Kasus Covid-19 Anak di Jabar yang Masih Bertambah

Orang tua diminta menahan diri tidak membawa anaknya keluar rumah.

ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Sejumlah anak bermain gelembung sabun di Taman Lansia, Jalan Cisangkuy, Kota Bandung, Ahad (21/6). Ruang publik dan taman yang sebelumnya sepi tersebut kembali ramai dikunjungi oleh warga untuk sekedar beraktivitas ataupun berolahraga di tengah pandemi Covid-19
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arie Lukihardianti, Desy Susilawati

Seiring dengan pelonggaran sejumlah aturan pembatasan sosial, anak-anak mulai hadir secara fisik kembali di tempat umum. Di Jawa Barat (Jabar) anak-anak, tapi diimbau untuk tetap di rumah sebab angka kasus Covid-19 Jabar terus bertambah.

Hingga 30 Juni 2020, ada 196 kasus anak positif Covid-19. Menurut Sekretaris Gugus Tugas Covid-19 Jabar Daud Ahmad, angka anak yang terkena Covid-19 sebanyak 196 dengan jumlah yang sembuh 100 orang.

Daud mengatakan, di masa adaptasi kebiasaan baru (AKB) aktivitas mulai berjalan normal dengan dibukanya berbagai tempat. Yakni, mal, tempat wisata dan lain-lain.

"Kami lihat banyak orang tua yang mulai membawa anak-anaknya ke mal. Padahal kan itu rawan juga untuk anak," ujar Daud kepada wartawan, di Gedung Sate, Selasa (7/7).

Senada dengan Daud, Ketua Tim Penggerak PKK, Atalia Praratya mengatakan, masa AKB ini catatan bagi warga Jabar. Karena, setelah beberapa waktu tik keluar rumah kini sejumlah tempat publik dibuka lagi, seperti  masjid dan mal.

"Saya juga khawatir ketika ibu membawa anaknya ke mal. Orang tua harus memperhatikan, saya juga lihat banyak orang tua membawa anaknya ke pasar," katanya.

Atalia mengimbau orang tua untuk mengajarkan anaknya menahan diri. Yakni, mengajak anak keluar rumah hanya seperlunya saja. Jadi, tetap mengajarkan anak agar mau berdiam diri di rumah.

Atalia mengatakan, dari awal memang dikatakan Covid-19 hanya berbahaya bagi dewasa dan lansia. Sehingga, banyak masyarakat yang lalai dan bermunculan kasus yang menunjukkan semua usia bisa terkena. Termasuk, anak-anak.

"Artinya,  bisa terjadi pada siapa aja. Kasus Covid-19 ini termasuk anak-anak," katanya.

Ketua Divisi Pelacakan Kontak Deteksi Dini Pengujian Massal dan Manajemen Lab GTPP Covid-19 Provinsi Jawa Barat dr Siska Gerfianti mengatakan untuk menjaga kesehatan anak di masa AKB ini, perlu mendengar rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Rekomendasinya, selama AKB anak untuk tetap di rumah.

"Jadi tadi, kalau tak perlu bawa anak keluar rumah ya jangan. Kemudian, hindari kerumunan karena lebih baik anak tetap di rumah saja," katanya.

Selain itu, kata dia, perhatikan pemenuhan kesehatan anak, misalnya, melihat tumbuh kembang anak, dan perkembangan tinggi badan anak. Namun, karena Posyandu belum semua aktif, maka ia menyarankan orang tua tetap memantau perkembangan tumbuh kembang anak, nutrisi anak tetap diperhatikan dengan gizi seimbang di rumah masing-masing.

"Layanan imunisasi harus tetap dilakukan, kan fasilitas kesehatan, seperti Puskemas, Rumah Sakit sudah membuka layanan imunisasi, tapi dengan terjdwal untuk menghindari kerumunan," katanya.

Untuk kegiatan pendidikan usia dini, kata dia, rekomendasi IDAI pun, tetap pembelajaran dilakukan di rumah saja. Yakni, baik usia anak atau remaja tetap direkomendasikan pembelajaran jarak jauh.

