DPR: Perpres TNI Kontraproduktif Kehidupan Berdemokrasi
Legislator menilai Perpres pelibatan TNI atasi terorisme kontraproduktif.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aturan yang ada di dalam Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) pelibatan TNI dalam menangani terorisme dinilai kontraproduktif dalam kehidupan sipil dan berdemokrasi. Aturan itu terkait dengan fungsi penangkalan, yang mencakup sejumlah bentuk operasi, yang dimiliki TNI dalam mengatasi terorisme.
"Ini kelihatan kontraproduktif dalam kehidupan sipil dan kehidupan berdemokrasi," jelas Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP, TB Hasanuddin, dalam diskusi daring bertajuk "Pelibatan TNI dalam Kontraterorisme", Jumat (23/10).
Hasanuddin mengatakan, dalam Pasal 2 Perpres tersebut dikatakan, dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) TNI melaksanakan fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan. Menurutnya, fungsi tersebut murni operasi militer, padahal pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme termasuk ke dalam operasi militer selain perang berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
"Kalau untuk menghadapi aksi terorise acuannya menggunakan UU Nomor 5 tahun 2018, itu hanya tiga bentuk operasinya, yaitu pencegahan, kontraradikalisasi, dan deradikalisasi. Dari tiga poin ini sangat berbeda dengan penangkalan, penindakan, dan pemulihan," kata Hasanuddin.
Kemudian, dalam Pasal 3 Perspres itu, penangkalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a itu dilaksanakan oleh TNI melalui operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi, dan operasi lainnya. Itu juga ia lihat sebagai aturan yang bermasalah.
Operasi intelijen, kata dia, durasinya sepanjang masa karena untuk menghadapi pasukan musuh operasi itu harus dilakukan terus. Hasanuddin mengatakan, operasi ini dilakukan untuk kegiatan perang, bukan operasi militer selain perang sebagaimana pemberantasan terorisme oleh TNI berada.
"Lalu operasi teritorial, operasi informasi, dan yang agak aneh adalah (poin) operasi lainnya, itu seperti apa, ini perlu penjelasan secara hukum itu apa," ujarnya.
Operasi-operasi itu juga ia sebut cukup membutuhkan ruang dan waktu yang relatif lama. Sementara berdasarkan Pasal 7 UU TNI, operasi yang dilakukan oleh TNI dalam memberantas terorisme bersifat temporer. Dalam UU TNI, pelibatan TNI dalam memberantas terorisme harus dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, yakni atas keputusan presiden dan persetujuan DPR.
Ada lima parameter yang presiden dan DPR perlu diskusikan dalam melakukan itu, yakni tujuan operasi, model operasi yang akan dilaksanakan, durasi, pembatasan penggunaan senjata, dan anggaran. Kalau melihat Pasal 3 Perpres tersebut, maka berbeda dengan ketentuan yang ada di UU TNI.
Di samping itu, Akademisi dan Peneliti Marapi Advisory & Consulting Bidang Keamanan dan Pertahanan, Beni Sukadis, pada kesempatan yang sama menyampaikan, fungsi penangkalan yang ada dalam Perpres itu rancu. Aturan itu juga berpotensi terjadinya tumpang tindih dalam proses pelaksanaannya.
"Menurut saya salah satu ayat ini terutama fungsi penangkalan sangat rancu dan ini bisa tumpang tindih," kata Beni.
Beni menerangkan, salah satu operasi yang dilakukan dalam fungsi penangkalan itu adalah operasi intelejen. Operasi intelijen sendiri sudah dilakukan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) yang bertugas sebagai agen intelijen nasional yang memiliki fungsi memasok analusa dan intelijen terhadap kelompok-kelompok yang dicurigai.
"BIN sebagai agen intelijen nasional yang punya fungsi pemasokan analisa dan intelijen terhadap kelompok-kelompok yang dicurigai dan ini juga bisa tunpang tindih dengan polisi, terutama Densus 88," kata dia.