Melibatkan Preman Pasar, Melecehkan Penegakan Hukum
Rencana gandeng preman tegakkan pelanggaran Covid-19 bertentangan dengan akal sehat.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Haura Hafizah, Febrianto Adi Saputro, Wahyu Suryana
Lemahnya pengawasan terhadap protokol kesehatan Covid-19 dipandang sebagai salah satu penyebab tingginya angka Covid-19. Untuk bisa menegakkan kepatuhan publik, Polri melontarkan wacana menggandeng preman pasar atau jeger untuk membantu tugas pengawasan protokol kesehatan di masyarakat.
Pakar Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyebut pelibatan preman untuk mengertibkan protokol Covid-19 tak tepat. Ia menyebut wacana tersebut justru bertentangan dengan tugas kepolisian.
"Dari dasar pikirannya saja untuk melibatkan jeger (preman) ini jelas bertentangan dengan tugas kepolisian sendiri untuk memberantas premanisme, dengan pikiran itu artinya mengakui eksistensi preman ini pikiran yang justru bertentangan dengan akal sehat, terlalu pragmatis," ujar dia saat dihubungi Republika.co.id, Senin (14/9).
Fickar mengingatkan, berdasarkan UU Kepolisian, tugas kepolisian selain menjaga keamanan dalam negeri, termasuk memberantas premanisme juga sebagai penegak hukum dan pelayan masyarakat. Dalam menegakan hukum, termasuk menegakan aturan pandemi, kepolisian sepenuhnya harus dilakukan secara profesional oleh para penyidik kepolisian.
"Tidak boleh melibatkan pihak lain apalagi pihak yang terlibat premanisme, ini menunjukan selain sikap tidak mau kerja keras juga melecehkan hukum itu sendiri," kata Fickar.
Jika harus melibatkan pihak lain dengan pendekatan persuasif, maka menurut Fickar seharusnya melibatkan tokoh tokoh fornal maupun informal dalam komunitas masyarakat. Seperti ketua RT, RW, Kepala kampung, ulama, pendeta, atau kekompok-kelompok pedagang pasar atau organisasi kepemudaan.
"Dengan pendekatan itu maka akan lahir kesadaran dari masyarakat untuk menatuhi aturan dan protokol kesrhatan pandemi untuk keselamatan dirinya sendiri," ujar dia.
Wakapolri Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono belakangan mengklarifikasi pernyataannya tempo hari terkait mengajak jeger atau preman dalam menegakkan protokol Covid-19. Ia menjelaskan, maksud pernyataannya itu terkait membentuk kesadaran kolektif komunitas.
Ia menjelaskan, ada dua upaya penegakkan protokol Covid-19, yakni melalui operasi yustisi dan membangun kesadaran. Operasi yustisi merupakan tindakan menegakkan Perda yang dilakukan Satpol PP dibantu TNI dan Polri. Sedangkan dalam upaya kedua, pembangunan kesadaran kolektif membutuhkan upaya semua pihak, terutama tokoh tertentu dalam suatu komunitas.
"Komunitas itu apa saja, ada komunitas perkantoran, pasar, hobby, pasar, ojek, motor besar yang semuanya mempunyai pimpinan formal dan informal," kata Gatot dalam rapat bersama Komisi III DPR RI, Senin (14/9).
Gatot menjelaskan, membangun kesadaran kolektif relatif mudah dilakukan di tempat atau komunitas terstruktur, misalnya perkantoran, mall atau pasar pemerintah. Sebab ada pimpinan resmi dari tempat tersebut.
Namun, ada komunitas yang tidak memiliki struktur resmi namun memiliki tokoh yang dianggap penting oleh komunitas tersebut. Gatot mencontohkan pasar tradisional, di mana kerap ada 'jeger' atau preman yang selalu berada di dekat mereka.
"Realitas kita pasar tradisional itu nggak ada pimpinan, ada yang menyebut kepala keamanannya, ada yang menyebut mandor di situ, ada yang menyebutnya jager, preman. Mereka ini kan setiap hari di sana," jelas Gatot.
