Tanwir al-Qulub: Penerang Hati dalam Kegelapan
Pengikut tarekat tak asing dengan kitab Tanwir al-Qulub.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi pelaku tasawuf dan tarekat Naqsyabandiyah, mungkin sudah tidak asing lagi dengan kitab Tanwir al-Qulub fi Mu'amalati 'Allam al-Ghuyub karya Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili al-Syafi'i. Di dalamnya banyak mengupas tentang ibadah, akidah, tasawuf, dan akhlak.
Di sejumlah pesantren salafiyah, kitab Tanwir al-Qulub ini biasanya juga turut dipelajari bersamaan dengan kitab-kitab fikih, seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu'in, Kasyifah al-Saja, ataupun kitab-kitab lainnya, seperti Riyadh al-Shalihin, Bulugh al-Maram, Irsyad al-'Ibad, Ihya 'Ulum al-Din, Maraqi al-'Ubudiyyah, Tanbih al-Ghafilin.
Kitab Tanwir al-Qulub, lebih banyak mengupas tentang tasawuf, hubungan antara seorang hamba ('Abid) dengan yang disembah (Ma'bud), yakni Allah dan cara-cara mendekatkan diri pada Sang Khalik.
Dan, secara umum, kitab ini tak jauh berbeda dengan kitab-kitab tasawuf lainnya. Namun, yang mungkin sedikit lebih membedakan, yakni kitab ini ditulis oleh seorang pelaku tarekat sekaligus mursyid dari tarekat Naqsyabandiyah.
Karena itu, kata Syafiq A Mughni, guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya, kitab Tanwir al-Qulub ini berisi tentang akidah, syariah, dan tasawuf. ''Tetapi, secara keseluruhan spiritual englightenment yang bersifat individual,'' jelasnya.
Pentingnya guru
Alasan Syekh Muhammad Amin al-Kurdi yang memfokuskan penulisan bidang tasawuf, terutama pribadinya, kata Syafiq, dapat dimaklumi. Pasalnya, Syekh Muhammad Amin adalah seorang syekh (mursyid, guru besar) dari Tarekat Naqsyabandiyah.
Misalnya, dalam salah satu bagian dari kitab tersebut, Syekh Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan, pencerahan spiritual hanya bisa diperoleh jika seorang pengikut tarekat (murid) menaati seluruh kata gurunya (mursyid) tanpa reserve (balasan), sungguh-sungguh.
Pernyataan ini, menurut Syafiq, terlalu berlebihan. Pasalnya, apa yang disebut sebagai pencerahan seperti itu sesungguhnya menjadikan umat Islam justru terbelakang, baik secara pribadi maupun sosial.
Syafiq mencontohkan, Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia ini untuk melakukan pencerahan (perbaikan akhlak). Kehidupan jahiliah yang gelap-gulita diubah menjadi kehidupan yang terang-benderang. Yukhriju al-nas min al-zhulumat ila al-nur.
Pencerahan Nabi itu, kata dia, diwujudkan dengan perjuangannya menghapuskan kemusyrikan dan kezaliman serta menegakkan tauhid dan keadilan. Nabi juga mendorong umat manusia untuk mengembangkan ilmu dan mempergunakan akal pikiran, serta memerangi kebodohan dan taklid. Wa la taqfu ma laysa laka bihi ilm; inn al-sam'a wa al-bashara wa al-fu'ad kullu ula`ika kana 'anhu mas`ula (Janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui; sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan akal itu masing-masing akan diminta pertanggungjawaban).
Dalam bagian lain, Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi menuliskan, dalam menuntut ilmu, harus ada seorang guru yang membimbingnya. Sebab, bila belajar tanpa bimbingan guru, setan yang akan menjadi pembimbingnya. Dengan alasan inilah, Syekh Muhammad Amin al-Kurdi, begitu ketat dan disiplin dalam membimbing para salik (orang yang belajar tarekat) agar selalu didampingi dan diawasi oleh guru (mursyid).
Mursyid adalah seorang yang mempunyai otoritas dan legalitas kesufian, yang berhak mengawasi murid dalam setiap langkah dan geraknya sesuai dengan ajaran Islam. Dia pasti mempunyai keistimewaan tertentu.
