Perlakuan Beda Ottoman Turki Terhadap Kristen Koptik Mesir
Ottoman Turki memberikan perlakuan berbeda terhadap Kristen Koptik Mesir.
REPUBLIKA.CO.ID, Kristen Koptik merupakan agama mayoritas di Mesir dari abad ke-4 sampai abad ke-6, sampai akhirnya pada tahun 639 pasukan Muslim di bawah pimpinan Amr Ibn al-Ash datang menginvasi Mesir sekaligus mendepak keluar penguasa Romawi
Jamaluddin Abdulrahim al-Asnawi (wafat 1370) pernah menyatakan bahwa orang Kristen Koptik masih menganggap negeri Mesir sebagai miliknya dan orang-orang Muslim telah merebutnya tanpa hak. ‘’Jadi, mereka (Koptik) masih saja mencuri dari perbendaharaan negara dengan keyakinan bahwa perbuatan itu tidak salah,’’ kata al-Asnawi yang kemudian menyeru orang-orang Mesir agar mencegah orang Koptik memperoleh ke kuasaan.
Ketika Sultan Selim I (berkuasa 1512-1520) dari Dinasti Turki Usmani (Ottoman) akhirnya berhasil me nyingkirkan penguasa Mamluk dari Mesir lewat pertempuran berdarah dengan korban jiwa 10 ribu orang, muncul harapan dari kaum minoritas di Mesir akan kehidupan yang lebih baik.
Awalnya, orang Mesir menyadari bahwa wilayah mereka tak lagi menjadi pusat kekuasaan sebuah pemerintahan besar, namun hanya menjadi sebuah provinsi Ottoman. Lalu, mereka kaget ketika pejabat Ottoman akhirnya melarang semua perayaan keagamaan, termasuk tradisi festival maulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad.
Ottoman kemudian memberlakukan kebijakan pengasingan paksa atau surgun, pengiriman manuskrip, karya seni, bangunan, dan para intelektual ke Istanbul. Kebijakan ini bertujuan untuk mengontrol kabilah-kabilah yang tak mau tunduk sekaligus membangun populasi di teritori baru, termasuk ibu kota Istanbul yang pada awal penaklukan oleh Ottoman ditinggalkan orang Yunani.
Menurut sejarawan Ibn Iyas dalam kitab Bada’i, di antara intelektual Koptik yang dibawa ke ibu kota Ottoman, antara lain, Banub al-Katib, Abu Sa‘id, Yuhanna al-Saghir, Yusuf bin Habul, serta Shaikh al-Makin al-Skindari dan putranya. Bagi komunitas kecil Koptik yang sangat bergantung pada tokohtokohnya, kebijakan pengasingan ini tentu merupakan suatu pukulan.
Maka, masa awal kekuasaan Ottoman di Mesir diwarnai berbagai kerusuhan dan pemberontakan, sampai akhirnya situasi mereda ketika Sultan Sulaiman Yang Perkasa bertahta di Istanbul (1520-1566). Situasi keamanan dipulihkan, posisi gubernur Mesir diperkuat, dan hukum baru Mesir (Qanuname- i Misir) diberlakukan. Walau Qanuname tak mengatur secara langsung kelompok minoritas, penerapannya telah mencegah represi lanjut terhadap warga Koptik.
Ottoman dikenal sebagai penguasa Muslim yang pluralis, memberi pengayoman kepada Yahudi yang dikejarkejar di Eropa, serta mengakomodiasi komunitas Kristen dalam pemerintahan, dengan harapan mereka akhirnya tertarik memeluk Islam.
Ottoman memberlakukan sistem millet untuk membagi masyarakat menurut agama dengan kewenangan mengatur sendiri urusan tiap komunitas, termasuk bidang peng adilan. Sistem ini didesain agar tercipta masyarakat dalam komunitas yang terpisah namun tetap bisa membaur.
Penaklukan Mesir oleh Ottoman pada 1517 memang telah membebaskan warga Koptik dari penindasan Mamluk. Namun, tampaknya Istanbul tak begitu menaruh perhatian kepada Mesir dalam penerapan sistem millet dan menyerahkan urusan negeri itu sepenuhnya kepada penguasa setempat. Akibatnya, sebagai ganti kegetiran hidup di masa Mamluk, warga non-Muslim Mesir di bawah ke kuasaan Ottoman justru memasuki masa isolasi.
