Tokoh Santri yang Dikenang Jadi Pahlawan Bangsa (2)

Besarnya pengaruh pesantren dan santri dalam memperjuangkan NKRI tak bisa dipungkiri.

Daan Yahya/Republika
Tokoh Santri yang Dikenang Jadi Pahlawan Bangsa (2). Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan.
Rep: Zainur Mahsir Ramadhan Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Besarnya pengaruh pesantren dan santri dalam memperjuangkan NKRI tak bisa dipungkiri. Terlebih, ketika para tokoh atau pahlawan nasional, perjuangan, revolusi dan lainnya juga banyak yang berasal dari kalangan santri.

Baca Juga


Di lingkungan pesantren itu, para santri yang kemudian dikenal bangsa sebagai pahlawan, memupuk sikap dan nilai perjuangannya atas penjajahan dari berbagai guru. Karenanya, di Hari Santri Nasional 22 Oktober ini, perlu dikenang kembali beberapa tokoh dari kalangan pesantren yang menjadi pahlawan.

3. KH Ahmad Dahlan 

KH Ahmad Dahlan Ahyad lahir 30 Oktober 1885 di Kebondalem, Surabaya. Putra keempat dari enam bersaudara yang dilahirkan oleh pasangan KH Muhammad Ahyad dan Nyai Hj Mardliyah ini memiliki darah keturunan Sunan Gunung Jati Cirebon dari ayahnya. 

Dalam buku Biografi Kiai Ahmad Dahlan, Aktivis Pergerakan dan Pembela Ajaran Aswaja oleh Wasid Masyur, disebutkan bagaimana peran Kiai Dahlan dalam membentengi akidah rakyat saat itu, Utamanya, dalam membentengi paham wahabi di Surabaya.

Menilik masa kecilnya setelah dididik sang ayah, Dahlan kecil diketahui mondok di pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan Madura dan mempelajari ilmu Nahwu, Fikih, dan Sharraf. Kemudian, ia kembali menjadi santri ke pondok pesantren Sidogiri Pasuruan yang diasuh Kiai Mas Bahar ibn Noer Hasan. Di sana, ia mendalami ilmu tafsir, hadits dan ilmu hisab.

Setalah lama tinggal di sana, Kiai Dahlan kembali ke kampungnya dan meneruskan pondok pesantren milik sang ayah. Waktu berselang, Kiai Ahmad Dahlan juga berperan besar dalam berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926. Sebagai Wakil Rais Akbar NU pertama saat itu, dirinya menjadi orang nomor dua paling berpengaruh di NU kala itu.

Ada banyak sepak terjang perjuangan Kiai Dahlan untuk Indonesia. Dari mulai perlawanan terhadap Wahabi hingga penjajahan.

Dari sisi kebangsaan, dirinya bersama kiai lain juga diketahui mendirikan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Organisasi itu, didirikan untuk menyatukan semangat kebangsaan antar ormas Islam dan merespons ketidakadilan dari kolonialisme.

Tak hanya itu, pada 18 November 1912, Kiai Dahlan juga mendirikan Organisasi Muhammadiyah sebagai wadah untuk mendalami ilmu agama. Muhammadiyah hingga kini ikut serta dalam menjalankan sendi keislaman di tanah air. Tak hanya wujud riil, namun juga konkret dan nyata. Muhammadiyah kini juga diketahui sebagai ormas besar yang memiliki kader dan aset nilai ekonomi dari mulai sekolah, perkantoran, perguruan tinggi hingga rumah sakit.

 4. Wahid Hasyim

Putra dari pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari ini lahir pada 1914. Selama masa kemerdekaan, dirinya menjadi salah satu ulama yang aktif di politik. 

Perjuangannya tak hanya sampai gerbang kemerdekaan. Pada masa pemerintahan awal, dirinya juga menjabat posisi penting.  

Pada 1945 awal misalnya, Ketua Masyumi sejak Oktober 1943 ini, juga menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Bahkan, karena keahliannya dalam berorganisasi dan kemampuan intelektualnya, Wahid Hasyim didaulat menjadi menteri agama hingga tiga kabinet berlalu, utamanya sejak masa Kabinet M Hatta, M Natsir dan Sukiman. 

Selama masa perjuangannya, KH Abdul Wahid Hasyim berfokus pada upayanya dalam mengonsolidasikan potensi kekuatan rakyat. Khususnya, dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan. 

Buku pahlawan Dewi Sartika dan Wahid Hasyim yang disusun oleh IKPNI dan diterbitkan oleh Esensi, Penerbit Erlangga. - (Republika/Noer Qomariah K)

 

Menilik ke belakang, semasa tumbuh, ia memulai pendidikan agama dan pemahaman lainnya dari pesantren ke pesantren. Perjuangannya itu, juga memancing tokoh lainnya untuk ikut bergerilya melawan penjajah, salah satunya Tan Malaka.

Dalam sebuah cerita, bahkan, disebutkan Tan Malaka menyamar menjadi seorang petani ketika hendak menemui KH Wahid Hasyim untuk memperkuat konsolidasi rakyatnya itu. Kisah itu dituliskan dalam Guruku Orang Pesantren oleh KH Saifuddin Zuhri. Tan Malaka yang menyamar menjadi petani bernama Husin ini, akhirnya bertemu dengan KH Wahid Hasyim.

Namun demikian, keduanya memilih perjuangan terbuka. Di satu satu sisi, anak dari KH Hasyim Asy’ari itu memilih berjuang melalui diplomasi, alih-alih dari perlawanan fisik.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler