Banggar DPR akan Kaji Kinerja Keuangan BUMN Penerima PMN
Tahun ini pemerintah akan memberikan penyertaan modal negara ke sejumlah BUMN.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Badan Anggaran (Banggar) DPR menyoroti usulan pembiayaan suntikan modal berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada perusahaan pelat merah pada tahun ini. Menurutnya, rencana pembiayaan tersebut masih belum komprehensif untuk direalisasikan.
"Kami berharap Pemerintah bisa melengkapi data dan informasi terkait dengan BUMN yang diusulkan sebagai penerima PMN," ujar Ketua Banggar Said Abdullah dalam Rapat Kerja Banggar dengan Pemerintah dan Bank Indonesia (BI), Jumat (11/9).
Data yang diminta DPR khususnya mengenai data kinerja keuangan BUMN penerima dalam beberapa tahun terakhir. Peran dan fungsi dari tiap BUMN juga diminta untuk memastikan apakah sudah sejalan dengan ketentuan hukum saat ini.
Dengan data dan informasi ini, Said menjelaskan, DPR baru dapat menilai apakah BUMN tersebut memang sudah layak mendapatkan PMN atau tidak. Kehati-hatian ini diharapkan mampu meningkatkan akuntabilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Sehingga APBN yang kita alokasikan tetap bisa kita pertanggung jawabkan dalam upaya memberikan sepenuhnya bagi kemakmuran rakyat," kata Said.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menyebutkan, Penyertaan Modal Negara (PMN) yang terlalu besar kepada BUMN dapat menjadi risiko fiskal pada tahun depan. Sebab, perusahaan pelat merah yang dituju tidak tepat sasaran, terutama di tengah kebutuhan peningkatan belanja negara untuk mengatasi Covid-19.
Andry menjelaskan, kekuatan APBN masih sangat terbatas pada masa pandemi. Program-program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), terutama dari sisi perlindungan sosial, masih membutuhkan alokasi anggaran yang besar.
"Harusnya bisa dialokasikan ke pos ini," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (10/9).
Salah satu BUMN yang disorot Andry adalah PT Kawasan Industri Wijaya Kusuma (KIW). Dalam Nota Keuangan RAPBN 2021, perusahaan pelat merah ini ‘disuntik’ PMN sebesar Rp 1 triliun untuk pengembangan kawasan industri Batang, Jawa Tengah guna mendukung Proyek Strategis Nasional. Dalam proyek ini, KIW juga bermitra dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN).
Bahkan, menurut Andry, Menteri BUMN Erick Thohir telah mengajukan tambahan PMN baru senilai Rp 500 miliar untuk KIW dalam rapat kerja dengan DPR pada pekan lalu. "Padahal lahannya menggunakan PTPN yang berarti harusnya bisa memaksimalkan dana dari PTPN," tuturnya.
Selain itu, ada PMN sebesar Rp 500 miliar kepada PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) untuk mengembangkan Kawasan Labuan Bajo. Andry mengatakan, nominal tersebut belum termasuk usulan tambahan baru senilai Rp 500 miliar.
Andry menyebutkan, urgensi PMN kepada perusahaan-perusahaan pelat merah ini harus dikaji kembali. Apakah semua BUMN memang membutuhkan suntikan dana sebesar itu dan bagaimana antisipasinya apabila mereka mengalami kendala finansial di tengah jalan hingga kegagalan keuangan.
Apabila tidak cermat memberikan PMN, Andry mengatakan, BUMN justru akan menjadi beban ke APBN. Sebab, ketika mereka menghadapi 'jalan buntu', mereka kerap kali meminta bantuan kepada pemerintah melalui PMN yang berasal dari kas negara.
"Ini yang saya rasa, fiskal risiko yang harus diperhatikan," ujarnya.
Ketergantungan perusahaan pelat merah ke APBN harus dikurangi. Andry menekankan, BUMN harus melalui proses bisnis untuk menanggulangi potensi kerugian finansial mereka sendiri.
Di sisi lain, pemberian PMN juga harus melalui mekanisme pengawasan ketat, terutama dari DPR. Pasalnya, mereka bertugas ‘menggolkan’ usulan-usulan tambahan anggaran pemerintah, termasuk PMN ke BUMN terkait. "Jangan sampai kecolongan," tutur Andry.