Risiko Default Jadi Pemicu Baru Ancaman Resesi Ekonomi
Diperlukan langkah-langkah strategis demi menyikapi kasus gagal bayar.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meluasnya kasus gagal bayar industri keuangan turut menjadi katalis negatif bagi pemerintah yang kini tengah menjaga kondisi perekonomian nasional, pasca pandemi virus Corona. Setidaknya diperlukan langkah-langkah strategis demi menyikapi kasus gagal bayar, sehingga tidak menjadi tambahan beban baru dikarenakan adanya potensi resesi ekonomi pasca pandemi.
Menurut Analis pasar modal dari Avere Mitra Investama Teguh Hidayat kasus gagal bayar yang terjadi saat ini akan menghambat upaya pemerintah sendiri dalam memasyarakatkan pasar modal.
"Dampaknya bisa dilihat dari volume transaksi menjadi sepi dan turunnya kepercayaan dari masyarakat," ujarnya dalam keterangan tulis, Rabu (24/6).
Seperti yang diketahui, sejak mewabahnya virus Corona di sejumlah negara termasuk Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tekanan yang cukup signifikan atau turun 20,99 persen dari posisi 6.283 pada awal tahun, menjadi 4.964 pada penutupan Rabu (24/6). Bahkan, posisi IHSG sempat menyentuh level 3.937 atau amblas 37,33 persen pada Selasa (24/3).
Untuk dapat memitigasi risiko gagal bayar di industri keuangan Indonesia, Teguh bilang, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah dan otoritas bisa dimulai dengan mendengar masukan dari sejumlah ekonom maupun pelaku pasar.
Dengan ekslusifnya sikap pemerintah dan regulator yang ditunjukkan selama ini, dia mengaku tidak heran jika kasus gagal bayar produk reksadana, asuransi dan obligasi akan menambah beban pemerintah di tengah ancaman resesi pasca pandemi virus Corona.
"Memang belakangan otoritas dan seterusnya sudah mulai mendengar masukan-masukan dari pelaku pasar. Tapi dulunya saya dan teman teman nggak pernah digubris ketika memberi masukan," ucapnya.
Selain mendengar masukan, imbuh Teguh, hal yang juga harus dilakukan pemerintah dan otoritas ialah memperbaiki tata kelola sekaligus pengawasan di pasar modal.
Artinya dengan memperbaiki tata kelola dan pengawasan, sudah tentu akan memunculkan persepsi baru pada benak investor pasar modal bahwasanya pemerintah dan otoritas mulai melakukan bersih-bersih industri keuangan Indonesia.
"Dan sudah tepat jika penegakkan hukum terhadap dugaan korupsi Jiwasraya dan kasus pasar modal lainnya harus dijadikan momentum perbaikan tata kelola. Karena di sisi lain, sejak 2015 kami gencar menggaungkan investasi di pasar modal, mempromosikan investasi, jadi sekarang bagusnya masyarakat sudah melek investasi," ucapnya.
Untuk itu, Teguh pun meminta seluruh elemen untuk bisa mendukung adanya perbaikan tata kelola di pasar modal. "Meskipun tiap perusahaan punya cerita macam-macam hingga gagal bayar, tapi pangkal masalahnya dua 2 hal. Pertama mereka menjanjikan bunga fixed, kemudian pasar modalnya memang lagi tidak bagus, ditambah kurang ketatnya tata kelola," ucapnya.