Komunitas Arab Masih Berjuang Melawan Sisa-Sisa Rasisme
Rasisme tidak dibenarkan dalam Islam.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Arab dan komunitas Muslim dinilai perlu lebih banyak membahas mengenai isu rasisme. Selama ini, kaum Muslim dari etnis kulit hitam terbilang jarang disorot dalam percakapan, serta tersingkir dari politik serta budaya Arab.
Pembahasan tersebut kian krusial, setelah mengemukanya insiden pembunuhan pria Afrika Amerika George Floyd di Amerika Serikat. Mayoritas Muslim Arab dan Asia Selatan pun diminta mengevaluasi peran mereka dalam ketidakadilan sistemik.
Pendiri sekaligus direktur Kolaborasi Anti-Rasisme Muslim, Margari Aziza Hill, menganggap masalah terbesar Muslim saat ini bukan hanya Islamofobia. Perempuan Muslim kulit hitam itu juga menyebutkan rasisme sistemik dan supremasi kulit putih.
"Jika berkomitmen pada dekolonisasi, antirasisme, anti-Islamofobia, antipenindasan, kita akan berhasil. Tetapi jika hanya fokus pada Islamofobia, maka kita akan meninggalkan banyak orang, masih banyak yang akan mengalami kekerasan rasial," ujarnya.
Komunitas Arab masih berjuang melawan sisa-sisa rasisme itu. Bulan lalu, sejumlah selebritas Arab mengenakan wajah hitam dalam upaya gagal mendukung George Floyd dan gerakan Black Lives Matter. Padahal, itu masuk dalam kategori "blackface".
Praktik "blackface" berasal dari AS, tetapi masih digunakan sebagai karikatur dalam film dan televisi Arab. Masih ada negara tertentu yang masyarakatnya melakukan diskriminasi atau melabeli warga kulit hitam dengan sematan tertentu.
Belum lagi kekuatan kolonialisme warga kulit putih yang menyerbu Timur Tengah dan Asia Selatan sehingga putih dianggap budaya dominan. Hingga kini, bisnis kecantikan masih mempromosikan pandangan bahwa semakin putih kulit, semakin baik.
Organisasi pimpinan Hill telah dibanjiri permintaan selama beberapa pekan sejak kematian Floyd. Ribuan orang telah menyimak program daring tentang mengatasi anti-rasisme di komunitas dan mencari sumber daya untuk program mereka sendiri.
Hill juga menerima banyak permintaan untuk memberikan pelatihan keadilan rasial untuk organisasi Muslim Amerika, serta konsultasi tentang kurikulum. Dia percaya perlahan tapi pasti komunitas Muslim memprioritaskan pendidikan anti-rasisme.
"Sebagai komunitas agama yang paling beragam rasial di Amerika, kami memiliki kepentingan pribadi yang mendalam untuk tetap bersama dalam percakapan ini," kata Hill.
Inisiatif Hill menghubungkan jeda antara supremasi kulit putih, rasisme antikulit hitam, dan Islamofobia, topik yang dianggap kurang nyaman diusung masjid dan konferensi Muslim. Hill mendesak Muslim nonkulit hitam terus bekerja sama untuk mewujudkan keadilan.
"Apa yang harus kita lakukan adalah benar-benar berpikir tentang bagaimana membantu institusi melakukan pekerjaan transformasional yang membawa keadilan rasial. Jika ingin masyarakat menjadi lebih baik, maka kita harus berpikir semua sektor antirasis," tuturnya.
Pada bulan Juni, dua pengorganisir komunitas Arab-Amerika di New York dan Boston mengunggah panduan enam poin dalam bahasa Arab dan Inggris. Mereka menguraikan cara-cara untuk menentang antirasisme dan untuk membangun kesadaran diri tentang solidaritas.
Prakarsa baru Kolektif untuk Kaum Kulit Hitam juga mengeluarkan surat terbuka yang menyerukan pemberantasan pandangan antikulit hitam dalam masyarakat. Hampir 2.000 orang menandatangani surat itu, termasuk aktor pemenang Golden Globe Ramy Youssef.
"Kita harus melakukan percakapan yang mendalam dan seringkali tidak nyaman dengan orang-orang yang ada di sekitar kita untuk memastikan bahwa kita mengusir (rasisme anti-kulit hitam) keluar dari lingkaran kita," kata Ahmad Abuznaid, salah satu pendiri Dream Defenders dan anggota dari kelompok yang menulis surat itu.
Bagi Muslim kulit hitam, persimpangan antara antirasisme dan Islamofobia adalah pengalaman yang tidak mudah diatasi dibandingkan Muslim nonkulit hitam. Tetapi, ada hal yang menghubungkan mereka.
Itu adalah berbagi pengalaman satu sama lain mengenai iman yang menjadi sarana untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan. Su'ad Abdul Khabeer, editor senior di Sapelo Square, sebuah publikasi daring yang pro Muslim kulit hitam, turut mengakuinya.
"Alquran sangat jelas tentang ini. Tidak ada ambiguitas. Sebagai Muslim, kita harus berdoa, dan kita harus mencari doa-doa itu sebagai sesuatu yang mengikat kita dan membentengi kita saat kita berjuang," kata Khabeer, dikutip dari laman HuffPost.
Sumber: