Mungkinkah Rumah Sakit Memanipulasi Data Pasien Covid-19?
Opini rumah sakit
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Eko Widiyatno, Bowo Pribadi, Antara
Mungkinkah ada rumah sakit yang diduga mengcovidkan pasien? Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) wilayah eks Karesidenan Banyumas, dr Widayanto, menegaskan anggapan banyak rumah sakit melakukan manipulasi data Covid-19, merupakan anggapan yang tidak benar. Dia menyebutkan, akan sangat sulit bagi rumah sakit untuk memanipulasi data pasien Covid-19.
''Sulit, bahkan sangat sulit bagi rumah sakit memanipulasi data pasien. Karena data Covid-19 itu, akan saling terkait dengan data lainnya,'' jelasnya, Senin (5/12).
Penjelasan tersebut disampaikan dr Widayanto menanggapi adanya tudingan yang menyebutkan banyak rumah sakit telah memanipulasi data pasien. Kedua pejabat negara yaitu Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, menilai banyak rumah sakit memberi status pasien Covid-19 pada pasien yang meninggal. Hal ini dilakukan rumah sakit, agar rumah sakit tersebut mendapatkan penggantian perawatan dari pemerintah.
Dia menyebutkan, data mengenai pasien Covid-19, tidak hanya tercantum pada data pasien di rumah sakit yang melakukan perawatan. Tapi juga di puskesmas yang melakukan rujukan, Dinas Kesehatan, Pokja Covid 19, dan BPJS. ''Dengan data yang tercantum di mana-mana, sangat berisiko kalau ada rumah sakit yang berani melakukan manipulasi data pasien Covid-19,'' jelasnya.
Contohnya, bila ada rumah sakit yang memanipulasi data pasien non Covid-19 menjadi data Covid-19, maka data palsu ini akan mudah diketahui melalui pengecekan di puskesmas yang melakukan rujukan. Hal ini mengingat banyak pasien yang datang ke rumah sakit, melalui rujukan dari puskesmas.
Sedangkan bila pasien tersebut datang langsung ke UGD atau poli rumah sakit, pihak rumah sakit juga sulit pasien langsung divonis Covid-19 karena data pasien tersebut akan langsung masuk ke pusat data instansi terkait, dan akan dilakukan pengecekan oleh Dinas Kesehatan. ''Memang bisa saja ada oknum pengelola rumah sakit yang memanipulasi data jumlah pasien Covid. Tapi saya tegaskan lagi, itu akan sangat berisiko karena sangat mudah untuk ketahuan,'' jelasnya.
Menurutnya, dalam pengecekan data pasien Covid 19, mungkin saja terjadi sengketa. Dalam hal ini, terjadi perbedaan diagnosa antara dokter di rumah sakit dan pihak yang melakukan pengecekan. ''Bila ini terjadi, maka biasanya diagnosa rumah sakit yang digagalkan. Kalau sudah begini, rumah sakit yang akan nombok, karena pasien yang dianggap Covid-19 tidak boleh dikenakan biaya,'' jelasnya.
Dokter Widayanto menyebutkan, sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No 446 tahun 2020, pihak rumah sakit yang merawat pasien Covid-19 memang berhak mendapat penggantian biaya pelayanan/perawatan pasien Covid-19. Penggantian perawatan yang diberikan meliputi berbagai jenis layanan yang diberikan rumah sakit, hingga pemulasaraan jenazah dan ambulans, bila pasien meninggal.
Mengenai keluhan pasien rumah sakit yang wajib tes swab sebelum mendapat pelayanan, dr Widayanto menyatakan, dalam kondisi sekarang dimana banyak warga terpapar Covid namun masuk kategori OTG (Orang Tanpa Gejala), maka setiap pasien yang datang ke rumah sakit atau layanan kesehatan Puskesmas harus dianggap suspect Covid. ''Hal ini perlu dilakukan untuk melindungi tenaga kesehatan,'' katanya.
Namun dia juga menegaskan, permintaan tes swab pada pasien biasanya baru akan dilakukan bila memang dalam penanganan pasien diperlukan kontak erat antar pasien dan tenaga kesehatannya. ''Bila tidak membutuhkan kontak erat, biasanya dokter rumah sakit tidak akan meminta pasiennya melakukan tes swab,'' jelasnya.
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) juga turut menanggapi isu rumah sakit "mengcovidkan" atau menyatakan status pasiennya sebagai pasien Covid-19 yang bertujuan untuk mendulang keuntungan.
"Adanya pernyataan atau tanggapan yang tak disertai fakta, bukti atau tidak terbukti kebenarannya membangun persepsi keliru atau menggiring opini seolah-olah rumah sakit melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan ketentuan atau kecurangan/fraud. Persepsi keliru dan opini ini menghasilkan misinformasi dan disinformasi yang merugikan pelayanan rumah sakit dalam penanganan pandemi Covid-19," kata Ketua PERSI Kuntjoro Adi Purjanto dalam keterangan tertulisnya yang dikutip di Jakarta, Senin (5/10).
