merespon panggilan 911 atau darurat dengan cepat di daerah tersebut.
"Kami berdedikasi untuk bekerja dengan para demonstran damain dalam cara untuk maju. Ini hanya masalah menjalin dialog," ujar Nollete, Rabu (10/6).
Aparat keamanan di seluruh AS dilaporkan sebelumnya kerap menggunakan gas air mata, semprotan merica, dan senjata tidak mematikan lainnya terhadap para peserta unjuk rasa yang menyuarakan penentangan terhadap rasisme. Kemarahan telah memuncak di Negeri Paman Sam dan banyak negara lainnya setelah Floyd meninggal dalam penangkapan oleh petugas polisi di Minneapolis, Minnesota.
Walikota Seattle Jenny Durkan dan Kepala Polisi Carmen Best meminta maaf kepada pengunjuk rasa damai yang menjadi sasaran senjata kimia dan berjanji selama 30 hari ke depan tak akan menggunakan gas air mata atau dikenal sebagai CS. Namun, hanya beberapa hari kemudian penggunaan gas CS kembali dilakukan, dengan alasan demkonstran bersikap tidak sopan dan mendekat ke posisi aparat keamanan berada.
Para pengunjuk rasa di AS dan banyak negara di seluruh dunia telah turun ke jalan untuk mendukung gerakan Black Lives Matter dan menuntut keadilan bagi Floyd. Pria berusia 46 tahun itu meninggal pada 25 Mei lalu, setelah didatangi dan ditangkap oleh sejumlah petugas kepolisian Minneapolis karena menggunakan uang 20 dolar palsu di sebuah toko.
Dalam sebuah rekaman video, setelah didatangi polisi, Floyd diborgol dan tidak memberontak sepanjang proses penangkapan tersebut. Namun, ia tetap ditahan dengan posisi tiarap, lalu polisi memegangi badan dan salah satu diantara petugas menahan bagian lehernya dengan lutut, hingga kemudian terlihat tak sadarkan diri dan dinyatakan meninggal dunia.