Gatot mengatakan, anggota kepolisian maupun Satpol PP tak bisa sepenuhnya berada di pasar tertentu setiap saat. Maka itu, kata dia, diperlukan tokoh yang mampu menjadi pendorong kesadaran bersama dalam mendongkrak kesadaran kolektif tersebut.
"Jadi mereka tidak menegakkan perda tidak. Bukan mereka preman dari mana kita rekrut tidak, tapi mereka ada tentunya bersama komunitas ada mematuhi protokol. Kalau kesadaran kolektif berbasis komunitas ini kita kerjakan bersama saya kira percepatan memutus mata rantai bisa dilaksanakan," ujar dia menegaskan.
"Komunitas itu apa saja, ada komunitas perkantoran, pasar, hobby, pasar, ojek, motor besar yang semuanya mempunyai pimpinan formal dan informal," kata Gatot dalam rapat bersama Komisi III DPR RI, Senin (14/9).
Gatot menjelaskan, membangun kesadaran kolektif relatif mudah dilakukan di tempat atau komunitas terstruktur, misalnya perkantoran, mall atau pasar pemerintah. Sebab ada pimpinan resmi dari tempat tersebut.
Namun, ada komunitas yang tidak memiliki struktur resmi namun memiliki tokoh yang dianggap penting oleh komunitas tersebut. Gatot mencontohkan pasar tradisional, di mana kerap ada 'jeger' atau preman yang selalu berada di dekat mereka.
Sebelumnya, Gatot diberitakan akan memberdayakan preman pasar untuk membantu pengawasan protokol kesehatan terhadap pengunjung pasar. “Kita juga berharap penegak disiplin internal di klaster pasar, di situ kan ada jeger-jeger-nya di pasar, kita jadikan penegak disiplin," kata Gatot di Mako Polda Metro Jaya, Kamis (10/9).
Kendati demikian, Gatot menegaskan mereka akan tetap dipantau oleh TNI dan Polri agar pelaksanaannya tidak menyalahi aturan dan pelaksanaannya akan tetap mengedepankan cara humanis. "Kita harapkan menerapkan disiplin tapi tetap diarahkan oleh TNI polri dengan cara-cara humanis," kata wakil ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional itu.
Koordinator Badan Pekerja KontraS, Fatia Maulidiyanti mengatakan wacana pelibatan preman pasar untuk turut mendisiplinkan protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19 hanya akan semakin memperburuk situasi. Wacana ini justru menunjukkan kepada masyarakat kalau gagalnya polisi dalam melakukan tugas-tugas pengamanan dan penegakan hukum berdasarkan peraturan yang ada.
“Dengan itu, mereka harus melibatkan preman dalam melakukan tugasnya. Alih-alih mengefektifkan proses penegakan hukum, kami khawatir kebijakan ini justru akan memicu munculnya konflik horizontal akibat adanya kelompok masyarakat tertentu yang merasa mendapat legitimasi dari kepolisian untuk melakukan fungsi-fungsi penegakan peraturan kepada masyarakat lainnya,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id.
Selama ini, lanjut dia, polisi yang diklaim akan mengawasi dan mengarahkan penertiban oleh preman pasar dengan cara-cara humanis justru menjadi pihak dominan yang melakukan perlakuan tidak manusiawi kepada masyarakat. Dengan rekam jejak aparat negara dalam kasus pelanggaran HAM, maka tidak ada jaminan mereka akan melakukan pengawasan ketat yang efektif pada preman pasar.
Ia mengkhawatirkan adanya potensi pembiaran terhadap tindakan penertiban dengan kekerasan yang dilakukan oleh preman pasar atau unsur masyarakat lainnya. Dalam jangka menengah hingga jangka panjang, akan muncul kelompok yang dapat main hakim sendiri (vigilante group) karena merasa mendapat perlindungan dari aparat negara.
Maka dari itu, Kepala Kepolisian Republik Indonesia harus membatalkan wacana melibatkan preman dalam melakukan penegakan protokol Covid-19. Di sisi lain, gunakan pendekatan humanis yang berbasis pada kebijakan otoritas kesehatan untuk menjadi bagian dalam menekan laju penyebaran Covid-19.