Kuntjoro menyebut terbangunnya opini bahwa rumah sakit "mengcovidkan" pasien dianggap menimbulkan stigma dan pengaruh luar biasa pada menurunnya kepercayaan publik terhadap rumah sakit. Hal itu juga meruntuhkan semangat dan ketulusan pelayanan yang dilaksanakan rumah sakit dan tenaga kesehatan.
Khawatirnya dapat menimbulkan dampak negatif dalam pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh rumah sakit kepada pasien dan masyarakat umum, tuturnya.
Isu tersebut mencuat setelah Kepala Staf Presiden Moeldoko meminta agar rumah sakit jujur terhadap data kematian pasien di RS pada masa pandemi Covid-19. Dia meminta agar data kematian pasien di RS tidak selalu dikaitkan dengan Covid-19 sebagai penyebab.
Menanggapi hal itu, Kuntjoro meminta bukti yang sah jika memang benar ada rumah sakit yang melakukan tindakan tidak jujur dengan mengcovidkan pasien. "Jika benar dan dapat dibuktikan secara sah, PERSI sangat mendukung pemberian sanksi terhadap oknum petugas atau institusi rumah sakit yang melakukan kecurangan dengan mengcovidkan pasien," kata Kuntjoro.
Dia juga mengatakan bahwa PERSI menghimbau, mengajak dan senantiasa berkolaborasi kepada para pihak yang berkepentingan memperbaiki pelayanan kesehatan dalam penanganan pandemi Covid-19.
PERSI menerima masukan, aspirasi dan keluhan dapat disampaikan dengan cara yang tepat dan saluran yang benar. Kuntjoro menyebut PERSI berkomitmen dan senantiasa mendukung upaya pemerintah dan pemerintah daerah dalam penanggulangan pandemi Covid-19 dengan memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien Covid-19 maupun pasien umum yang membutuhkan.
PERSI melalui rumah sakit anggotanya secara penuh kesadaran memenuhi tanggungjawabnya untuk melayani kesehatan seluruh masyarakat baik pasien Covid-19 maupun umum dengan segala risiko tinggi pada berbagai aspek baik kesehatan maupun nonkesehatan. Dia juga menyebut rumah sakit memegang teguh dan melaksanakan pelayanan kesehatan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan protokol kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien Covid-19.
PERSI menyatakan bahwa rumah sakit anggotanya telah mengikuti pedoman dan aturan dalam manajemen klinis dan tata laksana jenazah Covid-19 sesuai ketentuan berlaku. Selain itu PERSI juga sudah mematuhi ketentuan mengenai klaim pembayaran atas klaim Covid-19 sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Pekan lalu, Kepala Staf Presiden (KSP), Moeldokobertemu dengan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, di kantor Guberur Jawa Tengah, kompleks Sekretariat daerah Provinsi Jawa Tengah. Moeldoko mengatakan, isu rumah sakit mengcovidkan semua pasien yang meninggal untuk mendapatkan anggaran dari Pemerintah diakuinya memang sudah menggema di masyarakat. Hal ini manjadi salah satu persoalan yang dibahas dalam kesempatan bertemu dengan Gubernur Jawa Tengah.
“Tadi saya diskusi banyak dengan Pak Gubernur, salah satunya adalah tentang definisi ulang kasus kematian selama pandemi. Definisi ini harus kita lihat kembali, jangan sampai semua kematian itu selalu dikatakan akibat Covid-19,” jelasnya.
Sebab, lanjutnya, sudah banyak informasi yang menyebutkan orang sakit biasa atau mengalami kecelakaan, didefinisikan meninggal karena terpapar Covid-19. Padahal sebenarnya, hasil tesnya juga negatif.
“Maka, yang seperti ini perlu diluruskan, agar jangan sampai justru menguntungkan pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan dari definisi tersebut,” jelasnya.
Hal tersebut diamini oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Isu rumah sakit mengcovidkan pasien tersebut disebutnya sudah menimbulkan keresahan dimasyarakat. Bahkan, kejadian itu juga pernah ditemukan di Jawa Tengah.
Hal tersebut sempat dipertanyakan oleh KSP, bagaimana banyak asumsi muncul semua yang meninggal di rumah sakit dicovidkan. Ada orang diperkirakan Covid terus meninggal, padahal hasil tes belum keluar dan setelah hasilnya keluar, ternyata negatif.
“Ini kan kasihan dan ini adalah contoh-contoh agar kita bisa memperbaiki dalam memberikan penanaganan Covid-19,” tegasnya.
Untuk mengantisipasi hal itu, Gubernur pun menegaskan sudah menggelar rapat dengan jajaran rumah sakit rujukan Covid-19 di Jawa Tengah dan pihak terkait. Dari rapat itu diputuskan, untuk menentukan atau mengekspos data kematian dan mereka yang meninggal harus terverifikasi.
Seluruh rumah sakit di mana ada pasien meninggal, maka otoritas dokter harus memberikan catatan meninggalnya karena apa. “Catatan itu harus diberikan kepada kami, untuk kami verifikasi bagi kebutuhan informasi keluar,” tegasnya.
Ia juga mengakui, dengan sistem tersebut memang akan terjadi ‘penundaan’ data soal angka kematian. “Namun menurut saya itu lebih baik daripada kemudian terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,” katanya.