Tersangka Kasus Korupsi Lampung Selatan Bertambah
Kasus ini bermula dari kegiatan tangkap tangan di Lampung Selatan pada 2018.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Syahroni (SY) sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan barang dan jasa lingkungan Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan tahun anggaran 2016 dan 2017. Dia diduga menerima hadiah atau janji terkait pengadaan barang dan jasa tersebut.
"Setelah dilakukan pengumpulan informasi dan data, ditemukan bukti permulaan yang cukup, kemudian KPK meningkatkan status perkara ke tahap penyidikan," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Selasa (6/10)
Saat ini, dia mengungkapan, SY ditahan di Rutan Negara Cabang KPK di Gedung KPK Kavling C1 untuk kepentingan penyidikan. Penahanan SY terhitung selama 20 hari terhitung mulai tanggal 6 Oktober 2020 sampai dengan tanggal 25 Oktober 2020.
"Sebelumnya dilakukan isolasi mandiri terlebih dahulu di Rutan KPK Kavling C1 tersebut dalam rangka pencegahan dan penyebaran Covid-19," kata Ali lagi.
Perkara ini diawali dengan kegiatan tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 27 Juli 2018. Dari opeasi senyap itu KPK telah menetapkan empat orang tersangka yakni GR (Gilang Ramadhan) dari pihak swasta, Bupati Kabupaten Lampung Selatan periode
2016-2021 ZH (Zainudin Hasan), anggota DPRD Provinsi Lampung, ABN (Agus Bhakti Nugroho), dan Kepala Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan AA (Anjar Asmara).
Mereka telah divonis hukuman antara 2 tahun 3 bulan penjara hingga 12 tahun kurungan. Namun, Ali mengatakan, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup tentang keterlibatan pihak lain dalam dugaan tindak pidana korupsi tersebut setelah mencermati fakta-fakta yang berkembang dalam proses penyidikan dan persidangan.
Ali mengatakan, SY adalah Kasubbag Keuangan PUPR Lampung Selatan pada tahun 2015-2017, Kabid Bina Program PUPR Lampung Selatan pada bulan Januari 2017-November 2017, Kabid Pengairan pada bulan November 2017-2018, Kadis PUPR Lampung Selatan pada Januari 2020 hingga sekarang.
Dia melanjutkan, SY dan Hermansyah Harmidi (HH), yang juga sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh KPK, diduga mendapatkan perintah dari ZH selaku Bupati Lampung Selatan periode 2016-2021. Keduanya diduga diminta untuk melakukan pungutan proyek pada Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan sebesar 21 persen dari anggaran proyek.
HH diduga memerintahkan SY untuk mengumpulkan setoran untuk diserahkan kepada staf ahli bupati Lampung Selatan sekaligus sebagai anggota DPRD Provinsi Lampung ABH. Kemudian, SY diduga menghubungi para rekanan pada Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan dan meminta setoran dari para rekanan tersebut.
Selanjutnya, SY diduga memploting rekanan yang besaran paket pengadaan di Dinas PUPR Kab Lampung Selatan menyesuaikan dengan besaran dana yang disetorkan rekanan. SY juga diduga membuat tim khusus yang tugasnya melakukan upload penawaran para rekanan menyesuaikan dengan ploting yang sudah disusun berdasarkan nilai setoran yang telah diserahkan oleh para rekanan.
Dana yang diserahkan oleh rekanan diduga diterima oleh SY dan HH dan setoran khusus ZH kemudian diberikan kepada ABH. Dana yang diterima untuk Pokja ULP sebesar 0,5 hingga 0,75 persen, untuk bupati sebesar 15 hingga 17 persen dan untuk Kadis PU sebesar 2 persen.
Sejak kurun waktu tahun 2016 sampai 2018, Ali mengatakan, dana yang sudah diterima oleh ZH melalui ABN yang sumbernya berasal dari proyek-proyek pada Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan yang dikelola oleh SY dan HH adalah sekitar Rp 26 miliar pada 2016 dan Rp 23,6 miliar oada 2017.
Ali mengatakan, atas perbuatannya itu, SY disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi j.o. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.