Termasuk Perkara Merusak: Berkata tentang Allah Tanpa Ilmu

Berkata tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara yang merusak.

Termasuk Perkara Merusak: Berkata tentang Allah Tanpa Ilmu. Foto: Kata
Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya yang berjudul Ad-Da' u wa ad- Dawa' (Terapi Penyakit Hati), menyebutkan, termasuk perkara yang sangat merusak adalah berkata tentang Allah tanpa ilmu, baik mengenai nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, maupun perbuatan-Nya; serta menyifati-Nya dengan sifat-sifat yang berlawanan dengan apa yang Dia sifatkan untuk diri-Nya dan apa yang disifatkan oleh Rasul-Nya.

Hal ini merupakan pertentangan dan penafian yang besar terhadap hikmah Dzat yang mempunyai kesempurnaan perintah dan ciptaan, sekaligus pelecehan terhadap rububiyyah dan kekhususan-kekhususan Allah. Jika didasari oleh ilmu, maka hal ini merupakan pembangkangan yang lebih keji daripada syirik dan lebih besar dosanya di sisi Allah.

Sungguh, orang musyrik yang mengakui sifat-sifat Allah masih lebih baik daripada para pembangkang yang meniadakan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Seperti halnya, seseorang yang mengakui kerajaan seorang raja tertentu dan tidak menentang kerajaannya serta sifat-sifat yang memang berhak disandang oleh raja itu, tetapi dia menjadikan seorang sekutu bagi raja tersebut dalam sejumlah perkara, tidak lain untuk mendekatkan diri kepadanya, masih lebih baik daripada seseorang.

Baca Juga



yang menentang sifat-sifat raja sekaligus hal-hal yang membuatnya menjadi raja. Demikianlah yang dibenarkan fitrah dan akal. Berdasarkan penjelasan di atas, di manakah letak pelecehan dan pertentangan terhadap sifat-sifat kesempurnaan Allah dalam peribadahan yang menggunakan perantara antara hamba dan Allah-sembahan yang haq-sementara hamba tersebut mendekatkan diri kepada Allah dengan perantara tersebut dengan alasan pengagungan dan pemuliaan kepada Allah.

Penyakit ta'thil (penafian nama, sifat, dan perbuatan Allah-pen) merupakan penyakit kronis yang tidak ada obatnya. Oleh sebab itu, Allah menceritakan kisah imam (pemimpin) sekte Mu'aththilah (penganut paham ta'thil), yaitu Fir'aun, yang telah mengingkari kabar yang dibawa Nabi Musa, yakni bahwa Rabbnya berada di atas langit. Firfaun berkata, sebagaimana yang dikisahkan dalam Alquran Surat Al-Mu'min ayat 36-37:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ

Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu,


أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَىٰ إِلَٰهِ مُوسَىٰ وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا ۚ وَكَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ ۚ وَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تَبَابٍ

(yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta". Demikianlah dijadikan Fir'aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir'aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.
 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler