Israel-UEA Mesra, Wewenang Yordania untuk Al-Aqsa Terancam?
Yordani selama ini mempunyai wewenang perwalian Masjid Al-Aqsa.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pada 13 Agustus 2020 lalu, Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) mengumumkan kedua negara ini telah mencapai kesepakatan yang membuka jalan bagi hubungan diplomatik resmi. Perjanjian perdamaian antara kedua negara itu telah memicu banyak reaksi dan kritikan. Terutama dari Palestina, yang paling terpengaruh oleh normalisasi kawasan dengan Israel tersebut.
Di negara tetangga Yordania, otoritas negara ini rupanya juga memandang normalisasi itu dengan tingkat kekhawatiran. Yordania khawatir tentang perkembangan keputusan kedua negara tersebut dapat mempengaruhi Kerajaan Hashemite ini.
Sebuah laporan oleh LSM Israel Terrestrial Jerusalem telah memperingatkan, bahwa pernyataan bersama awal oleh Presiden AS Donald Trump, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan Putra Mahkota Abu Dhabi Mohammed bin Zayed, menyiratkan perubahan dalam status situs-situs keagamaan di Yerusalem Timur yang diduduki.
Selama hampir satu abad, Yordania telah memiliki hak perwalian untuk melindungi dan menjaga Yerusalem beserta tempat-tempat sucinya. Yordania diangkat sebagai negara yang bertanggung jawab untuk urusan agama di Yerusalem sesuai dengan perjanjian yang ditandatangani pada 1994 dengan Israel.
Pernyataan bersama dari pemimpin ketiga negara itu mengatakan, bahwa seluruh Muslim yang datang dengan damai dapat mengunjungi dan beribadah di Masjid Al-Aqsa, dan situs-situs suci Yerusalem lainnya tetap terbuka untuk jamaah yang damai dari semua agama.
Status dari situs yang dianggap suci dalam Kristen dan Islam itu telah lama menjadi topik sensitif. Fokus ketegangan tidak lebih dari kompleks Masjid Al-Aqsa, yang juga dikenal sebagai Haram al-Sharif.
Kerangka ambigu dari pernyataan tersebut secara langsung mempengaruhi hak perwalian dari kerajaan Hashemite itu. Namun, otoritas Yordania tampaknya berhati-hati untuk ikut campur.
"Ini adalah topik yang sangat sensitif. Negara harus mempertimbangkan ribuan orang Yordania yang bekerja di UEA yang mungkin akan terpengaruh jika Amman menentang keras setiap perubahan pada status quo," kata seorang pejabat senior Yordania yang bertanggung jawab atas urusan Yerusalem, yang meminta namanya tak disebutkan, kepada Middle East Eye, dilansir pada Kamis (3/9).
Yordania telah berperan sebagai penjaga resmi dari tempat-tempat suci Kristen dan Muslim di Yerusalem sejak 1924. Sharif Hussein, pemrakarsa pemberontakan besar Arab melawan Kekaisaran Ottoman, secara terbuka diakui sebagai penjaga situs-situs suci Yerusalem.
Bahkan setelah Yordania melepaskan klaimnya atas kedaulatan atas Tepi Barat yang diduduki pada 1988, negara ini tidak pernah meninggalkan pengawasannya atas tempat-tempat suci di Yerusalem. Perjanjian damai Wadi Araba 1994 antara Israel dan Yordania secara resmi mengakui peran Amman sebagai penjaga agama.
Pada 2013, kesepakatan antara Yordania dan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas lebih lanjut meresmikan peran Yordania di Yerusalem hingga pembentukan negara Palestina.
Yordania telah berpegang pada perjanjian status quo era Ottoman, yang secara khusus menyatakan bahwa sementara non-Muslim diizinkan memasuki kompleks Masjid Al-Aqsa, mereka tidak dapat beribadah atau berdoa di Haram al-Sharif.
Aturan-aturan ini telah lama ditolak oleh beberapa orang Israel, Sebab, Haram al-Sharif diyakini telah dibangun di tempat Kuil Yahudi Pertama dan Kedua pernah berdiri. Beberapa tokoh sayap kanan Israel secara terbuka menganjurkan penghancuran Al-Aqsa. Sebagai gantinya, kuil bisa dibangun di tempat Masjid al-Aqsa itu berdiri.
Formulasi samar dari pernyataan Israel-Uni Emirat Arab telah menimbulkan kekhawatiran bahwa umat Islam mungkin melihat hak-hak mereka dibatasi di Haram al-Sharif, terutama karena hanya menyebutkan Muslim yang beribadah di Masjid Al-Aqsa, dan bukan seluruh kompleks yang mengelilinginya.
Pada Selasa malam, Kementerian Luar Negeri Yordania menegaskan kembali pendirian Amman bahwa Masjid Al-Aqsa yang diberkati dan Haram al-Sharif dengan luas 144 dunam (35,5 hektare), adalah sebuah masjid khusus untuk Muslim, dan mereka sendiri yang memiliki hak untuk beribadah (sholat) di sana. Kementerian Luar Negeri Yordania memberikan komentar tanpa menyebutkan tentang UEA.