Mereka memang boleh mengatur urusan pemerintahan komunitasnya, namun kelompok minoritas termasuk Koptik juga mendapat pembatasan, misalnya, larangan memperbaiki atau membangun rumah ibadat.
Pembatasan juga merambah pada larangan membunyikan lonceng gereja, serta prosesi ritual dan penampilan lambang-lambang keagamaan di tempat umum.
Warga non-Muslim atau disebut dhimmi dilarang mengendarai kuda dan mengenakan pakaian tipe tertentu. Di Mesir, warna pakaian biru dan hitam diasosiasikan untuk Koptik, sementara kuning untuk Yahudi. Warga Koptik kadang diminta mengenakan salib besar di tempat-tempat mereka berbaur dengan warga Muslim seperti di pemandian umum.
Segregasi sosial antara Muslim dan non-Muslim di Mesir pada masa Ottoman terlihat jelas. Pengelana Turki abad ke-17 Evliya Celebi menceritakan bahwa pemandian umum yang paling bersih di Kairo menolak masuknya warga Yahudi, Yunani, dan Koptik. Pada masa Ottoman, aturan-aturan yang membatasi ini sebenarnya lebih sering diabaikan. Karena itu, warga Koptik di Mesir selalu terbiasa menerima pembatasan ini, baik ketika aturan itu diberlakukan secara ketat maupun longgar.
Febe Y Armanios dalam disertasi doktoralnya di Ohio State University mengenai Koptik di era Ottoman yang berkuasa di Mesir sampai 1798 M, sebelum akhirnya Mesir diinvasi Napoleon Bonaparte, menulis bahwa lewat lobi-lobi dan pendekatan finansial, warga Koptik bisa beradaptasi dengan segala aturan itu.
Misalnya, mereka memindahkan lokasi festival musim panas Dimyana ke wilayah Delta Nil guna menjauhi kaum ulama ortodoks di Kairo. Untuk menjamin keamanan para peziarah Koptik dari Mesir menuju Yerusalem di Palestina pada awal abad ke-18, para pemimpin Koptik berunding dengan suku badui di Sinai serta komandan militer Ottoman.
Secara umum, kelompok non-Muslim dikenai kewajiban membayar pajak jizyah dengan imbalan perlindungan dari pemerintah Muslim. Sesuai tradisi, penguasa Muslim dalam memungut jizyah harus mengecualikan anak-anak, perempuan, orang cacat, dan warga miskin. Namun, penguasa Ottoman tak menagih langsung pajak itu dari warga non-Muslim. Di Mesir, pengumpulan jizyah dilakukan oleh ulama dan tentara.
Sejak abad ke-11, besaran jizyah ditentukan berdasarkan kemampuan tiap individu. Uang yang terkumpul dikirim ke bendahara negara di Istanbul dan sebagian untuk masjid atau keperluan keagamaan lain. Adakalanya pemungutan jizyah berlebihan.
Pada 1672, pengelana Jerman Johann Michael Vansleb dalam bukunya The Pre sent State of Egypt menceritakan mengenai keputusan Gubernur Mesir yang menya takan bahwa semua warga non-Muslim harus membayar jizyah dengan nilai yang sama. Akibatnya, para petani miskin Koptik galau sehingga banyak yang pergi meninggalkan desanya.
Pada 1734, untuk merespons rezim jizyah yang memberatkan, seribu warga Koptik berunjuk rasa di Alun-Alun Rumayla Kairo. Protes terbesar warga Koptik selama pemerintahaan Ottoman itu menewaskan dua warga akibat bentrok dengan tentara. Kekeringan yang menyebabkan gagal panen dan kelaparan juga membuat banyak warga Koptik tak mampu membayar jizyah.
Mereka kemudian ditolong para pemimpin Koptik termasuk Nayruz Abu Nawwar, Rizqallah al-Badawi, dan Banub al- Ziftawi. Kedekatan elite Koptik dengan pejabat militer Ottoman menghasilkan penundaan pembayaran jizyah.