Anggota Komisi III DPR, Didik Mukrianto, juga tidak mendukung wacana pemberdayaan preman pasar. Langkah tersebut dinilai kontraproduktif dan bakal memicu persoalan baru.
"Saya mengapresiasi semangat, komitmen dan langkah Wakapolri dalam merespons serta menangani penyebaran Covid-19 yang belum terkendali hingga saat ini, namun semangat dan langkah itu bisa menimbulkan persoalan baru dan kontraproduktif apabila salah dalam mengambil kebijakan termasuk meligitimasi hadirnya jeger atau preman pasar dalam tugas dan kewenangan institusional formal," kata Didik saat dikonfirmasi, Ahad (13/9).
Ia memandang Wakapolri perlu menghitung secara cermat dampak dan ekses yang akan muncul jika preman pasar dilibatkan. Termasuk dampak psikologis bagi masyarakat secara luas. Didik mengingatkan agar Wakapolri tidak menakut-nakuti masyarakat dengan melegitimasi kehadiran preman sehingga membuat masyarakat tidak nyaman.
"Pengetahuan publik selama ini, hadirnya jeger atau preman untuk beberapa kondisi dianggap sangat meresahkan dan mengganggu kamtibmas yang harus ditindak oleh Polisi, dengan anggapan adanya legitimasi yang akan diberikan oleh Wakapolri karena rencana pelibatan mereka dalam penanganan Covid-19, tentu ini akan dianggap juga pengakuan dan penguatan terhadap aktivitas para jeger atau preman ini," ujarnya.
Dosen Psikologi UGM, Diana Setiyawati, memaparkan alasan masyarakat enggan mematuhi protokol kesehatan Covid-19. Ia berpendapat, setiap orang akan mengubah perilakunya jika sesuai dengan persepsi yang diyakini.
"Jadi, tinggal di rumah bagi orang tertentu bisa menekan, bagi orang lain bisa netral," kata Diana, Senin (14/9). Persepsi ditekannya berperan penting.
Ada orang yang merasa dirinya rentan dan berisiko tertular, namun ada yang merasa penyakit ini ringan dan tidak begitu serius bila terkena. Jadi, semua bergantung persepsi akan keseriusan penyakit ini.
"Misalnya, ada yang menganggap Covid-19 ini tidak serius jadi tidak parah kalau terkena. Tapi, jika mereka yang menganggap serius, maka mereka akan menimbang protokol kesehatan," ujar Diana.
Untuk itu, ia mengingatkan, edukasi sangat diperlukan untuk dapat mengubah persepsi masyarakat mematuhi protokol kesehatan. Meyakinkan memakai masker dan cuci tangan bisa lindungi mereka dari risiko penularan sangat penting.
"Kita harus yakinkan diri apa iya pakai masker dan cuci tangan bisa membuat terlindungi, kalau sudah takdir bagaimana, persepsi beratnya patuhi protokol kesehatan misalnya pakai masker pengap, cuci tangan buat kulit kering," kata Diana.
Soal ragam sanksi sosial tidur di peti mati atau membangun peti mati di area publik, ia merasa, itu sebagai bentuk edukasi ekstrim. Sebab, sulit mengubah perilaku untuk mengajak masyarakat mengikuti protokol kesehatan.
Namun, Diana menekankan, sanksi tidak cuma harus memiliki efek jera, tapi juga harus diimbangi fasilitas mendukung. Soal masih banyaknya warga yang melanggar protokol, itu disebut sebagai bentuk keputusasaan atas kondisi.
"Bisa juga karena putus asa dengan kondisi, jadi memang yang harus kita perhatikan itu memastikan agar semua orang terpenuhi kebutuhan dasarnya," ujar Diana.
Selaku peneliti kesehatan mental masyarakat, Diana mengusulkan pemerintah dapat membuat kebijakan yang bijaksana dan kompak. Sehingga, dapat dipikirkan segala aspek kehidupan masyarakat selama masa pandemi masih berlangsung.