"Hukum internasional menegaskan bahwa tidak diperbolehkan mempergunakan kekuasaan untuk mengubah status quo. Israel, kekuatan pendudukan di Yerusalem Timur yang diduduki, harus menghormati kewajibannya di bawah hukum internasional dan hukum humaniter internasional, dan menghormati status quo hukum dan sejarah. Israel juga harus menghormati kesucian masjid, perasaan umat Islam dan peran Yordania dalam merawat tempat-tempat suci ini," demikian pernyataan Kemenlu Yordania.
Hubungan Yordania dengan UEA dilaporkan telah terguncang sejak kesepakatan perdamaian dengan Israel diumumkan. Pangeran Ali bin Hussein, saudara tiri Raja Abdullah II, berbagi artikel online yang mengkritik perjanjian normalisasi tersebut. Hal itu lantas menyebabkan kegemparan publik.
Sementara itu, kartunis Yordania Emad Hajjaj ditahan selama tiga hari pekan lalu karena gambar yang mengkritik Mohammad bin Zayed. Namun, tokoh-tokoh Yordania tidak tinggal diam setelah adanya laporan Terrestrial Jerusalem tersebut.
Kepala Komite Yerusalem dari serikat penulis Yordania yang juga mantan anggota Organisasi Pembebasan Palestina di UEA, Ribhi Halloum, mengatakan kemungkinan kehilangan hak perwalian atas Al-Aqsa dan situs-situs suci Yerusalem lainnya akan sama halnya dengan 'deklarasi Balfour baru'.
"Ini adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai sejarah, agama dan Arab, serta pengawasan Yordania atas tempat-tempat suci, dan tindakan permusuhan langsung terhadap rakyat Palestina dan tempat-tempat sucinya," kata Halloum.
Mantan Menteri Wakaf Yordania, Hael Daoud, mengatakan kepada MEE bahwa dia berhati-hati dalam membuat asumsi. Dia tidak mengetahui jika ada perjanjian dalam kesepakatan UEA-Israel yang berkaitan dengan Yerusalem. Namun, dia mengatakan meragukannya lantaran UEA mengetahui bahwa mereka tidak memiliki apapun di Yerusalem.
"Mereka yang prihatin tentang Yerusalem adalah orang-orang Palestina yang pertama dan terpenting, dan Yordania sebagai penjaga Hashemite dari situs-situs suci. Saya sangat meragukan bahwa ada janji dalam hal ini, karena mereka yang tidak memiliki hak tidak dapat memberikan kepada mereka yang tidak layak," kata Daoud.
Sementara itu, wartawan Palestina Daoud Kuttab mengatakan dia memiliki sedikit ilusi tentang di mana negara Teluk itu berdiri, mengingat bahwa kesepakatan normalisasi telah ditengahi dengan banyak keriuhan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump, seorang pendukung kuat Israel.
"Ketika duta besar Emirat menghadiri pengumuman rencana Trump, dan ketika Emirate menyetujui pernyataan yang mencakup visi Amerika, ini secara otomatis mengkonfirmasi dukungan Emirat untuk hak orang Yahudi untuk beribadah di kompleks masjid suci di Yerusalem," kata Kuttab.
Sumber resmi Yordania yang tak disebutkan namanya telah memperingatkan setiap upaya yang mempengaruhi situasi historis Masjid Al-Aqsa akan memiliki konsekuensi serius. Namun, dia tidak menjelaskan secara rinci konsekuensi apa yang mungkin terjadi.
Pejabat itu mencatat bagaimana insiden sebelumnya di mana status Al-Aqsa dianggap terancam yang menyebabkan munculnya pergolakan rakyat. Pejabat tersebut mencontohkan sejumlah reaksi ketika rakyat Yerusalem berdiri untuk melindungi dan melestarikan masjid suci mereka.
Misalnya, penyerbuan Haram al-Sharif oleh Perdana Menteri Israel saat itu Ariel Sharon pada 2000, yang memicu Intifada Kedua. Selain itu, dia juga mencontohkan munculnya protes pada 1996, ketika Netanyahu meresmikan sebuah terowongan di dekat kompleks Al-Aqsa. Selanjutnya, adapula aksi protes yang lebih baru pada 2019, setelah gerbang ke kompleks Al-Aqsa ditutup pasukan Israel.
Meskipun masih harus dilihat apakah kesepakatan Israel-UEA akan memicu perubahan apa pun di Yerusalem, pejabat itu mengatakan Yordania akan mendukung posisinya sejak lama. "Posisi Yordania mengenai Al-Aqsa adalah bahwa setiap pelanggaran status quo ada garis merah," ujarnya.
Sumber: https://www.middleeasteye.net/news/israel-uae-deal-jordan-jerusalem-al-aqsa-mosque-custodianship