Belajar Daring, Berburu Sinyal dan Miskin Kuota
Sinyal dan kuota data menjadi salah satu masalah belajar daring.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andi Nur Aminah*
Suatu pagi, saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) sedang berlangsung, putra saya sedang serius di depan laptop. Dia sedang membuka aplikasi Zoom. Tampak di layar, dua orang siswa, laki-laki dan perempuan secara bergantian menyapa siswa lainnya. Mereka terlibat pembicaraan ringan, menyebutkan nama dan asal sekolah lalu saling menyapa.
Putra saya sedang menunggu giliran. Namun tiba-tiba dia beranjak dari depan laptop lalu mendatangi saya. Dia menyampaikan sebentar lagi akan ada kawannya yang datang. "Boleh ya bu, kasihan lagi Zoom. begini, tiba-tiba kuotanya habis. Belum punya duit lagi buat beli paket data," ujarnya.
Tak lama kemudian, seorang anak lelaki dengan seragam putih biru tiba. Dia mengenakan masker kain. Sebelum masuk ke rumah, saya memintanya mencuci tangan terlebih dahulu.
Selesai mencuci tangan, dia bergegas masuk kemudian mencari posisi yang nyaman. Setelah gadget miliknya tersambung dengan WiFi di rumah saya, mereka pun kembali duduk manis di depan gadget masing-masing dan menyimak penyampaian dari kakak kelas pengurus OSIS yang memandu MPLS melalui Zoom. itu.
Kawan anak saya yang datang mendadak tanpa rencana gara-gara kehabisan kuota itu, semakin membuka mata saya betapa kebutuhan internet saat ini sangat penting. Kementerian Pendidikan sudah memutuskan pendidikan jarak jauh (PJJ) akan dilaksanakan dan entah waktunya kapan bisa normal. Semuanya masih serba melihat perkembangan dan situasi akibat adanya pandemi Covid-19 ini.
Ada banyak cerita dari berbagai tempat tentang aktivitas sekolah siswa terkait dengan kebijakan PJJ ini. Misalnya, ada satu keluarga yang terpaksa bergantian menggunakan handphone. Jika ada dua atau tiga anak yang harus menjalankan PJJ, bisa dibayangkan ribetnya mereka. Atau lebih miris lagi, jika memang keluarga tersebut tak punya gadget sama sekali. Lantas bagaimana PJJ akan dijalankan?
Orang tua yang tak paham dengan sistem daring, atau lebih tepatnya, kurang peduli, bisa saja abai dengan kebutuhan dan hak anak yang harus belajar. Alhasil, PJJ menjadi 'libur panjang' yang membuat sang anak jauh tertinggal pelajarannya. Namun ada juga orang tua dengan kondisi 'susah' tetap mengupayakan anaknya bisa ikut PJJ, meskipun harus meminjam gadget tetangga.
Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud dan sejumlah pemprov telah memutuskan bahwa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk siswa bisa dipakai untuk kebutuhan pembelian kuota internet. Kebijakan ini merujuk pada Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020. Namun, anggaran BOS itu memang harus disesuaikan dengan kemampuan sekolah, karena sejauh ini, belum ada sumber anggaran khusus lainnya untuk pembelian kuota internet sebagai sarana PJJ.
Kemudian lain lagi cerita mereka yang di wilayahnya belum merata terjangkau sinyal. Di antara mereka ada yang harus berjalan kaki dan menanjak ke atas bukit demi mencari posisi sinyal terbaik. Terkadang letak sumber sinyal di tempat terbuka. Sehingga tak jarang mereka harus berpanas-panasan ataupun kehujanan karena belajar daring sedang berlangsung.
Kebijakan PJJ dibuat tujuannya dimaksudkan untuk menghindarkan para murid dari virus. Namun kondisi ini sekaligus menguak persoalan kebutuhan akan internet.
Dari kenyataan di lapangan, setidaknya ada dua perkara terkait kebutuhan internet ini yang harus dipikirkan bersama para penentu kebijakan sebagai imbas pelaksanaan PJJ yang dirasa lebih merepotkan. Pertama, soal kemampuan masyarakat membeli paket data atau kuota internet, serta kepemilikan gadget. Kedua, soal jangkauan sinyal dan kecepatan koneksi.
Di kota-kota besar, perkara sinyal mungkin bukan masalah. Jaringan internet mungkin saja lancar. Tapi permasalahan kuota yang harus dibeli siswa atau orang tua mereka, akhirnya menjadi beban.
Pemerintah memang tak tinggal diam dan mencoba memberikan solusi. Hambatan belajar daring baik karena keterbatasan kuota maupun sinyal, disiasati dengan mengambil langkah guru kunjung. Guru mengunjungi siswa untuk memberikan pembelajaran dengan beberapa kesepakatan. Misalnya, belajar di tempat lumayan luas seperti masjid atau mushola, ataukah di balai desa. Namun peserta yang belajar bersama tak lebih dari 10 orang dan berasal dari zona yang sama.
Sambil mereka belajar, protokol kesehatan pun harus dijalankan yakni mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, saling menjaga jarak. Atau bisa juga guru mengirimkan materi pelajaran dan tugas kepada siswa dan nanti dikirim kembali kepada gurunya jika sudah selesai.
Cara-cara ini, bagaimanapun tentu masih kalah jauh dibanding belajar di saat normal. Guru-guru pun tentu saja dituntut lebih kreatif mengemas materi dan metode belajarnya agar bisa diikuti tanpa menimbulkan kejenuhan pada muridnya. Apalagi, buat siswa-siswa yang masih tingkat kelas rendah.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id