Polisi Diminta Kembalikan Barang yang Dirampas saat Aksi

Berbagai tindak kekerasan dilakukan aparat kepolisian selama menangani unjuk rasa.

Antara/Zabur Karuru
Pengunjuk rasa berlarian ketika polisi menembakkan gas air mata saat demo menolak Undang-undang Cipta Kerja di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur. Aksi yang dikuti ribuan orang dari berbagai elemen mahasiswa dan buruh tersebut berakhir ricuh dan mengakibatkan sejumlah fasilitas umum rusak.
Rep: Dadang Kurnia Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID,  SURABAYA -- Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasa (KontraS) Surabaya Rahmat Faisal meminta, aparat kepolisian mengembalikan barang-barang yang dirampas saat mengamankan aksi penolakan UU Cipta Kerja di Surabaya, Kamis (8/10). Rahmat mengaku, hingga saat ini masih banyak massa aksi yang melaporkan barang-barangnya yang dirampas aparat kepolisian, yang hingga kini belum dikembalikan.


"Saya harapkan polisi memberikan informasi terkait keberadaan barang rampasan dan cara mengambilnya," ujar Rahmat di Kantor Kontras Surabaya, Rabu (14/10).

Selain barang rampasan yang belum dikembalikan, Rahmat juga mengungkapkan, berbagai tindak kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian selama menangani dan mengawal unjuk rasa. Dimana ditemukan aparat kepolisian yang melakukan penangkapan secara sewenang-wenang kepada beberapa massa aksi yang baru akan melakukan aksi, massa aksi yang tidak terlibat dalam pengrusakan dan penyerangan, serta massa aksi yang tengah dirawat di posko medis.

Selain itu, menurutnya, aparat kepolisian juga melakukan tindak kekerasan kepada massa aksi yang menjadi relawan medis, massa aksi yang tidak bersenjata, dan massa aksi yang tidak melawan saat ditangkap. Kontras juga menemukan, aparat kepolisian yang melakukan penyerangan dan melakukan pengrusakan terhadap sekretariat PMKRI, yang digunakan untuk posko kesehatan selama aksi.

Ditemukan juga aparat kepolisian yang mengintimidasi dan mengancam masyarakat yang mengikuti aksi dan jurnalis yang berupaya melakukan pendokumentasian kerusuhan selama aksi. Hal itu dilakukan dengan cara merampas alat dokumentasi yang digunakan dan menghapus paksa hasil dokumentasi.

Kontras juga menemukan aparat kepolisian menghalangi akses informasi mengenai data pasti siapa saja dan berapa keseluruhan jumlah massa aksi yang ditangkap, termasuk status penahanannya. Sehingga tim advokasi mengalami kesusahan dalam melakukan bantuan hukum.

"Aparat kepolisian juga melakukan kekerasan dan tindakan tidak manusiawi kepada tersangka anak di bawah umur selama proses penangkapan," ujar Rahmat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler