Semester Pertama Tahun Ini, APBN Defisit Rp 257,8 Triliun
Defisit APBN sepanjang 2020 akan berada pada level 6,34 persen terhadap PDB.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi defisit APBN sampai akhir Juni atau akhir semester pertama ini mencapai Rp 257,8 triliun. Nilai tersebut naik 90,7 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Pendapatan negara yang kontraksi 9,8 persen menjadi penyebab utama pelebaran defisit ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, rasio defisit APBN pada semester pertama mencapai 1,57 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). "Lebih dalam dari defisit tahun lalu sebesar 0,86 persen dari GDP (PDB)," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR, Kamis (9/7).
Sementara itu, pemerintah memproyeksikan, defisit APBN sepanjang 2020 akan berada pada level 6,34 persen terhadap PDB atau sekitar Rp 1.039,2 triliun. Prediksi ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 Tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.
Sebelumnya, dalam Perpres 54/2020, pemerintah menetapkan defisit anggaran berada pada level 5,07 persen dari PDB atau setara dengan Rp 852,9 triliun.
Pelebaran defisit dikarenakan penerimaan negara diprediksi mengalami kontraksi hingga 10 persen sampai akhir tahun menjadi Rp 1.699 triliun. Di sisi lain, belanja negara diperbesar menjadi Rp 2.739,2 triliun.
Untuk menutupi defisit yang melebar pada semester pertama ini, Sri mengatakan, realisasi pembiayaan anggaran sudah mencapai Rp 416,2 triliun. Angka tersebut tumbuh hingga 136 persen dari realisasi periode yang sama pada 2019, Rp 176,3 triliun.
Sri menekankan, pertumbuhan pembiayaan anggaran yang tinggi dikarenakan peningkatan kebutuhan penanganan Covid-19. "Sehingga kami melakukan pembiayaan lebih besar di awal," tuturnya.
Pendapatan negara pada semester pertama ini hanya mencapai Rp 811,2 triliun, turun 9,8 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, yakni Rp 899,6 triliun. Sri menyebutkan, angka penyusutan ini masih berada dalam estimasi pemerintah.
Apabila dirinci, penerimaan perpajakan yang kontraksi hingga 9,4 persen menjadi Rp 624,9 triliun menjadi faktor penyebab penyusutan penerimaan negara. Penerimaan pajak sendiri menurun 12 triliun menjadi Rp 531,7 triliun. penerimaan dari kepabeanan dan cukai yang tumbuh positif 8,8 persen menjadi Rp 93,2 triliun tidak mampu mengimbangi kontraksi pajak.
Di sisi lain, belanja negara tumbuh 3,3 persen pada semester pertama 2020 menjadi Rp 1.068,9 triliun. Pertumbuhan terutama terjadi pada belanja pemerintah pusat Rp 668,5 triliun yang tumbuh enam persen. "Ini sebagai dampak dari belanja penanganan Covid-19," kata Sri.