Resesi Singapura Akibat Covid-19 dan Kekhawatiran Jokowi
Ekonomi Singapura resmi masuk dalam kategori resesi terdampak pandemi Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Reuters, Sapto Andika Candra, Adinda Pryanka
Singapura resmi terjun ke dalam jurang resesi ekonomi setelah pada kuartal kedua pertumbuhan ekonomi negeri jiran itu mencetak rekor kontraksi. Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura, pertumbuhan ekonomi mereka minus 41,2 persen atau yang terparah sejak negara itu merdeka pada 1965. Angka kontraksi itu melebihi ekspektasi analis pada kisaran minus 37,4 persen yang merupakan hasil perkiraan atas dampak lockdown demi menangani pandemi Covid-19.
Resesi sendiri dalam ilmu ekonomi didefinisikan sebagai pelemahan ekonomi dalam dua kuartal secara berturut-turut. Dan Singapura menjadi yang pertama di Asia yang melaporkan data pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua 2020 dengan angka kontraksi yang mengejutkan dari sebuah negara kaya di kawasan.
Pada Januari hingga Maret, PDB Singapura terkontraksi 3,3 persen dibanding kuartal sebelumnya. Lalu dibandingkan tahun sebelumnya, PDB Singapura anjlok 12,6 persen pada kuartal kedua. Angka itu melebihi proyeksi analis sebesar 10,5 persen.
Namun, industri manufaktur menjadi sektor yang tumbuh sebesar 2,5 persen dibandingkan setahun lalu. Pertumbuhan di sektor manufaktur terbantu oleh perdagangan di sektor biomedis, meski masih rendah jika dibandingkan dengan kuartal pertama sebesar 8,2 persen.
Pada Juni, IMF telah memberikan peringatan akan terjadinya kontraksi ekonomi global lantaran pandemi telah menyetop kegiatan bisnis, menekan konsumsi, dan melumpuhkan perdagangan. IMF memprediksi, pertumbuhan ekonomi global pada 2020 akan berada pada kisaran minus 4,9 persen.
Seperti diketahui, pandemi Covid-19 sejauh ini telah menginfeksi sekitar 13 juta orang di dunia dan membunuh hampir 573 ribu jiwa. Singapura, hingga Senin (13/7), telah melaporkan 46.283 kasus Covid-19 dengan 26 kematian.
“Terlihat juga ada elemen dari kelemahan ekonomi global, jelas perdagangan adalah aspek sangat penting dari ekonomi Singapura dan sangat terpukul (pandemi)," kata Rob Carnell, Kepala Analis ING Bank, Senin (13/7).
Bidang jasa dan konstruksi Singapura juga sangat terpukul oleh pandemi Covid-19. Sektor konstruksi bahkan terjun hingga minus 95,6 persen akibat dari kebijakan lockdown yang memaksa puluhan ribum pekerja migran mengarantina diri mencegah penyebaran corona.
“Kami memperkirakan sebelumnya angka-angka ini, meski kenyataannya lebih buruk dari yang kami perkirakan," kata Steve Cochrane, analis dari Moody’s Analytics.
Pemerintah Singapura memprediksi pertumbuhan selama setahun akan berada pada kisaran minus 7 sampai 4 persen, dan akan menjadi rekor dalam sejarah ekonomi Singapura. Pada Maret, Bank Central Singapura telah menerapkan beberapa kebijakan relaksasi sementara pemerintah menyuntikkan dana sebesar 72 miliar dolar AS sebagai stimulus demi memperbaiki akibat dari pandemi Covid-19.
Analis memperkirakan, ekonomi Singapura akan membaik sejalan dengan mulai dibukanya beberapa sektor bisnis dan jasa. Namun, mereka juga mengingatkan pandemi yang belum usai.
"Kami tidak memperkirakan PDB Singapura akan bisa kembali seperti sebelum Covid-19 setidaknya sampai kuartal ketiga 2021," kata Khoon Goh, Kepala Peneliti ANZ.
Jokowi khawatir
Jika Singapura telah resmi mengalami resesi, Indonesia belum merilis data ekonomi kuartal kedua 2020. Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah mengaku khawatir angka pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal kedua 2020 ini akan terjun ke zona minus.
Pada kuartal pertama tahun ini, ekonomi nasional memang masih mampu tumbuh positif di angka 2,97 persen. Namun, berjalan ke kuartal kedua 2020, pertumbuhan ekonomi diprediksi merosot jauh. Anjloknya kinerja pertumbuhan ekonomi ini disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang sempat menghentikan banyak sektor usaha dan menekan daya beli masyarakat.
