Hikmah di Balik Sabda Rasulullah SAW untuk Biasakan Diam
Rasulullah menekankan kepada umatnya memperbanyak diam.
REPUBLIKA.CO.ID,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam; barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya; barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya."
(HR Bukhari Muslim)
Hadis ini termasuk rujukan utama bagi seorang Muslim dalam bersikap dan membina hubungan bermasyarakat. Karenanya, hadis ini layak dihapal, diulang-ulang, ditafakuri, dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Walau redaksinya sangat singkat, tapi pengaruhnya sungguh luar biasa, terutama bagi terciptanya hubungan yang harmonis di masyarakat.
Ada tiga hal penting yang dikemukakan Rasulullah SAW dalam hadis yang teramat mulia ini. Pertama, keharusan menjaga lisan. Kedua, keharusan menghormati tetangga. Dan ketiga, keharusan memuliakan tamu. Insya Allah, dalam tulisan ini penulis hanya akan membahas poin pertama.
Imam Al-Jalil Abu Muhammad bin Abi Zaid mengatakan bahwa berkata baik atau diam termasuk satu dari empat etika kebaikan yang sangat utama dalam Islam, selain meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat, menahan marah, dan mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya.
Imam Syafi'i memberi pula komentar tentang berkata baik atau diam ini: "Hadis ini bermakna apabila seseorang hendak bicara, maka berpikirlah terlebih dulu. Apabila telah jelas bahwa bahwa ucapannya akan membawa kemaslahatan, maka berbicaralah. Dan, apabila telah jelas bahwa ucapannya akan membawa kemudharatan atau ia ragu, bahaya dan tidaknya, maka diamlah".
Diam adalah sesuatu yang netral. Diam bisa menunjukkan keutamaan atau kebodohan seseorang. Diam pun bisa menunjukkan perbuatan haram ataupun halal. Intinya, baik buruknya sikap diam sangat dipengaruhi oleh adanya stimulus yang datang pada seseorang (adanya pengkondisian). Karena itu, ada beberapa tingkatan orang diam, yaitu diamnya orang berilmu (saleh), diamnya orang yang memang pendiam, dan diamnya orang bodoh.
Diam tipe orang pertama adalah yang paling utama. Ia diam karena tahu ada kebaikan di balik diamnya tersebut. Ada sebuah kisah menarik dari Anas bin Malik. Suatu hari pada Perang Uhud, aku melihat seorang pemuda yang mengikatkan batu ke perutnya lantaran kelaparan. Ibunya lalu mengusap debu dari wajahnya sambil berkata, "Semoga surga menyambutmu, wahai anakku." Ketika melihat pemuda yang terdiam itu, Rasul bersabda, "Tidakkah engkau ketahui mengapa ia terdiam saja? Mungkin ia tidak ingin berbicara yang tidak perlu atau ia menolak dari hal-hal yang membahayakan dirinya." Dalam riwayat lain, Rasul bersabda, "Kalau engkau temukan seseorang yang sangat berwibawa dan banyak diamnya, ketahuilah mungkin ia sudah memperoleh hikmah".
Apa keutamaan diam yang berdasarkan ilmu? Sayyid Haidar Amuli mengungkapkan-seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat, bahwa ketika kita menutup mulut untuk tidak bicara, berarti kita mengizinkan hati kita untuk bicara lebih banyak. Setiap manusia memiliki hati yang selalu mengajak kita berbicara. Salah satu pembicaraan hati adalah mengecam perilaku-perilaku yang kurang baik.
Hati bisa berbicara. Ketika mulut seseorang terlalu banyak bicara, ia tidak akan dapat mendengar suara hati nuraninya. Suara hatinya tersumbat oleh riuhnya suara-suara mulutnya sendiri.
Dengan diam, risiko tergelincir menjadi semakin kecil. Rasulullah SAW menyebutkan, "Barang siapa yang diam, dia pasti selamat." Disebutkan pula, "Diam itu kearifan, tetapi sangat sedikit orang yang melakukannya.