Sri Mulyani: Penyerapan Insentif Perpajakan Baru 24,6 Persen
Insentif meliputi PPH 21 hingga restitusi pendahuluan PPN.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi insentif perpajakan yang menjadi bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) belum mencapai 25 persen dari total anggaran Rp 120,6 triliun. Insentif ini meliputi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atau pajak karyawan yang ditanggung pemerintah hingga restitusi pendahuluan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, stimulus berupa insentif perpajakan dalam program PEN masih terealisasi di bawah Rp 30 triliun. "Atau 24,6 persen," ujarnya dalam acara Spectaxcular 2020 Virtual Festival, Jumat (23/10).
Beberapa insentif yang sudah terealisasi adalah PPh 21 DTP sebesar Rp 2,18 triliun. Selain itu, pemerintah juga memberikan pembebasan PPh 22 impor yang sampai saat ini sudah diberikan kepada Wajib Pajak (WP) senilai Rp 7,3 triliun.
Perusahaan yang kini menghadapi tantangan luar biasa juga diberikan insentif melalui cicilan penurunan angsurannya hingga 50 persen. Sri mengatakan, realisasi insentif ini sudah sebesar Rp 10,2 triliun.
Meski realisasi penyaluran insentif perpajakan masih rendah, Sri memastikan, pihaknya tetap berjuang untuk menyampaikan kepada seluruh WP, bahwa pemerintah hadir untuk membantu mereka.
Tidak hanya insentif perpajakan, bantuan kepada WP juga diberikan dalam bentuk restrukturisasi utang yang dilakukan bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Berbagai bantuan untuk UMKM dilakukan, seperti bantuan subsidi bunga dan kredit modal produktif," kata Sri.
Sri mengakui, kondisi saat ini tidaklah mudah bagi Direktorat Jenderal Pajak. Di saat penerimaan pajak sedang tertekan hingga kontraksi 17 persen, pemerintah tetap harus memberikan stimulus agar kegiatan ekonomi terus berjalan.
Di satu sisi, WP juga menghadapi tekanan besar akibat perlambatan aktivitas ekonomi pada masa pandemi Covid-19. Sri menekankan, support satu sama lain menjadi penting saat ini. “Wajib Pajak yang memang dalam situasi sulit, kita coba jaga agar mereka bisa melewati masa sulit, Namun, kalau mereka punya kemampuan bayar, kita tetap collect itu,” ucapnya.
Penerimaan pajak itu diupayakan untuk menutupi defisit APBN 2020 yang diproyeksikan mencapai 6,34 persen atau lebih dari 1.000 triliun. Tingginya angka defisit dikarenakan penerimaan pajak yang mengalami kontraksi, sedangkan belanja pemerintah mengalami kenaikan untuk menangani pandemi Covid-19.
Ketika pandemi sudah mulai mereda dan pemulihan ekonomi terjadi, Sri mengatakan, pihaknya akan semakin intensif dalam mengumpulkan penerimaan pajak. Hal ini ditujukan untuk konsolidasi APBN yang diproyeksikan mengalami penurunan defisit di level 5,7 persen.
"Agar APBN tidak terus menerus defisit besar, namun belanja urgen untuk masyarakat tetap bisa berjalan, maka kita harus kumpulkan peneriman pajak di saat Covid turun dan pemulihan ekonomi terjadi," ucap Sri.