Kemendikbud: Kurikulum Syarat Pernikahan Industri dan Vokasi
Kurikulum menentukan apakah pengajaran sudah sesuai dengan kebutuhan industri.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Wikan Sakarinto mengatakan kurikulum merupakan syarat terpenting dalam program 'pernikahan massal' vokasi dan industri. "Kurikulum adalah syarat terpenting dalam program itu, apakah sudah sesuai dengan kebutuhan industri dan dunia kerja, atau belum," ujar Wikan dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (27/7).
Dia menambahkan dari kurikulum tiga SMK yang ditemuinya di Surakarta, Jawa Tengah, disusun bersama dengan industri. Setiap tahun dilakukan revisi kurikulum sesuai dengan kebutuhan industri dan dunia kerja.
"Oleh karena itu, tidak kaget kalau keterserapan lulusannya mencapai rata-rata 93 persen di ketiga SMK tersebut," terang dia.
Sebelumnya, Dirjen Wikan mengunjungi tiga SMK di Jawa Tengah, yaitu SMK Negeri 2 Solo, SMK Warga Solo, dan SMK 1 Muhammadiyah Sukoharjo. Kunjungan ke beberapa SMK dilakukan Dirjen Diksi untuk melihat secara langsung apakah kebijakan 'penikahan massal; antara vokasi dengan dunia usaha dan dunia industri benar-benar sudah diterapkan oleh SMK atau tidak.
"Jangan sampai kebijakan yang sudah diputuskan di pusat terkait 'pernikahan massal' tidak dilaksanakan dengan tuntas di daerah. Apalagi saat ini Kemendikbud melalui Ditjen Pendidikan Vokasi sedang meluncurkan puluhan program-program dengan total nilai anggaran sekitar Rp3,5 triliun, untuk mendorong SMK, kampus vokasi dan lembaga kursus dan pelatihan agar makin menggenjot 'pernikahan massal' dengan industri dan dunia kerja,” tutur Wikan.
Dari kunjungan tersebut, Wikan menyatakan lega karena link and match yang disampaikan tidak hanya sekedar tanda tangan nota kesepahaman saja. Program wajib pertama dalam link and match adalah kurikulum yang disusun bersama dan disetujui oleh industri. "Tidak hanya disusun bersama, tetapi harus sampai pada tahap disetujui oleh pihak industri dan calon pengguna lulusan," katanya.
Dirjen Diksi juga berharap kurikulum itu tidak saja membekali lulusan SMK dengan kompetensi tinggi, tapi juga dapat meningkatkan kompetensi teknis siswa. "Jadi, diharapkan anak-anak SMP, dan khususnya orang tuanya, makin yakin memilih masuk SMK. Karena lulusan SMK tidak saja hebat dalam hard skills, tapi juga hebat dalam berkomunikasi dan memiliki karakter serta budaya kerja di industri yang tinggi. Serta bisa meneruskan studi sampai dengan level sarjana terapan, atau sampai magister (S-2) terapan, di dalam negeri atau di kampus luar negeri," terang Wikan.
Menurut Wikan, setelah mencermati masukan-masukan dari industri dan dunia kerja dalam sinkronisasi kurikulum SMK, aspek pengembangan soft-skills siswa SMK masih harus ditingkatkan dengan sungguh-sungguh. Soft-skills ini seperti kemampuan berkomunikasi aktif, kepemimpinan dan manajerial.
Dalam kesempatan itu, Wikan mengapresiasi ketiga SMK yang dikunjunginya di Solo. Bukan saja mampu menghasilkan lulusan yang daya serapnya tinggi, SMK itu juga mampu menghasilkan produk-produk yang melibatkan langsung siswa dalam proyek pengembangan dan produksinya.
Wikan menyebutkan SMK Warga Solo yang berhasil membuat mesin Computer Numerical Control (CNC) yang diberi label HKI (Hasil Karya Indonesia). Mesin CNC 3 Axis dan 5 Axis, hasil karya proyek guru SMK bersama industri mitra, melibatkan langsung siswa-siswa SMK berbagai jurusan. Dalam waktu dekat, bekerja sama dengan industri King Manufaktur, SMK Warga akan memproduksi mesin CNC lebih massal.
"Saya berharap SMK dan perguruan tinggi serta industri nasional bisa membeli dan memanfaatkan mesin CNC HKI ini, karena sudah resmi di Aplikasi SIPLah, yaitu system aplikasi pengadaan sekolah. Apalagi, mesin CNC HKI ini sistem controller-nya dikembangkan mandiri oleh SMK Warga sendiri. Karya anak bangsa ini sungguh patut diapresiasi oleh bangsa sendiri dan dunia, ” tutur Wikan.
Dirjen Diksi juga mengapresiasi SMK 1 Muhammadiyah Sukoharjo yang berhasil memproduksi alat-alat kesehatan khususnya bed (tempat tidur) rumah sakit yang memenuhi standar. SMK itu mampu memproduksi 20-40 unit tempat tidur per bulan, yang dipesan langsung oleh sejumlah rumah sakit di Sukoharjo dan sekitarnya. Pembuatan alat-alat kesehatan tersebut melibatkan siswa SMK, dalam program Prakerin (praktik kerja industri), mulai dari merancang, sampai dengan proses produksi massal serta berbagai tahap setelah produksi.