H&M Jadi Korban Teranyar Gempuran Covid-19
Pandemi Covid-19 akibatkan krisis eksistensi bagi industri mode.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Priyanka, Antara
Pandemi Covid-19 telah menurunkan daya beli masyarakat di seluruh dunia. Akibatnya, jenama mode dunia melaporkan penurunan penjualan bahkan terpaksa menutup tokonya secara permanen.
Ritel fesyen terbesar kedua dunia, H&M, melaporkan penurunan tajam dalam penjualan kuartal kedua. Langkah-langkah restriksi mobilisasi untuk memperlambat laju penyebaran virus corona baru menjadi penyebabnya.
Seperti dilansir Reuters, Selasa (16/6) , penjualan bersih H&M selama tiga bulan hingga 31 Mei turun 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 28,7 miliar krona Swedia atau 3,1 miliar dolar AS. Realisasi ini lebih tinggi sedikit dibandingkan rata-rata prediksi para analis yang ditunjukkan data Refinitiv, yakni turun sampai 27,5 miliar krona Swedia.
Pada akhir April, H&M mulai membuka kembali toko-toko mereka secara bertahap. Sebelumnya, sekitar 80 persen toko harus ditutup akibat pandemi. Tapi, H&M mengatakan, dalam 13 hari pertama bulan ini, penjualan dengan mata uang lokal sudah turun 30 persen.
H&M berencana melaporkan pendapatan kuartalan penuh pada 26 Juni. Sampai saat ini, setidaknya 18 persen dari 5.058 toko tetap ditutup sementara.
Di sisi lain, penjualan daring perusahaan asal Swedia tersebut justru melonjak 36 persen. Pembatasan aktivitas sosial dan imbauan untuk tetap di rumah menyebabkan masyarakat lebih memilih belanja dari rumah melalui platform daring.
Analis RBC Richard Chamberlain mengatakan, ia masih relatif berhati-hati terhadap margin dan prospek persediaan H&M. Ia memperkirakan, penjualan akan terus pulih, meskipun secara bertahap.
Pada kuartal kedua, saham H&M harus mengalami kerugian pertama dalam beberapa dekade terakhir. Nilainya turun dua persen pada awal perdagangan dan 26 persen sejauh ini pada 2020.
Hantaman tidak hanya terjadi pada H&M. Saingan terbesar H&M, Inditex yang merupakan pemilik Zara, mencatat penurunan penjualan 44 persen untuk periode Februari sampai April.
Akibatnya, Inditex, perusahaan mode multinasional asal Spanyol yang menaungi label Zara, akan menutup 1.200 toko ritelnya di seluruh dunia. Selain Zara, Inditex yang mengoperasikan lebih dari 7.000 toko di seluruh dunia ini juga menaungi merek lain, seperti Zara Home, Massimo Dutti, Bershka, Pull and Bear, dan Oysho.
Independent melaporkan pada bulan Maret, perusahaan ini mengumumkan berniat untuk menutup 3.785 toko secara global setelah pandemi virus corona menyebabkan angka penjualan di toko ritel mengalami penurunan. Tiga bulan kemudian, perusahaan ini merilis pernyataan yang menjelaskan rencananya untuk meningkatkan penjualan secara daring, namun dalam prosesnya ratusan toko ritel akan ditutup sebagai bagian dari rencana ini.
Dari 7.412 toko ritel besar yang ada di seluruh dunia, Inditex berencana untuk mempertahankan 6.900 toko. Inditex juga akan membuka 450 toko baru yang semuanya dilengkapi dengan teknologi daring untuk penjualan, sehingga menyerap 1.000 hingga 1.200 toko berukuran lebih kecil.
Kendati demikian, selama kuartal pertama 2020 antara 1 Februari hingga 30 April, penjualan Inditex turun hingga 44 persen, sementara 88 persen tokonya masih tetap tutup. Selama kuartal pertama, perusahaan mencatat kerugian bersih hingga 409 juta euro atau sekitar Rp 6,5 triliun. Di lain sisi, penjualan secara daring dikatakan Inditex mengalami peningkatan hingga 50 persen.
"Perusahaan telah memutuskan untuk membuat provisi sebesar 308 juta euro (sekira Rp 4,9 triliun) terkait dengan pelaksanaan rencana untuk meningkatkan toko daring dan lebih lanjut mengintegrasikannya dengan toko ritel," kata Inditex dalam pernyataanya.
Perusahaan itu juga menyatakan bahwa penjualan toko ritel telah pulih secara bertahap, sejak kembali di buka pada kuartal kedua "dengan pasar-pasar tertentu yang menonjol seperti China, Korea Selatan, dan Jerman," demikian laporan Independent.
Dikutip dari BBC, pendiri dan CEO The Business of Fashion, Imran Amed, mengatakan, pandemi telah mengakibatkan krisis eksistensi bagi industri mode. Dia mengatakan, bisnis mode masih sangat bergantung pada toko fisik. Lebih dari 80 persen transaksi di industri mode terjadi di toko fisik.
"Ditambah saat ini, banyak pembeli tidak berminat membeli pakaian. Mereka fokus ke pembelian barang-barang yang lebih bermanfaat saat lockdown dan saya rasa itu yang lebih ada di pikiran orang-orang. Jadi pakaian atau busana menjadi sesuatu yang tidak dipikirkan saat ini, atau dipikirkan belakangan," sambungnya.
Penjualan yang rendah menimbulkan pertanyaan apa yang terjadi pada stok yang ada di toko dan gudang. Memang pakaian tidak cepat rusak seperti makanan. Tapi pakaian memiliki faktor mudah cepat tidak jadi tren lagi.
Sejumlah perusahaan pun berstrategi. Gap misalnya menggelar diskon untuk pakaian yang sudah lewat musimnya. Sedangkan Uniqlo mempromosikan diskon pakaian santai yang cocok digunakan di rumah.
Dampak bisnis dari penutupan atau menurunnya penjualan mode tidak hanya berdampak ke perusahaan atau pegawainya. Pasalnya, banyak produk mode dunia yang diproduksi di negara seperti Bangladesh hingga Indonesia.
Forbes mencatat, akibat penutupan toko atau penurunan penjualan, merek mode dunia telah membatalkan pesanan sebesar 2,8 miliar dolar AS dari pemasok di Bangladesh. Fakta tersebut bisa menyebabkan krisis kemanusiaan di Bangladesh.
Sekitar 1,2 juta orang di Bangladesh bisa terdampak secara langsung dari pemesanan. Pembatalan dirasakan oleh ribuah perusahaan yang kehilangan kontrak kerjanya dengan sejumlah jenama mode.
Sebanyak 72,4 persen perusahaan yang terdampak tidak bisa memberikan karyawannya pendapatan saat terpaksa dirumahkan sementara (furlough). Lalu 80,4 persen perusahaan tidak bisa memberi pesangon yang menyebabkan karyawan harus terkena PHK.
Ketika lockdown mulai diangkat dan toko-toko sudah kembali buka, pemasok di Bangladesh juga tidak bisa kembali bergembira. Sejumlah jenama pasalnya meminta diskon pengiriman barang dari pemasok hingga kemudahan lainnya.