"Saran untuk orang tua yang punya usia dini download aplikasi kesehatan anak ada aplikasinya dari IDAI, ini bisa membantu dan memantau tumbuh kembang anak," paparnya.




Efek Covid-19
Penelitian telah menunjukkan anak-anak jauh lebih sedikit dipengaruhi oleh virus corona daripada orang dewasa. Namun, pandemi ini dapat memengaruhi kesejahteraan mereka dengan cara lain sebagai konsekuensi jangka panjang.

Seperti dilansir laman Health 24, sebuah analisis yang diterbitkan dalam Canadian Medical Association Journal memperingatkan potensi efek luas yang secara tidak langsung terkait dengan pandemi pada anak-anak di bawah usia 19 tahun.

Di Inggris, Irlandia, dan Italia, keadaan darurat pediatrik telah turun 75 persen dalam beberapa bulan terakhir. Sementara itu, rumah sakit anak-anak di Toronto telah melihat tingkat penurunan penerimaan pasien 62 persen dibandingkan dengan tahun lalu.

Keluarga memilih menunda perawatan karena berbagai alasan terkait dengan Covid-19, misalnya, takut tertular virus di rumah sakit, kendala keuangan, dan terbatasnya akses ke layanan tertutup, seperti klinik. Ada juga kekhawatiran bahwa orang tua harus meninggalkan anak sendirian di rumah sakit karena peraturan pandemi.

Namun, analisis Kanada mengemukakan penurunan penerimaan pasien di rumah sakit dapat disebabkan oleh peraturan penguncian dan karantina. Anak-anak kurang terkena berbagai patogen dan terhindar kecelakaan karena tidak bersekolah, tak bergaul dengan teman-teman, dan tak ada aktivitas ekstrakurikuler, seperti olahraga.

Kekhawatiran utama lainnya adalah penurunan angka partisipasi vaksinasi anak untuk penyakit, seperti gondong dan batuk rejan. Organisasi Kesehatan Dunia harus menghentikan banyak program vaksinasi global karena sumber daya yang terbatas dan terkendala ekspor vaksin.

Di Afrika Selatan, angka Departemen Kesehatan dari pekan lalu menunjukkan bahwa cakupan imunisasi nasional pada bulan April selama lockdown tingkat lima turun dari 82 persen pada bulan April tahun lalu menjadi 61 persen untuk bulan April tahun ini. Yang paling memprihatinkan adalah penurunan tajam dalam tingkat cakupan dari dosis kedua vaksin campak dari 77 persen pada bulan April tahun lalu menjadi 55 persen pada bulan April tahun ini.

Tanpa vaksinasi ini, kekebalan kelompok (herd immunity) terhadap penyakit ini menurun dan dapat menandai kembalinya campak di masyarakat setelah pandemi mereda.

Kesenjangan dalam perawatan kesehatan ini akan memiliki efek yang bertahan lama serta meningkatkan ketidakadilan dan memperburuk kondisi yang ada. Orang tua dengan anak-anak dengan kebutuhan ekstra juga akan kesulitan jika kendala keuangan atau panduan jarak jauh mencegah mereka mengakses perawatan di rumah.

Selain efek fisik, trauma mental dan sosial akibat pandemi juga berdampak pada kesehatan anak-anak hingga dewasa. Studi telah menunjukkan bahwa stres berkepanjangan memiliki konsekuensi jangka panjang yang parah, seperti peningkatan risiko penyakit kronis, gangguan mental, mengambil kebiasaan yang tidak sehat dan obesitas.
,
Kehidupan rumah juga tidak sama bagi semua orang. Peraturan lockdown telah menciptakan gelombang kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, tidak hanya di Afrika Selatan. Pemeriksaan kesejahteraan juga menurun karena langkah-langkah jarak sosial.

Dengan resesi ekonomi yang akan datang, kekerasan, kecemasan, dan depresi akan meningkat, dengan anak-anak menginternalisasi tekanan dan perjuangan orang tua mereka. Perkembangan anak-anak juga mungkin terpengaruh, karena masalah perkembangan akan mudah terlewatkan selama masa ini dan akan memiliki dampak abadi pada masa depan anak-anak.

Risiko kematian anak saat pandemi Covid-19 - (Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler