Shift Kerja Jabodetabek Bisa Diterapkan di Daerah Lain
Pembagian shift kerja di Jabodetabek untuk kurangi kepadatan transportasi umum.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menyampaikan bahwa kebijakan pembagian jam masuk kerja bisa saja diterapkan di daerah. Sebelumnya, kebijakan itu sudah berjalan di wilayah Jabodetabek dengan landasan Surat Edaran Gugus Tugas nomor 8 tentang pengaturan jam kerja.
Yurianto menjelaskan, kebijakan itu dibuat agar masyarakat bisa beraktivitas dengan aman dan tetap aman dari Covid-19. Kendati aktivitas masyarakat mulai berjalan dengan standar normal yang baru, pemerintah menekankan untuk tetap memantau aspek epidemiologis.
"Selanjutnya bisa diimplementasikan di tempat lain dengan cara dan prinsip yang sama," ujar Yurianto, Selasa (16/6).
Pembagian shift kerja mulai diberlakukan Senin (15/6) kemarin. Pembagian shift kerja itu dimaksudkan untuk mengurai kepadatan pengguna transportasi umum yang biasanya menumpuk pada jam keberangkatan 05.30 hingga 06.30 pagi setiap harinya.
Dengan adanya dua shift, artinya dalam setiap instansi ada dua gelombang jam masuk kerja. Gelombang pertama, adalah pekerja yang masuk pukul 07.00-07.30 WIB. Dengan asumsi bekerja selama 8 jam, maka para pekerja yang sudah masuk pada jam tersebut diharapkan sudah bisa pulang pada pukul 15.00-15.30 WIB.
Gelombang kedua, jam masuk kerja ditetapkan pukul 10.00-10.30 WIB. Dengan waktu kerja selama 8 jam, maka para pekerja yang masuk lebih siang tersebut diharapkan sudah bisa pulang pukul 18.00-18.30 WIB.
Kebijakan itu berlaku untuk seluruh instansi pemerintah, BUMN, dan swasta. Artinya, ada jeda minimal 3 jam antar shift nantinya. Dalam surat edaran juga disebutkan, jumlah minimal pegawai yang bekerja dalam shift diatur secara proporsional mendekati perbandingan 50:50 untuk setiap shift.
Kendati ada pembagian jam masuk kerja, Yuri menegaskan bahwa perusahaan harus tetap memberikan kelonggaran bagi karyawannya yang berisiko tinggi untuk tetap melakukan work from home (WFH) atau bekerja dari rumah. Karyawan berisiko tinggi itu adalah mereka yang memiliki penyakit penyerta seperti tekanan darah tinggi, diabetes, penyakit paru, hingga pegawai yang usianya sudah lanjut.
"Diharapkan bisa tetap bekerja dari rumah. Ini penting. Ini upaya yang harus kita lakukan agar penularan di sarana fasilitas umum bisa diatasi," ujarnya.