Budaya Ilmu dalam Islam dan Masalah Pendikotomiannya
Islam adalah agama yang mengajarkan budaya yang berdimensi sosial yang sangat tinggi
DR KH Masyhuril Khamis (Sekjen PB Al Washliyah) dan H.J. Faisal M.Pd (Mahasiswa Doktoral Program Pascasarjana UIKA Bogor)
Budaya Ilmu dalam Peradaban Islam
REPUBLIKA.CO.ID, Akar kata peradaban adalah adab. Sedangkan arti kata adab yang sebenarnya bukanlah sopan santun. Adab berarti ilmu, yaitu ilmu untuk memahami suatu budaya yang dilakukan, baik oleh pribadi maupun secara berkelompok berdasarkan nilai ibadah kepada Allah Subhannahu wata’alla.
Dalam pengertian dan pemahaman bahasa, secara etimologi adab berasal dari bahasa Arab yaitu addaba-Yuaddibu-ta’dib, yang artinya mendidik atau pendidikan. Dalam kamus Al-Munjid dan Al Kautsar, adab dikaitkan dengan akhlak yang memilki arti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat sesuai dengan nilai-nilai agama Islam. Sedangkan dalam bahasa Yunani, adab disamakan dengan kata ethicos atau ethos, yang artinya kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika.
Sementara arti budaya sendiri adalah merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus berdasarkan akal dan hasil pemikiran manusia. Jika akal dan pemikiran yang digunakan untuk menghasilkan sebuah budaya, berdasarkan akal dan pemikiran yang tunduk kepada Allah Subhannahu wata’alla, maka akan terciptalah sebuah budaya luhur yang berlandaskan keimanan dan ketaatan kepada Tuhan, Allah Subhannahu wata’alla. Sedangkan jika budaya dilahirkan dari akal dan pemikiran yang menentang ketentuan Allah, maka akan tercipta sebuah budaya yang kacau dan jauh dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Subhannahu wata’alla.
Budaya semacam ini sebenarnya adalah budaya yang merendahkan harga diri manusia itu sendiri. Karena sudah dapat dipastikan, jika sebuah budaya yang dihasilkan bukanlah sebuah budaya yang berlandaskan nilai-nilai keTuhanan, itu berarti budaya tersebut dilahirkan atau berdasarkan kepada hawa nafsu manusia itu sendiri.
Sebuah budaya yang baik dipastikan bersumber dan berdasar dari petunjuk Tuhan, dalam hal ini bersumber dari Al Quran dan sunnah Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam. Sebagai contoh, dalam wahyu yang pertama turun, Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam diperintahkan oleh Allah untuk membaca. Arti membaca di sini bukan saja diartikan secara verbal, yaitu membaca sebuah hasil karya tulisan, tetapi juga dengan arti membaca yang lain, yang berarti melihat berbagai macam kekuasaan Allah Subhannahu wata’alla di alam, dan mengeksplorasi ilmu yang terkandung di dalamnya.
Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam dan kita sebagai umatnya diperintahkan untuk mempunyai sebuah kebiasaaan membaca, baik secara qauliyah, maupun secara qauniyah, sehingga membaca bisa menjadi sebuah budaya yang tertanam kuat bagi para muslimin, dimana akhirnya menjadi sebuah ibadah yang bernilai pahala di sisi Allah Subhannahu wata’alla., karena perintah membaca memang merupakan hal yang bersifat wajib, yang otomatis memberikan pahala bagi hamba-Nya yang menjalankannya, dan merupakan sebuah dosa bagi hambaNya yang meninggalkannya. Dengan kata lain, membaca atau mencari ilmu sifatnya wajib dilakukan oleh kaum muslimin secara pribadi atau perseorangan (fardhu ‘ain).
Begitupun dalam ayat-ayat Allah yang lain, Allah Subhannahu wata’alla memerintahkan hambaNya untuk melaksanakan Sholat dan Zakat. Ini artinya, Allah memerintahkan kita hamba-Nya untuk tidak hanya menjadi manusia yang menyendiri, meskipun rajin beribadah kepada Allah Subhannahu wata’alla. Allah juga memberikan petunjuk untuk membudayakan zakat, dan bersedekah kepada sesama manusia. Artinya, manusia sebagai hamba-Nya harus menghidupkan budaya keperdulian sosial yang tinggi terhadap sesama.
Itulah mengapa sebenarnya peradaban dalam Islam sangat mudah dibangun. Mengapa demikian? Karena Islam adalah agama yang mengajarkan budaya yang berdimensi sosial yang sangat tinggi. Islam bukanlah agama yang bersifat pribadi. Karena itulah mengapa dunia barat tidak sanggup untuk mencegah perkembangan budaya dan peradaban Islam. Di satu sisi, mereka sangat takut Islam berkembang, tetapi di sisi lain mereka sendiri tidak mampu mencegahnya. Dan itulah mengapa juga aspek budaya sosial dalam Islam tidak boleh berkembang di barat. Karena ketika sebuah budaya sosial sesama umat Islam telah terjalin dan terbangun, maka secara otomatis ikatan ukhuwah umat Islam akan menjadi sangat kuat. Kekuaatan muslimin inilah yang sangat dihindari dan ditakutkan oleh masyarakat Barat, sejak dahulu hingga saat ini.
