Ribut Lembaga Fatwa Mesir dan Turki Gara-Gara Hagia Sophia
Lembaga Fatwa Mesir Dar Al-Ifta Dikecam saat kritik alih status Hagia Sophia
REPUBLIKA.CO.ID, KAIR0- Dar Al-Ifta, lembaga otoritas utama Mesir tentang fatwa agama Islam, telah memicu kontroversi yang cukup luas setelah merilis pernyataan berjudul 'Erdogan terus memanfaatkan kekuatan fatwa untuk memperkuat tiraninya dan membenarkan ambisi kolonialnya di luar negeri'.
Pernyataan itu menggambarkan kontrol Ottoman atas Konstantinopel, yang kini dinamai Istanbul, sebagai penaklukan besar Islam.
Pernyataan yang dirilis Pusat Media Dar al-Ifta pada 7 Juni lalu, mengungkap kejanggalan dalam politik internal Turki dan praktik pembisuan perbedaan pendapat.
Artikel tersebut juga menyebut Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, mengambil keuntungan dengan mengatasnamakan kepentingan agama untuk mencapai stabilitas internal dan kemenangan atas lawan-lawan politiknya.
Meski begitu, konten yang banyak dikritik dari pernyataan Dar al-Ifta adalah ketidaktepatan pilihan kata yang digunakan lembaga fatwa tersebut. Dalam tulisannya, mereka menggunakan kata invasi Ottoman yang ditunjukkan untuk menggambarkan penaklukan Konstantinopel, sekaligus mengungkapkan protesnya atas konversi Museum Hagia Sophia menjadi masjid.
“Hagia Sophia dibangun sebagai gereja selama periode Bizantium pada 537 M, dan itu tetap [sebuah gereja] selama 916 tahun sampai Ottoman menduduki Istanbul pada 1453, kemudian mereka mengubah bangunan itu menjadi masjid,” tulis Dar al-Ifta yang dikutip di al-Monitor, Sabtu (20/6).
Akibatnya, lembaga otoritas Mesir ini harus memanen banyak cercaan dari pendukung Erdogan yang berisi kutukan karena dianggap telah menggambarkan penaklukkan Konstantinopel, salah satu keberhasilan terbesar Islam, sebagai invasi untuk kepentingan politik.
Ali Erbas, Kepala Direktorat Urusan Agama Turki, mengunggah komentarnya yang mengatakan bahwa pernyataan Dar al-Ifta tidak sejalan dengan kepercayaan dan moral Islam. Dalam cuitannya pada 10 Juni lalu, dia juga menganggap bahwa apa yang ditulis Dar al-Ifta sangat membingungkan dan memalsukan fakta sejarah.
Menurut ensiklopedia online Britannica, dijelaskan bahwa penaklukan Konstantinopel dilakukan Sultan Mehmed II dari Kekaisaran Ottoman. Dalam penjelasannya, tertulis bahwa Kekaisaran Bizantium berakhir ketika Ottoman menghancurkan tembok tanah kuno Konstantinopel setelah mengepung kota selama 55 hari. Mehmed II mengelilingi Konstantinopel dari darat dan laut sambil menggunakan meriam.
Pada 8 Juni lalu, artikel yang diunggah Dar al-Ifta di laman Facebook resminya menyoroti peran Erdogan dalam pemanfaatan fatwa sebagai senjata perluasan tiraninya. Namun artikel itu ditarik dan diganti dengan unggahan baru, dimana tertulis bahwa penaklukan besar Islam adalah kesuksesan Sultan Ottoman, Mehmed II dan Erdogan tidak memiliki hubungan apapun dengan Mehmed.
Penarikan mundur artikel itu diklaim karena banyaknya serangan yang datang, bukan hanya pada media Dar al-Ifta, tapi juga anggota parlemen Mesir, Mohamed Abu Hamed.
Dia mengaku menerima serbuan pertanyaan dari media Turki dan Ikhwanul Muslimin akibat artikel kontroversial itu. “Penaklukan Konstantinopel dilakukan Sultan Mehmed II dan merupakan penaklukan Islam yang penting. Tetapi pada saat yang sama, Presiden Turki tidak ada hubungannya dengan Mehmed II," kata Mohamed Abu Hamed yang dikutip di Al-Monitor.
Kritik juga diungkapkan beberapa kritikus politik yang mengatakan bahwa Dar al-Ifta telah mencampuradukkan urusan agama dengan politik, dan sikap ini diklaim dapat menjadi pemicu ketegangan di kedua negara. Amr Hashem Rabie, Wakil Kepala Pusat Studi Politik dan Strategis Al-Ahram, menganggap bahwa Dar al-Ifta telah melakukan praktik politisasi agama.
Dia mengatakan, Dar al-Ifta seharusnya mengkritik kebijakan Erdogan dengan menyajikan kritik yang berdasar pada standar politik, atau dasar sistem pemerintahan, bukan dengan agama.
"Otoritas agama hanya peduli dengan masalah agama, terutama jika itu adalah institusi besar dan terkenal seperti Al-Azhar dan Dar al-Ifta," singgungnya.