Kecaman untuk Macron Terus Meluas, Sekarang dari Afrika
Negara-negara Afrika protes pernyataan Macron.
REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- Organisasi Muslim di seluruh Afrika mengecam pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron baru-baru ini yang dinilai anti-Islam. Mereka menyatakan kemarahannya atas pernyataan meremehkan dari Macron yang menyalahkan Islam serta mendukung karikatur Nabi Muhammad.
"Kami mengecam keras perendahan martabat Nabi Muhammad dengan kedok kebebasan berbicara dan berekspresi," kata Ketua Dewan Tertinggi Muslim Kenya, Al Hajj Hassan Ole Nadoo, dalam sebuah pernyataan, dilansir di Anadolu Agency, Sabtu (31/10).
Nadoo mengatakan, kebebasan berbicara dan berekspresi tidaklah mutlak dan harus dilakukan dengan cara yang tidak merugikan kebebasan dan hak orang lain. Sementara menurutnya, karikatur yang menggambarkan orang-orang Yahudi di Prancis tidak akan ditoleransi dan pastinya akan membawa seseorang ke pengadilan untuk ditindak. Namun, kata dia, hal yang sama tidak terjadi pada komunitas Muslim di negara itu.
"Bias paling mencolok adalah bahwa meski meremehkan Islam dan mengejek simbol-simbolnya dianggap sebagai kebebasan berekspresi, tidak ada toleransi untuk kritik terhadap Israel, kebijakan Israel, Zionisme dan anti-Semitisme," bunyi pernyataan tersebut.
Lebih lanjut, Nadoo menyerukan boikot ekonomi atas produk-produk Prancis hingga Macron menarik pernyataan ofensif dan kebijakan anti-Islamnya. Baru-baru ini, Macron menguraikan rencana pemerintahnya untuk di antaranya melarang para imam di Prancis mengikuti pelatihan di luar negeri, membatasi sekolah di rumah (homeschooling), dan mengendalikan pendanaan keagamaan.
Di Afrika Selatan, Yayasan Awqaf Nasional mengatakan bahwa mereka geram dengan serangan ofensif saat ini terhadap Nabi Muhammad. Wakil CEO yayasan tersebut, Mickaeel Collier, mengatakan pernyataan yang tidak bertanggung jawab dan berbahaya dari Macron hanya akan memicu serangan Islamofobia terhadap komunitas Muslim.
"Kami juga mencatat dengan keprihatinan yang mendalam pernyataan Presiden Prancis Macron yang sangat kurang informasi bahwa Islam berada dalam 'krisis'. Islam adalah agama yang tumbuh paling cepat di dunia, bukan merupakan tanda krisis," kata Collier.
Ia juga menyerukan untuk segera menghentikan fitnah yang tidak beralasan terhadap para pemimpin Muslim seperti Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang dikatakan selalu membela martabat Nabi SAW dan hak-hak umat Islam.
Di negara Tanduk Afrika, Kepresidenan Somalia mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Kamis (29/10), bahwa pemerintah federal Somalia menyesalkan pelanggaran terhadap keyakinan, kesucian, dan teologi umat Muslim serta Nabi Muhammad.
"Setiap tindakan yang merugikan perasaan Muslim melayani kepentingan kelompok ekstremis, dan tindakan seperti itu harus dihindari karena mereka menciptakan kebencian sosial di antara orang-orang dari berbagai bangsa dan agama," demikian pernyataan Somalia.
Somalia lantas mengimbau para pemimpin dunia untuk berhati-hati dalam mempertimbangkan pernyataan yang menyinggung sentimen umat Islam, dengan membedakan antara kebebasan berekspresi dan pelanggaran kesucian agama.
Sebelumnya, umat Muslim di sejumlah negara juga bereaksi terhadap pernyataan Macron. Pada Rabu lalu, misalnya, ratusan orang di ibu kota Somalia, Mogadishu, memprotes pernyataan kontroversial presiden Prancis itu.
Sementara, Kedutaan Besar Prancis di Malaysia menyatakan Prancis tidak mendukung atau menstigmatisasi agama apa pun. Presiden Emmanuel Macron disebut hanya menargetkan Islam radikal yang harus diisolasi dan diperangi karena melanggar nilai-nilai negara.
Kedutaan Prancis mengatakan Presiden Macron tidak ingin "menyerang" komunitas Muslim di Prancis. Prancis diklaim mendukung menjamin hidup berdampingan secara damai dalam hukum dan prinsip republik, di tengah seruan oleh umat Islam untuk memboikot produk Prancis.
"Presiden dengan jelas menunjukkan akan bersikap keras terhadap generalisasi apa pun. Presiden membedakan sebagian besar warga Perancis yang beragama Islam dari minoritas militan dan separatis yang memusuhi nilai-nilai Republik, dan yang terlebih lagi menjadi beban bagi (Muslim yang sesungguhnya)," tulis pernyataan Kedutaan Prancis di Malaysia dilansir dari Bernama pada Jumat (30/10).