Dalam kitabnya ini, Syekh Muhammad Amin al-Kurdi menjelaskan, seorang mursyid itu adalah orang yang telah mencapai maqam Rijal al-Kamal, yaitu orang yang sudah sempurna suluk, syariat, dan hakikatnya sesuai dengan ajaran Islam dan telah mendapat ijazah dari seorang guru untuk mengajarkan suluk kepada orang lain.
Amin Syukur, guru besar tasawuf dari IAIN Walisongo Semarang, menjelaskan, seorang mursyid itu harus alim dalam ilmu agama, arif (bijaksana) tentang sifat-sifat kesempurnaan hati, berhati lembut, pandai menyimpan rahasia murid, bisa mengawasi dan memperbaiki murid, terhindar dari pamrih, berlapang dada dan ikhlas, memberi petunjuk kepada murid agar terhindar dari penyakit hati, sedikit makan, minum, dan tidur.
Pentingnya seorang guru dalam menuntut ilmu, juga diungkapkan al-Qusyairi. ''Barang siapa yang tidak mempunyai syekh, ia sama sekali tidak memperoleh kemenangan.''
Hal yang sama juga dijelaskan Abu Ali al-Daqqaq. Menurutnya, ''Pohon yang tumbuh sendiri tanpa ada yang menumbuhkannya, akan berdaun, tetapi tak akan berbuah. Begitu pula, seorang murid yang tidak mempunyai guru kepada siapa ia mendapatkan ilmu tarekat, ia pengabdi kepada hawa nafsunya dan tidak akan mendapat jalan keluar.''
Selanjutnya, Muhammad Amin al-Kurdi menerangkan, selain harus ada guru (mursyid) dalam tarekat, unsur kedua yang harus dipenuhi dalam tarekat adalah murid (berkehendak) untuk menempuh jalan tasawuf (suluk) dibimbing seorang mursyid. Setelah murid mengikatkan diri kepada mursyid melalui baiat (janji setia), ia terikat dengan etika ketarekatan.
Dia seorang yang harus membuka diri terhadap mursyidnya, tidak ada satu rahasia pun yang disembunyikan, harus menyerahkan diri untuk diobati penyakit hatinya (takhalli) menuju penyembuhan hati (tahalli), menuju tercapainya nur Ilahi (tajalli).
Unsur ketiga ialah baiat, yakni janji setiap murid kepada seorang guru untuk taat menjalankan apa yang menjadi ketentuan dalam tarekat. Baiat merupakan ikatan batin yang sangat kokoh antara mursyid dan murid untuk bersama-sama bertaubat menuju kepada Allah SWT dan istikomah (tetap, ajeg :jawa) di jalan-Nya.
Kriteria guru
Secara lebih detail, kriteria seorang guru wushul menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi, harus memenuhi beberapa unsur. Antara lain, (a) Harus alim dalam hal-hal yang diperlukan muridnya, baik di bidang syariat maupun hakikat; (b) mengetahui tentang kesempurnaan hati dan adab-adabnya, tentang perusak (afat) jiwa dan penyakit-penyakitnya; (c) bersifat kasih sayang terhadap sesama Muslim, terutama kepada murid-muridnya; (d) selalu menutupi aib (kekurangan) yang ada pada diri muridnya; (e) bersih dari keinginan untuk memperoleh harta dan hak milik muridnya; (f) selalu menjadi teladan bagi muridnya; (g) membatasi pertemuan dengan muridnya; (h) perkataannya bersih dari dorongan hawa nafsu, humor, dan sesuatu yang tidak berguna; serta (i) memberi kelonggaran kepada muridnya dalam hak dirinya sehingga tidak menuntut agar diagungkan dan dimuliakan serta tidak menuntut muridnya untuk melakukan sesuatu yang berada di luar kemampuannya. (hlm 524-527).
Setiap murid dituntut agar yakin dan sadar bahwa ia tidak akan berhasil mencapai suluknya tanpa perantaraan guru. Sikap galau dan bimbang dari seorang murid kepada guru akan menjadi sebab terhijab dirinya dari pancaran cahaya hikmah dan kearifan gurunya.