Dua Golongan yang Dimusuhi Allah di Hari Kiamat
Allah memusuhi orang yang tidak membayar upah pekerja.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang yang berdusta mengatasnamakan Allah, akan memperoleh kerugian, baik di dunia maupun di akhirat. Sekalipun andai mereka mendapatkan kesenangan dunia, tapi di akhirat kelak akan mendapat siksaan yang amat pedih. Firman Allah SWT:
قُلْ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ (٦٩) مَتَاعٌ فِي الدُّنْيَا ثُمَّ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ ثُمَّ نُذِيقُهُمُ الْعَذَابَ الشَّدِيدَ بِمَا كَانُوا يَكْفُرُونَ. (يونس: 69-70)
“Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah, mereka tidak akan beruntung”. (Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan (timpakan) kepada mereka siksaan yang berat, disebabkan kekafiran mereka” (Qs Yunus: 69-70).
Menjual orang (merdeka) lalu memakan hasil penjualannya (human trafficking)
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dalam bentuk terbaik dan sempurna (ahsanu taqwim: Qs At-Tiin: 4), dimuliakan oleh-Nya, dan miliki kelebihan dibandingkan makhluk lainnya (Qs Al-Isra’: 70). Sekalipun secara sosial, manusia pada masa pra dan awal kehadiran Islam mengenal dua status sosial masyarakat, yaitu orang yang merdeka (al-hur) dan budak sahaya (al-‘abd).
Jika dikaji saksama, semangat Islam sejak awal hadirnya sangat menentang sistem perbudakan dan menghapusnya secara bertahap. Terbukti dalam Islam, terdapat beberapa strategi membebaskan umat manusia dari sistem perbudakan, antara lain: dalam kasus tawanan perang, seorang tawanan dapat dibebaskan ketika mau dan sanggup membayar upeti, atau mengajarkan baca tulis, atau memerdekakan budak Muslim.
Juga dalam kasus pembunuhan disengaja (al-qatlu al-‘amdu) yang mendapatkan ampunan dari keluarga korban, atau pembunuhan semi sengaja (al-qatlu syibhu al-‘amdi), bagi pelakunya diwajibkan membayar kaffarat (ganti) sebagai bentuk hukuman dan pertaubatannya pada Allah berupa; memberi makan 60 fakir miskin, atau memerdekakan budak mukmin.
Inilah semangat Islam untuk menghapuskan sistem perbudakan secara bertahap hinga berlanjut dengan penegasan al-Qur’an, bahwa Islam tidak mengenal kasta, pun kemulian seseorang bukan karena status sosialnya, tapi karena kualitas keimanan dan ketakwaannya (Qs Al-Hujurat: 13).
Konsekuensi Islam memuliakan manusia adalah larangan merendahkan martabatnya dan menyamakannya seperti hewan, atau komoditas (barang dagangan) untuk diperjual belikan. Maka spirit Hadits di atas adalah larangan merendahkan harkat dan martabat manusia, terlebih lagi menjadikan manusia sebagai komoditas oleh siapapun, dengan tujuan apapun juga, yang saat ini dikenal dengan human trafficking (perdagangan manusia).
Hal ini selaras dengan komentar Ibnu Abidin (madzhab Hanafi), bahwa; ” Anak Adam (manusia) sangat dimuliakan oleh syariat Islam, sekalipun ia kafir (kafir dzimmi). Akad penjualan manusia serta menyamakannya dengan komoditas adalah bentuk penistaan dan perendahan martabatnya.” Terlebih lagi dengan tujuan untuk memperjual belikan organ tubuh seperti kornea mata dan ginjal. Terkait hal ini, syariat Islam tegas mengharamkan jual beli organ tubuh manusia (al-a’dha’ al-jism al-basyariyah), pun orang yang menghilangkan satu nyawa manusia, disamakan dengan membunuh seluruh umat manusia (Qs Al-Ma’idah: 32).
Orang yang tidak membayar upah pekerja
Inilah kelompok yang termasuk dimusuhi oleh Allah pada hari kiamat dalam Hadits di atas. Saat ini berbagai kasus yang digambarkan oleh Hadits tersebut banyak terjadi, misalnya: makelar atau sindikat (banyak yang ilegal) yang mempekerjakan seseorang menjadi buruh maupun tenaga kerja (seperti Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri), lalu upah mereka diambil oleh para makelar atau penyalur tenaga kerja yang tidak bertanggung jawab, sehingga para pekerja tidak mendapatkan upahnya. Contoh lain adalah majikan yang zalim, yang menguras tenaga pembantu rumah tangga, namun tidak diberi gaji/upahnya, bahkan tidak sedikit disertai dengan kekerasan/penganiayaan dan berbagai tindakan tidak terpuji lainnya.
Para ulama berpendapat, menunda pembayaran upah/gaji pekerja, atau tidak memberikan haknya setelah usai bekerja, termasuk dosa besar dan mendapat ancaman sangat berat, adalah bentuk kezaliman terhadap para pekerja. Bentuk kezaliman lain adalah membebani pekerjaan yang tidak sesuai dengan hak-hak yang diterimanya, atau menambah waktu kerja (lembur), namun tidak mengapresiasinya dengan sewajarnya karena lemahnya posisi dan perlindungan terhadap hak-hak mereka. Ada pula yang sengaja menunda dengan tujuan, agar uang gaji mereka bisa dimanfaatkan atau diputar untuk keperluan bisnis sang majikan atau maksud negatif lain. Sikap semacam ini sangat dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya, yang bahkan dalam Hadits lain, Nabi bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ. (رواه البخاري ومسلم)
“Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw bersabda: “Menunda membayar hutang (termasuk upah pekerja) bagi orang yang mampu adalah kezaliman dan apabila seorang dari kalian dialihkan kepada orang yang mampu, maka hendaknya dialihkan” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas oleh para ulama adalah penegasan tentang keharaman menunda pembayaran utang, termasuk pemberian gaji atau upah bagi orang yang mampu menunaikan tepat pada waktu. Secara mafhum aulawi (logika maksimalnya): jika menunda saja termasuk suatu kezaliman, maka terlebih lagi jika sengaja tidak membayar, tentu menjadi kezaliman yang lebih besar dan keji. Dalam Hadits lain, lebih spesifik Rasul bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ. (رواه إبن ماجة والطبراني)
“Dari Abdullah bin Umar ia berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya” (HR Ibnu Majah dan at-Thabrani).
Maksud matan Hadits ini yaitu perintah untuk segera memberikan gaji/upah kepada pekerja setelah usai melaksanakan tugas dan pekerjaannya secara tepat waktu dan disesuaikan dengan beban kerja mereka. Karena menunda, mengurangi, terlebih lagi tidak membayar upah pekerja, termasuk kezaliman dan dimusuhi Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam bis-shawab.
Ruslan Fariadi, Dosen Pendidikan Ulama’ Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta dan mengabdi di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta