Inovasi Kesehatan
Pandemi Covid-19 mendorong banyak perubahan dalam tatanan inovasi kesehatan Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Budi Wiweko*
Konsep demand readiness level atau tingkat kebutuhan masyarakat dikenalkan Paun, se orang ilmuwan Prancis pada 2011. Beliau paham betul, tingkat maturitas teknologi membutuhkan perjalanan panjang agar menjadi produk inovasi yang dapat dimanfaatkan masyarakat.
Fenomena ini kerap menjadi penyebab utama sulitnya sebuah riset dan inovasi menjawab kebutuhan masyarakat. Diperlukan berbagai tahapan penelitian mulai dari tingkat dasar, translasional, serta terapan sampai akhirnya sebuah riset berlabuh pada tahapan produksi massal.
Upaya ini membutuhkan waktu tahunan bahkan mungkin puluhan tahun. Saat ini, kita begitu akrab dengan istilah tingkat kesiapterapan teknologi (technology readiness level = TRL), sebuah terminologi yang dikembangkan NASA, lembaga penerbangan antariksa Amerika Serikat, pada era 1970-an.
Demi menjaga kesempurnaan produksi pesawat ruang angkasa, NASA menetapkan tahapan satu sampai sembilan untuk mengukur maturitas sebuah teknologi mulai dari desain, prototipe, uji coba, dan peluncuran produk dalam skala besar. Lebih dari 20 tahun, konsep TRL ini mengawal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Kelemahan utama pengembangan teknologi berbasis TRL adalah perbedaan cara pandang dan gagasan antara peneliti dan industri.
Acapkali minat dan keahlian ilmuwan atau pakar dinilai tidak mampu menerjemahkan kebutuhan pasar sehingga banyak hasil riset dan inovasi yang berhenti pada skala prototipe saja. Di samping itu, investasi yang dibutuhkan pun sangat besar.
Tak hanya itu, perlu waktu yang sangat lama untuk mengawali semua riset dari tahap dasar atau laboratorium. Bagi negara kita, tentu hal ini menjadi sebuah tantangan yang harus segera dipecahkan demi tegaknya kemandirian dan ketahanan di bidang kesehatan.
Association University Technology Managers (AUTM), sebuah organisasi technology transfer office Amerika melaporkan, mereka melahirkan 380 ribu produk dalam kurun 20 tahun dan 80 ribu di antaranya menghasilkan paten internasional.
Technology transfer office sudah lama dikenal sebagai wadah penyatuan gagasan antara peneliti dan industri dalam upaya melahirkan sebuah inovasi dan produk. Hadirnya pihak industri sejak awal proses penelitian, dinilai berpotensi mengarahkan hasil inovasi agar lebih mengakomodasi kebutuhan masyarakat.
Di Indonesia sendiri tercatat kurang lebih 80 perguruan tinggi memiliki kantor hak atas kekayaan intelektual (HAKI) yang diharapkan berfungsi sebagai katalisator komunikasi antara peneliti dan industri. Namun tampaknya, hal ini masih cukup sulit berjalan dengan ideal, mengingat diperlukan fasilitas penunjang yang luar biasa dalam pembangunan tingkat maturitas teknologi, serta sering ditemukan gagasan yang belum seirama antara para peneliti dan industri.
Menyatukan gagasan
Pandemi Covid-19 mendorong banyak perubahan dalam tatanan inovasi kesehatan Indonesia. Kita bisa menyaksikan lahirnya ratusan inovasi anak negeri yang sangat membantu pemerintah dalam penanganan pandemi.
Khusus bidang alat kesehatan dan obat, kita mendapatkan tantangan bagaimana uji pra klinik ataupun uji klinik bisa dilaksanakan dengan sangat cepat, sehingga mampu meyakinkan para inventor bahwa produknya akan segera digunakan di pasar.
Konsep demand readiness level sangat membantu akselerasi hilirisasi inovasi, meng ingat gagasan para peneliti dan industri sudah seirama karena tujuannya menjawab kebutuhan masyarakat yang sangat tinggi. Saat ini, kita memilki produk ventilator dalam negeri yang sudah dalam tahap uji klinik. Begitu pula, kita harapkan pada produk vaksin ataupun obat untuk penyakit Covid-19.
Pandemi Covid-19 memberikan contoh nyata bahwa ke butuhan pasar (masyarakat) yang sangat tinggi, dapat menyamakan persepsi peneliti dan industri, sehingga inovasi dilakukan serta di dorong lebih cepat ke dalam ranah produksi dan pemanfaatan.
Dengan kata lain, sebuah inovasi yang memiliki demand readi ness level tinggi dapat lebih cepat didorong ke tingkat produksi walaupun tingkat kesiapterapan teknologinya relatif masih belum siap.
Tingkat kebutuhan masyarakat yang sangat tinggi diyakini, merupakan simpul kekuatan atau gerbong penarik inovasi kesehatan di negeri ini, yang dapat didorong lebih kencang dengan kekuatan teknologi. Betapa Indonesia menantikan lahirnya produk obat serta alat kesehatan dalam negeri demi terwujudnya kesehatan bagi semua.
Kita membutuhkan produk alat kesehatan substitusi impor yang masih mendominasi pasar (sebesar 94 persen), serta melahirkan obat berbahan alam Indonesia yang mampu menggantikan impor active pharmaceutical ingredient dari India atau Cina.
Kolaborasi lintas disiplin dan kekuatan pentaheliks akan mewujudkan konsep "Market pull-technology push" dalam setiap inovasi di bidang kesehatan.
*) Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia