Pendemi Perburuk Diskriminasi terhadap Muslim Prancis
Mohamed Gabsi dikabarkan meninggal saat berada dalam tahanan
REPUBLIKA.CO.ID, PARIS—Laporan terbaru dari Action Droits des Musulmans, sebuah organisasi advokasi hukum nasional, menyebutkan, pandemi Covid-19 memperburuk ketidaksetaraan sosial, politik, dan ekonomi komunitas minoritas Muslim di Prancis.
Tindakan dan bentuk diskriminasi sudah dihadapi Muslim Prancis, dan diperburuk dengan perilaku lembaga kesehatan masyarakat yang tumpang tindih dalam memberikan layanan. Bukan hanya lembaga kesehatan, lembaga hukum dan kepolisian untuk berkontribusi pada stigmatisasi, marginalisasi, dan pengasingan kaum minoritas.
Pada 23 Maret 2020, Prancis mengadopsi undang-undang darurat kesehatan nasional karena krisis coronavirus, seperti pembatasan akses, penguncian sejumlah tempat, hingga penutupan sementara perusahaan, pabrik, dan penyedia jasa. Undang-undang darurat itu memberikan akses bagi kepolisian dan pemegang hukum untuk mempersulit perizinan keluar atau masuk. Sanksi yang ditetapkan juga beragam, mulai denda hingga hukuman penjara.
Menurut hukum internasional publik, negara-negara diizinkan untuk mengurangi atau menangguhkan standar hak asasi manusia tertentu, seperti kebebasan bergerak, hak untuk kebebasan, dan kebebasan beragama, pada saat darurat di mana kehidupan bangsa terancam. Namun penangguhan tersebut harus bersifat sementara dan dirancang sebagai upaya pemulihan keadaaan.
Dalam Lawless v. Ireland, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, menegaskan, suatu negara hanya dapat mengurangi hak asasi manusia warganya, jika bentuknya proporsional, konsisten, tidak diskriminatif dan transparan. Namun, pengurangan takaran hak asasi manusia yang dirasakan Muslim Perancis, khususnya selama pandemi, tidaklah proporsional dan justru diskriminatif.
Berdasarkan laporan Action Droits des Musulmans, selama keadaan darurat kesehatan masyarakat, pihak berwenang secara tidak proporsional mengawasi lingkungan Prancis yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Salah satunya adalah Seine-Saint-Denis, salah satu wilayah termiskin yang terletak di luar Paris, yang telah lama menjadi sasaran tindak diskriminasi rasial, etnis, dan agama. Masa-masa penguncian juga membuat tindakan diskriminasi semakin menggila dari sebelumnya.
Daerah itu dijaga ketat, dengan ratusan pos pengecekan. Penerapan denda juga semakin diperketat, bahkan tiga kali lebih tinggi dari rata-rata nasional. Padahal wilayah termiskin di Prancis itu hanya dihuni kurang dari satu persen populasi nasional.
Pada April, misalnya, Mohamed Gabsi ditangkap karena tidak mematuhi jam malam setelah polisi berhenti di Béziers. Menurut saudara perempuannya, saat proses penangkapan, seorang polisi duduk di atasnya selama sembilan menit sementara dia diborgol.
Dalam sebuah video, Gabsi bahkan sempat memohon dan meminta polisi itu untuk melepaskannya, karena kesulitan bernafas. Namun akhirnya, Gabsi dikabarkan meninggal saat berada dalam tahanan dengan alasan gejala sesak nafas akibat serviks yang dia derita. “Tolong, aku tidak bisa bernapas lagi, mereka ingin membunuhku,” teriak Gabsi kepada polisi yang sempat didokumentasikan dan dikutip di GMF, Rabu (29/7).
Disisi lain, Human Rights Watch menggambarkan tindakan polisi tersebut sebagai sebagai suatu kekejaman, kasar, dan diskriminatif.