Kisah Wanita Dhaif Menyelamatkan Ulama dari Kelalaian

Ulama bani Israil putus asa dan sedih karena istri yang dicintai meninggal.

Pixabay
Kisah Wanita Dhaif Menyelamatkan Ulama dari Kelalaian
Rep: Ali Yusuf Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu ketika di golongan Bani Israil ada orang alim yang tinggi ilmu agamanya sedang berada dalam keputusasaan. Penyebabnya karena istrinya yang dia cinta meninggal dunia tanpa sebab.

Baca Juga


Namun, berkat kehendak Allah, orang alim yang sejak meninggal istrinya hanya berdiam di dalam rumah itu sadar. Ia sadar setelah seorang wanita dhaif memberikan perumpamaan dia telah larut dalam kesedihan yang membuat keimanannya kepada Allah rusak. 

Padahal berlebih cinta selain kepada Allah dan Rasulnya adalah sebuah kesesatan yang nyata. Karena seharusnya hanya Allah dan Rasulnya yang mesti kita cintai secara berlebihan. 

Kisah ini diambil dari hadits yang diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatthanya Jamikul Ushul, bab berharap pahala dari musibah. Tentang kisah ini Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa "Sanad kepada kepada Muhammad bin Kaab Al-Qurazhi adalah shahih".

Setelah beberapa hari istri yang amat dicintai dan dikaguminya meninggal, banyak perubahan dari orang alim dari golongan Bani Israil itu. Setiap hari dia menutup diri, menghindar dari setiap orang yang hendak menemuinya. Mulai sejak itulah orang-orang yang biasa bersama dalam suatu majelis tidak menemuinya lagi.

Perubahan drastis seorang guru alim yang sangat disegani ‎itu terdengar sampai ke kampung lain. Semua orang yang mendengar perubahan sang guru itu menyayangkan kenapa mesti larut dalam kesedihan hanya karena ditinggal seorang istri.

"Padahal dia bisa mendapatkan lagi istri yang lebih baik kalau dia mau," begitu jawaban setiap orang kala mendengar perubahan sang guru. 

Sampai pada suatu ketika di mana perubahan sikap orang alim itu menjadi gunjingan setiap orang. Ada seorang wanita yang tidak setuju orang alim itu terus disudutkan. Wanita itu bertanya kepada orang-orang yang sedang menggunjingnya.

"Aku ingin bertemu dengannya (orang alim)," katanya memotong pembicaraan orang-orang di kampung itu.

"Hendak apa engkau menemuinya sekarang dia tidak lagi membuka majelis taklim," jawab salah satu di antara mereka kepada wanita itu.

"Aku ingin meminta fatwanya," katanya.

"Tidak bisa. Lebih baik permintaan fatwa itu engkau wakilkan kepada saudaranya yang menemuinya untuk memberi makan dan minum," kata seorang warga kepada wanita itu.

"Ini tidak dibisa diwakilkan‎," katanya.

Setelah bedebat akhirnya salah seorang dari mereka mau mengantarkan wanita itu ketempat orang alim. Setelah dekat wanita itu disuruh menunggu di depan pintu untuk menyampaikan perihal kedatangannya.

 

 

Cukup lama wanita itu menunggu di depan pintu. Wanita itu sudah tidak sabar ingin segera bertamu dengan orang alim itu.

"Aku harus bisa bertemu dengannya," katanya dalam hati.

Di luar dia wanita itu mendengar percakapan orang yang mengantarnya dengan orang alim itu. "Ada seorang wanita di depan pintu ingin meminta fatwamu. Wanita itu bersikap ia hanya ingin bicara denganmu," begitu percakapan yang didengar oleh wanita di balik pintu.

"Suruh dia masuk," kata orang alim dan juga jawaban itu terdengar oleh wanita.

Rasa penasaran takut tidak bisa diterima akhi‎rnya kandas juga. Ternyata orang alim itu mau menemuinya. Setelah semua orang yang mengantarkan itu mempersilakan masuk dan meninggalkan rumah, wanita itu langsung berkata setelah mengucapkan salam.

"Aku datang untuk meminta fatwamu dalam suatu perkara," katanya.

"Apa itu," tanya orang alim itu sambil tidak menampakkan mukanya kepada wanita itu.

Meski wajah sang kiai dari golongan Bani Israil itu tidak menatap wajahnya, wanita itu melanjutkan apa yang ingin disampaikannya. "Aku meminjam perhiasan dari tetanggaku. Aku memakannya dan meminjamkannya beberapa waktu, kemudian mereka memintaku untuk mengembalikannya. Apakah aku harus mengembalikannya?" kata wanita itu panjang lebar.

"Ya demi Allah," singkatnya.

Wanita itu kembali berkata. "Perhiasan itu telah berada padaku selama beberapa waktu," katanya.

Kali ini orang alim itu menjawabnya lebih panjang,untuk mempertegas apa yang disampaikannya tidak perlu diulangi lagi. "Hal itu lebih wajib atasmu untuk mengembalikannya pada mereka ketika mereka meminjamkannya beberapa waktu," katanya.

Wanita itu kembali menimpalinya, kali ini jawabannya lebih pada apa yang ingin ‎disampaikannya, bukan fatwa tapi sebuah perumpamaan berupa nasihat untuk orang alim yang sedang tesesat. "Semoga Allah merahmatimu. Apakah kamu menyesali apa yang Allah pinjamkan kepadamu, kemudian Dia mengambilnya darimu sementara Dia lebih berhak daripada dirimu?"

Orang alim itu terkejut dengan perkataan akhir yang disampaikan wanita itu. Selama ini ia tidak sadar apa yang telah dilakukannya selama ini keliru telah menutup diri tidak mau menerima orang setelah ditinggalkan mati oleh istri tercinta‎.

"Perkataan wanita itu benar aku telah menzalimi diriku sendiri ampuni atas kelalaianku ya Allah," katanya dalam hati sambil memejamkan mata. Setelah membuka matanya yang basah oleh air mata, wanita itu sudah tidak ada di hadapannya lagi.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler