Nasihat untuk Para Pendakwah yang Gemar Mencaci Maki
Islam mengajarkan agar berdakwah menghindari cacian dan makian.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dalam berdakwah seorang pendakwah tak boleh menyampaikan materi dakwah penuh dengan kebencian dan cacian kepada orang lain.
Pemimpin Pesantren Tahfizh Mutiara Darul Qur'an, Ustadz Teguh Turwanto, menjelaskan bagaimana metode dakwah sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam QS al-Naḥl ayat 125:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
"Serulah (manusia) kepada jalan tuhan-mu dengan hikmah dengan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya tuhanmu Dia lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."
Dari ayat ayat tersebut kata Ustadz Teguh, setidaknya terdapat tiga pokok pembahasan terkait metode dakwah, yaitu, al-hikmah, al-mau’idzah al-hasanah dan al-jidal.
Pertama, al-hikmah. Sebagian mufassir memaknai kata ḥikmah pada ayat tersebut sebagai ḥujjah atau dalil, adapun dalil yang dimaksud adalah dalil yang bersifat rasional, yaitu ḥujjah atau dalil yang tertuju pada akal. Dalam kata lain ḥikmah, argumentasi yang masuk akal dan tidak dibantah kebenarannya.
"Sehingga dengan argumentasi yang masuk akal inilah dapat mempengaruhi pikiran manusia. Sebab manusia dalam menangkap segala fenomena tentu tidak pernah meninggalkan peran akal," katanya.
Kedua, al-mau’idzah al-hasanah, sebagaian mufassir memaknainya sebagai seruan-seruan yang baik dan memberikan manfa’at. Namun tidak hanya itu, al-mau’idzah al-hasanah, juga dimakanai sebagai seruan atau peringatan yang baik sehingga dapat mempengaruhi perasaan manusia tatkala akal mereka diseru dan mempengaruhi pikiran mereka tatkala perasaanya diseru.
Dengan demikian, seruan tidak hanya diterima akal manusia, akan tetapi masuk dalam hati dan dapat diresapi sehingga mampu menggerakkan jiwa manusia kepada kebeneran yang didakwahkan.
Ketiga, al-jidal bi al-lati hiya aḥsan. Sebagaian mufassir menafsirkan kata tersebut dengan “debat”. Debat di sini dimaksudkan semata-mata untuk mengungkap kebenaran pemikiran, bukan untuk merendahkan atau menyerang pribadi lawan debat, dengan kata lain jidāl bi al-latī hiya aḥsan merupakan sebuah upaya dalam membela keyakinan yang benar dan tanpa menghinakan atau mencelakan lawan debat akan tetapi berusaha meyakinkan untuk sampai kepada kebenaran.
Ustadz Teguh menyampaikan, berdasarkan beberapa ulasan di atas, tiga metode dakwah yang diajarkan Alquran dalam QS al-Naḥl ayat 125, yakni al-ḥikmah, al-mau’idzah al-ḥasanah, jidal bi al-llati hiya aḥsan tidak ada yang menyebutkan bahwa dakwah haruslah dengan kekerasan dan paksaan. "Tiga metode tersebut sekaligus mengajarkan bahwa dalam berdakwah harus dengan jalan perdamaian dan kesantunan," katanya.
Di samping itu juga dakwah yang sesuai dalam ayat tersebut adalah dakwah yang tidak saja diterima akal dan argumentasinya benar. Akan tetapi dakwah juga harus dapat diresapi dan nikmati oleh hati umat manusia, bukan malah bertentangan dengan hati karena banyak ujaran kebencian dan cacian.
"Dakwah juga harus dapat diresapi dan dinikmati hati umat manusia. Sehingga manusia benar-benar tergerak dari lubuk hati yang terdalam untuk menuju kebenaran, bukan karena ketakutan, paksaan, atau bahkan intimidasi," katanya.