"Tapi di kuartal kedua kita sangat khawatir kita sudah berada di posisi minus pertumbuhan ekonomi. Inilah yang harus hati-hati mengelola dan memanajemen krisis ini agar urusan kesehatan dan ekonomi bisa berjalan beriringan. Saya harap bapak ibu dan saudara sekalian gas dan remnya betul-betul diatur," jelas Jokowi saat memberikan arahan kepada seluruh bupati dan wali kota se-Jawa Tengah di Kantor Gubernur Jateng, pada Selasa, 30 Juni lalu.
Presiden pun meminta kepala daerah punya sensitivitas dalam mengeluarkan kebijakan terkait penanganan Covid-19, terutama untuk memulai normal baru. Ekonomi tentu diharapkan kembali pulih, namun tanpa meninggalkan aspek kesehatan dalam penanganan Covid-19. Jokowi mewanti-wanti, harus ada keseimbangan antara pertimbangan kesehatan dan ekonomi.
"Jangan sampai melonggarkan tanpa kendali rem, ekonomi bagus tapi Covid naik. Bukan itu yang kita inginkan. Covid terkendali tapi ekonomi juga tidak mengganggu kesejahteraan masyarakat. Tapi ini bukan barang yang mudah," jelas Jokowi.
Kemudian pada Kamis (9/7), Jokowi menyebutkan perekonomian nasional pada kuartal kedua 2020 diprediksi tumbuh minus 3,8 persen. Namun, ujar presiden, Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi tekanan ekonomi.
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) bahkan beberapa kali mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari angka minus 2,5 persen, berubah menjadi minus 5 persen, hingga terakhir berubah lagi menjadi rentang minus 6 sampai minus 7,6 persen.
Jokowi pun memberi penjelasan bahwa krisis ekonomi saat ini berbeda dengan krisis yang sempat terjadi pada 1998 silam. Saat ini, dampak dari krisis ikut menekan pasokan, permintaan, dan produksi sekaligus.
Presiden pun meminta seluruh kementerian untuk mengebut belanja. Menurut presiden, belanja pemerintah adalah satu-satunya roda penggerak perekonomian nasional di saat rantai permintaan, pasokan, dan produksi goyah akibat pandemi Covid-19.
Kinerja cepat seluruh kementerian diperlukan demi menyelamatkan laju pertumbuhan ekonomi yang terancam minus. Menurut presiden, kunci penyelamatan ekonomi ada pada kuartal III 2020 ini. Bila pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal bisa bertahan di rentang positif, maka risiko resesi bisa jauh berkurang.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyebutkan, resesi menjadi sesuatu yang tidak terelakkan bagi ekonomi Indonesia tahun ini. Tekanan pada sektor riil dan keuangan akibat pandemi Covid-19 menjadi penyebab utamanya.
Piter menuturkan, ekonomi pada kuartal kedua sudah dipastikan mengalami kontraksi. Begitupun pada kuartal ketiga dan keempat yang hampir diyakini terjadi penyusutan ekonomi, walaupun dengan skala lebih kecil.
"Jadi, kalau sekarang kita ramai berbicara Singapura resesi, kita (Indonesia) juga sudah di depan mata. Kita juga akan resesi, sesuatu yang tidak akan terelakkan," katanya dalam diskusi daring, Rabu (15/7).
Piter menjelaskan, pada kuartal kedua, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah diterapkan di berbagai kota di Indonesia. Aktivitas ekonomi menjadi terhambat dan banyak masyarakat mempertahankan tingkat konsumsi untuk bertahan hidup. Ekonomi Indonesia yang masih didorong konsumsi rumah tangga pun terdampak signifikan.
Pada kuartal ketiga, Piter menambahkan, wabah pandemi Covid-19 masih menjadi isu di banyak negara termasuk Indonesia. Aktivitas ekonomi pun akan terus dibatasi yang menyebabkan kegiatan perekonomian belum kembali normal, termasuk pada kuartal keempat.
"Meski ada pelonggaran, minat masyarakat untuk konsumsi akan sangat rendah," ucapnya.
Dalam mengantisipasi resesi, Piter menekankan, pemerintah dan otoritas keuangan harus menaruh fokus pada dunia usaha dan sektor keuangan. Menjaga ketahanan dan keberlangsungan dunia usaha (sektor riil) sekaligus menjaga stabilitas sektor keuangan menjadi penentu keberhasilan menghindari terjadinya krisis yang semakin dalam.
"Ini juga membantu kita mempersiapkan recovery yang cepat ketika wabah berlalu," katanya.