Tawaran MUI Soal Pengaturan Halal dalam RUU Cipta Kerja
MUI meminta pemerintah berhati-hati dalam pengaturan halal di RUU Cipta Kerja.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Muhyiddin Junaidi menyampaikan beberapa pandangan dan sikapnya terhadap RUU Cipta Kerja yang saat ini tengah dibahas di DPR.
Karena, RUU Cipta Kerja ini juga memuat pengaturan yang terkait erat dengan ajaran Islam dan kepentingan umat Islam, seperti dalam materi pengaturan halal, perizinan halal terhadap UMKM, dan perbankan syariah.
Khusus terkait perizinan halal, Kiai Muhyiddin mengingatkan kepada pemerintah lebih berhati-hati. Karena, menurut dia, jika halal menjadi bagian dari sektor perizinan maka di samping RUU ini berpotensi melanggar prinsip-prinsip agama, juga hal ini menjadi imperatif yang mengikat pelaku usaha dan dapat menjadi beban bagi pelaku usaha.
“Khusus terkait perizinan halal agar lebih hati-hati dan dipertimbangkan secara seksama,” ujar Kiai Muhyiddin dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Rabu (8/7).
Menurut dia, hal ini menjadikan kontraproduktif dengan semangat RUU Cipta Kerja untuk penyederhanaan perizinan berusaha. Oleh karena itu, kata dia, halal seharusnya dikeluarkan dari sistem perizinan usaha dan dikembalikan kepada ruhnya yaitu hukum agama Islam.
Selain itu, dia juga menyampaikan bahwa setelah sertifikasi halal menjadi mandatory (kewajiban) sesungguhnya negara telah hadir dalam memberikan perlindungan bagi pelaku usaha dan warga negara untuk terciptanya kepastian mengenai sistem jaminan halal, sehingga pelaku usaha dan masyarakat terlindungi masing-masing kepentingannya secara bersamaan.
“Halal merupakan bagian integral ajaran Islam dan keyakinan yang harus dipatuhi dan ditunaikan oleh setiap umat Islam,” ucapnya.
Karena itu, lanjut dia, pengaturan tentang halal dalam RUU Cipta Kerja hendaknya bukan semata-mata diletakkan pada kepentingan dan motif ekonomi atau investasi, serta mengabaikan prinsip-prinsip keagamaan, misalnya dengan adanya pasal di dalam RUU yang membuka peluang ditetapkannya kehalalan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak memiliki otoritas keagamaan Islam.
Dia mengatakan, dalam pandangan MUI, apabila halal menjadi bagian dari perizinan dan penyederhanaan berusaha maka disamping RUU ini berpotensi melanggar prinsip-prinsip agama, juga hal ini menjadikan halal sebagai ketentuan yang bersifat imperatif yang mengikat pelaku usaha dan dapat membebani.
Menurut dia, hal ini juga menjadikan kontraproduktif dengan semangat RUU Cipta Kerja, yaitu penyederhanaan perizinan berusaha. Menurut dia, halal seharusnya dikeluarkan dari rezim perizinan dan penyederhanaan berusaha serta dikembalikan kepada ruhnya, yaitu sebagai hukum agama Islam yang merupakan domain ulama yang terwadahi di MUI.
Karena itu, menurut dia, penetapan Fatwa Halal dalam Bab III dan Bab V mengenai perizinan kehalalan untuk UMKM atau dalam ketentuan-ketentuan lain dalam RUU Cipta Kerja tidak sesuai dengan hak internum umat Islam, berpotensi membingungkan umat Islam dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Rumusan tentang perizinan kehalalan untuk UMKM tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam karena pemerintah masuk ke ranah substansi ajaran Islam (fatwa halal) dengan membuat halal menjadi bagian dari perizinan,” ungkapnya.
Sementara, tambah dia, halal merupakan bagian integral ajaran Islam yang menjadi domain lembaga fatwa Islam yang untuk penetapan halalnya melalui mekanisme fatwa.
Atas dasar itu, DP MUI Pusat berpendapat, dalam hal halal, kiranya pemerintah memposisikan diri sebagai lembaga administratif, sementara MUI diposisikan sebagai lembaga internum yang mempunyai otoritas melakukan penetapan fatwa halal terhadap produk.