Pukat UGM: Pemberian Remisi pada Nazaruddin tidak Tepat
Pukat UGM mengkritik pemberian remisi untuk terpidana M Nazaruddin.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rahman mengatakan pemberian remisi 49 bulan kepada mantan politikus Partai Demokrat M. Nazaruddin tidak tepat. Menurutnya, pemberian remisi kepada Nazaruddin bertentangan dengan aturan resmisi bagi narapidana kasus korupsi di Pasal 34 A PP 99/ 2012.
Selain itu, status Justice Collaborator (JC) yang disebut oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan juga sangatlah tidak mungkin bisa diberikan kepada Nazaruddin. "Menurut saya JC sangat tidak mungkin diberi ke Nazarudin. Pertama beliau adalah merupakan pelaku utama," kata Zaenur kepada Republika.co.id, Rabu (17/6).
Kedua, sambung Zaenur, selama proses persidangan, Jaksa Penuntut Umum KPK tidak pernah menyinggung ihwal pemberian JC kepada Nazaruddin. Adapun terkait dua surat keterangan bekerjasama yang diberikan KPK kepada Nazaruddin pun setelah putusan sudah berkekuatan hukum tetap.
"Sehingga tidak bisa untuk pemberian JC. Perlu dipahami JC hanya bisa diberikan dalam proses persidangan. Sehingga karena ketentuan aturan pemberian JC di SEMA 4/2011 tidak terpenuhi. Otomatis yang bersangkutan (Nazaruddin) tidak bisa dapatkan hak remisi," tegas Zaenur.
Zaenur pun menyayangkan Nazaruddin yang sudah mendapatkan program Cuti Menjelang Bebas (CMB) sehingga ia bisa keluar lembaga pemasyarakatan pada Ahad (14/6). Seharusnya, jika masa hukuman dikurangi remisi, Nazaruddin bebas pada 13 Agustus 2020.
"Padahal CMB bisa didapat karena terpidana mendapatkan banyak remisi," ucapnya.
Sebelumnya, Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Rika Aprianti ikut menjelaskan ihwal remisi yang didapat Nazaruddin. Remisi didapatkan lantaran Nazaruddin telah ditetapkan sebagai pelaku yang bekerja sama (justice colaborator) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Yang berdasarkan Surat nomor R-2250/55/06/2014 tanggal 09 Juni 2014 perihal surat keterangan atas nama Muhammad Nazaruddin dan Surat Nomor R.2576/55/06/2017 tanggal 21 Juni 2017, perihal permohonan keterangan telah bekerja sama dengan penegak hukum atas nama Mohammad Nazaruddin," jelas Rika.
Sementara KPK menegaskan tak pernah memberikan JC kepada Nazaruddin. Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, lembaganya memang pernah menerbitkan dua surat keterangan yakni pada 09 Juni 2014 dan 21 Juni 2017.
Namun, surat yang KPK terbitkan menurut Ali adalah surat keterangan bekerjasama untuk Nazaruddin karena sejak proses penyidikan, penuntutan dan di persidangan telah mengungkap perkara korupsi pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang. Kemudian perkara proyek pengadaan KTP-elektronik di Kemendagri dan perkara dengan terdakwa Anas Urbaningrum. Selain itu, Nazaruddin juga telah membayar lunas denda ke kas Negara.
Ali mengungkapkan, dalam surat keterangan bekerjasama tersebut, juga menegaskan KPK tidak pernah menetapkan Nazaruddin sebagai JC. "Pimpinan KPK saat itu tidak pernah menetapkan M. Nazarudin sebagai Justice Collaborator (JC)," tegas Ali dalam pesan singkatnya, Rabu (17/6).
Lebih lanjut Ali menjelaskan, status JC dan surat keterangan bekerja sama merupakan dua hal berbeda. JC diberikan KPK saat proses hukum masih berjalan dan diputuskan oleh Majelis Hakim. Sementara surat keterangan bekerja sama diberikan KPK saat perkara hukum yang menjerat Nazaruddin telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
"Kami sampaikan kembali bahwa KPK tidak pernah menerbitkan surat ketetapan JC untuk tersangka MNZ (M. Nazaruddin). Benar kami telah menerbitkan dua surat keterangan bekerjasama yang bersangkutan tahun 2014 dan 2017 karena telah bekerjasama pada pengungkapkan perkara dan perlu diingat saat itu dua perkara MNZ telah inkracht," tegasnya lagi.
Oleh karenanya, KPK menyesalkan langkah Ditjenpas memberikan cuti menjelang bebas kepada Nazaruddin. Bahkan, sambung Ali, KPK sebenarnya sudah tiga kali menolak memberikan rekomendasi sebagai persyaratan asimilasi kerja sosial dan pembebasan bersyarat yang diajukan Ditjenpas Kemenkumham, M. Nazarudin maupun Penasihat Hukumnya yakni pada Februari 2018, Oktober 2018 dan Oktober 2019.
Ke depannya, KPK berharap Ditjenpas dapat lebih selektif dalam memberikan hak binaan, seperti remisi, pembebasan bersyarat, asimilasi dan lainnya kepada napi kasus korupsi. Hal ini lantaran korupsi merupakan kejahatan luar biasa. "Mengingat dampak dahsyat dari korupsi yang merusak tatanan kehidupan masyarakat," kata Ali.