Prancis Kecewa Lebanon Gagal Bentuk Pemerintahan Baru

Tenggat waktu yang diberikan Prancis agar Lebanon membentuk kabinet telah habis

AP/Gonzalo Fuentes/Reuters Pool
Presiden Prancis Emmanuel Macron. Prancis menyatakan kekecewaannya karena Lebanon gagal membentuk pemerintahan baru. Ilustrasi.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Prancis menyatakan kekecewaannya karena Lebanon gagal membentuk pemerintahan baru pada Rabu (16/9). Tenggat waktu yang diberikan oleh Prancis kepada Lebanon untuk mereformasi kabinet telah habis, namun Presiden Emmanuel Macron tampaknya masih mau menunggu.

"Belum terlambat," kata pernyataan Prancis dilansir Aljazirah, Kamis (17/9).

Prancis memberikan batas waktu kepada Lebanon untuk membentuk pemerintahan baru hingga pertengahan September. Prancis menempatkan dirinya sebagai perantara untuk menemukan kesamaan di antara faksi politik di Lebanon.

Macron mendorong Lebanon segera membentuk pemerintahan baru untuk memperbaiki perekonomian negara yang telah terjerumus dalam krisis. Selain itu, reformasi kabinet juga dibutuhkan untuk mengatasi kemarahan publik atas ledakan di pelabuhan Beirut pada 4 Agustus yang menewaskan 191 orang.

Warga Lebanon menilai bencana tersebut diakibatkan oleh korupsi di kalangan pemerintah yang sudah berlangsung lama. Selain itu ada ketidakmampuan di antara kelas politik yang telah gagal membangun negara dan menegakkan supremasi hukum.  

Presiden Prancis telah mengunjungi Beirut sebanyak dua kali sejak terjadi ledakan. Macron memperingatkan Prancis akan memblokir dana pemulihan dari para donor jika tidak ada kemajuan yang dicapai.

"Kami terus mengikuti situasi dengan seksama dan melakukan komunikasi dengan para pemimpin politik Lebanon untuk memperbarui desakan kami dalam masalah ini," kata kantor Macron.

Perdana Menteri Lebanon Mustapha Adib telah berusaha untuk menunjuk menteri-menteri baru sehingga mereka dapat mulai mengerjakan peta jalan Prancis.  Seorang sumber mengatakan Adib telah berusaha untuk merombak kendali kementerian yang banyak dipegang oleh faksi yang sama selama bertahun-tahun.

Muslim Syiah dan Kristen keberatan dengan cara Adib membentuk kabinet baru. Mereka mengatakan Adib tidak melakukan konsultasi ketika mereformasi kabinet.

Peta jalan Prancis menetapkan tonggak sejarah bagi pemerintahan baru Lebanon. Mulai dari melanjutkan pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) hingga memperbaiki sistem kelistrikan yang rusak. Tetapi rencana itu terkendala oleh para elite politik Lebanon. Mereka keberatan dengan cara Adib merombak kabinet.

Keberatan paling signifikan datang dari Ketua Parlemen Syiah Nabih Berri yang didukung oleh kelompok Hizbullah. Dia bersikeras untuk menunjuk menteri keuangan yakni jabatan yang telah menjadi "jatah" bagi kelompok syiah sejak 2014.

Hizbullah mengatakan kepada Presiden Michel Aoun bahwa menteri Syiah harus disetujui oleh partai-partai Syiah. Selain itu posisi menteri keuangan harus seorang Syiah.

Mantan Perdana Menteri Saad Hariri mengatakan tidak ada faksi yang memiliki hak eksklusif untuk kementerian keuangan atau portofolio lainnya. Sementara itu Pemimpin Komunitas Druze Lebanon, Walid Jumblatt, mengatakan peta jalan Prancis adalah kesempatan bagi Lebanon untuk keluar dari krisis berkepanjangan.

"Tampaknya beberapa tidak mengerti atau tidak ingin memahami bahwa prakarsa Prancis adalah kesempatan terakhir untuk menyelamatkan Lebanon dan untuk mencegah hilangnya Lebanon," ujar Jumblatt dalam cicitannya di Twitter.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler