KPK Tahan Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman
Budi Budiman berstatus tersangka kasus korupsi Dana Alokasi Khusus Tasikmalaya 2018.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan Wali Kota Tasikmalaya, Budi Budiman (BBD) sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi. Lembaga antirasuah itu menduga BBD terlibat terkait pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) Tasikmalaya, Jawa Barat, Tahun Anggaran 2018.
"KPK melakukan penahanan tersangka BBD selama 20 hari terhitung sejak tanggal 23 Oktober 2020 sampai dengan 11 November 2020 di Rutan KPK Cabang Gedung ACLC KPK Kavlimg C1," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi virtual di Jakarta, Jumat (23/10).
Penetapan BBD sebagai tersangka telah dilakukan sejak 26 April 2019. Nurul mengatakan, penahanan BBD dilakukan guna kepentingan penyidikan. Dia menjelaskan, penahanan BBD dilakukan setelah dilakukan pemeriksaan terhadap 33 orang saksi dan dua orang ahli.
"Sebagai protokol kesehatan untuk pencegahan Covid-19, maka tahanan akan terlebih dulu dilakukan isolasi mandiri selama 14 hari di Rutan Cabang KPK tersebut," kaata Nurul lagi.
Dia mengungkapkan, perkara ini merupakan pengembangan dari kasus dugaan suap terkait usulan dana perimbangan keuangan daerah dalam RAPBN Perubahan tahun anggaran 2018 yang diawali dengan operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (4/5) lalu di Jakarta. Dalam operasi senyap ini, KPK mengamankan uang Rp 400 juta.
Perkara dimulai saat sekitar awal 2017. Budi diduga bertemu dengan Yaya Purnomo untuk membahas alokasi DAK Kota Tasikmalaya. Dalam pertemuan itu, Yaya diduga menawarkan bantuan untuk pengurusan alokasi DAK dan BBD bersedia memberikan fee jika Yaya membantunya mendapatkan alokasi DAK.
Yaya Purnomo merupakan mantan Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Permukiman Direktorat Evaluasi Pengelolaan dan Informasi Keuangan Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan. Selanjutnya pada Mei 2017, Budi mengajukan usulan DAK untuk Kota Tasikmalaya TA 2018 kepada Kementerian Keuangan sebesar Rp 32,8 miliar dan juga DAK Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Rp 53,7 miliar antara lain untuk bidang jalan senilai Rp 47,7 M dan bidang Irigasi Rp 5,94 Miliar.
Pada Agustus 2017 BBD kembali bertemu Yaya Purnomo. Dalam pertemuan tersebut, BBD meminta bantuan Yaya Purnomo untuk
peningkatan Dana DAK Tasikmalaya TA 2018 dari tahun sebelumnya. Yaya pun berjanji akan memprioritaskan dana untuk Kota
Tasikmalaya.
Setelah adanya komitmen Yaya Purnomo akan memberikan prioritas dana kepada Kota Tasikmalaya maka BBD diduga memberi uang Rp 200 juta kepada Yaya Purnomo. Sekitar Desember 2017, setelah Kementerian keuangan mempublikasikan alokasi DAK untuk pemerintah daerah, BBD diduga kembali memberikan uang Rp 300 juta kepada Yaya Purnomo melalui perantaranya.
Setelah ada pengurusan dan pengawalan anggaran oleh Yaya Purnomo, Kota Tasikmalaya memperoleh dana DAK TA 2018 untuk Dinas Kesehatan sekitar Rp 29,9 miliar, DAK prioritas daerah sekitar Rp 19,9 miliar dan DAK Dinas PU dan Penataan Ruang sebesar Rp 47,7 miliar.
"Kemudian sekitar April 2018, BBD kembali memberikan uang Rp 200 juta kepada Yaya Purnomo yang diduga masih terkait dengan pengurusan DAK untuk Kota Tasikmalaya TA 2018 tersebut," katanya.
Atas perbuatannya, tersangka BBD disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Terkait perkara ini, KPK juga telah menetapkan enam orang tersangka yakni Anggota Komisi XI DPR RI Amin Santono, Eka Kamaluddin sebagai swasta/perantara, Kepala seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Yaya Purnomo, Ahmad Ghiast sebagai swasta/kontraktor, Anggota DPR periode 2014-2019 Sukiman dan Pelaksana Tugas dan penanggung jawab Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Natan Pasomba.
"Keenamnya telah di vonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)," kata Nurul Ghufron.