Peradaban itu sendiri berasal dari berkembangnya sebuah budaya dalam sebuah wilayah. Jika demikian, jelaslah bahwa peradaban yang Islam ajarkan kepada manusia, adalah peradaban yang dibangun dari sebuah budaya yang cinta ilmu. Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam pernah bersabda di dalam sebuah hadits yang sangat sering kita dengar, yaitu: ‘Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat’.
Ini artinya Islam menginginkan umatnya untuk terus mencari ilmu sepanjang hidupnya. Karena dengan ilmu itu, maka umat Islam dapat memahami cara yang benar atau syariat yang lurus dalam beribadah kepada Allah Subhannahu wata’alla. Kemudian pertanyaan berikutnya adalah, ilmu yang bagaimana yang harus kita cari sebagai umat Islam? Jawabannya adalah ilmu yang dapat lebih mendekatkan diri kita kepada Allah Subhannahu wata’alla (Ma’rifatullah), dan ilmu yang dapat memberikan manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi manusia lainnya (‘Ilman nafian).
Dan karena kecintaan terhadap ilmu itupula sebabnya, mengapa Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam mengganti nama kota Yatsrib menjadi Madinah. Madinah mempunyai makna sebagai agama yang beradab, yang dilandasi berbagai macam ilmu sebagai landasan untuk beribadah kepada Allah Subhannahu wata’alla. Dan terbukti, sejak kedatangan Rasulullah ke kota Madinah pada tahun 621 M, peradaban kota tersebut menjadi peradaban yang semarak dengan ilmu pengetahuan. Mengapa demikian? Karena peradaban dalam Islam tidak akan pernah bisa dilepaskan dari perkembangan ilmu dan sains. Juga karena Islam sendiri sangat mendorong umatnya untuk mendapatkan ilmu. Itulah mengapa Islam adalah satu-satunya agama yang rasional bahkan supra rasional.
Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 M. sampai abad ke-15 M (tidak sampai seabad setelah wafatnya Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam) . Ketika menjadi kiblat ilmu pengetahuan, pendidikan Islam yang berkembang adalah pendidikan Islam non-dikotomis yang akhirnya mampu melahirkan intelektual muslim yang memiliki karya sangat besar dan berpengaruh positif terhadap eksistensi kehidupan manusia sampai sekarang. Para cendikiawan muslim tersebut tidak hanya mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat dari berbagai sumber, tetapi juga menambahkan hasil-hasil penyelidikan dan penelitian yang mereka lakukan dan juga hasil pemikiran mereka ke dalam ilmu filsafat. Dengan demikian lahirlah ahli-ahli ilmu pengetahuan diberbagai bidang termasuk ahli filsafat (filosof-filosof islam).
Tradisi pengkajian ilmu dikalangan umat Islam dengan semangat, kecintaan dan kesungguhan dalam belajar, menghafal, diskusi, menulis dan mencari ilmu hingga ke lintas Negara, yang mana menjadi budaya yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam pada waktu itu. Maka wajar saja, buah dari peradaban ilmu tersebut, bermunculan tokoh-tokoh besar ilmuan dan ulama, seperti, Imam Al-Ghazali, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Kindi, As-Suyuthi, Ibnu Rusyd, Ibnu Nafis, Ibn Khaldun dan lain sebagainya. Mereka menjadi referensi umat dalam berbagai persolan kehidupan. Mereka memahami dan menguasai berbagai disiplin ilmu. Selain ilmu agama, seperti ilmu tafsir, hadist, aqidah, fiqh dan tassawuf, mereka juga menguasai ilmu fisika, sastra, kedokteran, kimia, sejarah, teknologi dan ilmu –ilmu umum lainnya. Mereka tidak memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum, meskipun ada perbedaan ruang kajian kedua ilmu tersebut. Menariknya, pengkajian ilmu pengetahuan dalam tradisi dan budaya Islam selalu totalitas dan selalu berpegang pada aspek ilahiyyah dan juga adab. Sehingga semakin luas ilmu yang diperoleh maka semakin tinggi pula amal yang dihasilkan.
Bahkan pada masa keemasan Islam saat itu, para kaum Yahudi dan Nasranipun selalu bergaya dan ingin berbudaya seperti gaya dan budayanya umat Islam, yaitu berilmu, cerdas, sopan dalam berbusana, dan senang dengan inovasi dalam ilmu dan sains. Mereka malu jika menonjolkan kebudayaan mereka sendiri, karena mereka menyadari bahwa budaya mereka sebenarnya masih teramat rendah jika dibandingkan dengan budaya umat Islam pada saat itu. Mengapa budaya mereka dinilai rendah? Karena orang Yahudi adalah orang-orang yang sebenarnya cerdas, tetapi mereka tidak mau mengamalkan ilmu mereka. Sehingga tidak ada budaya yang muncul dari sikap yang demikian (Al Maghduub). Sedangkan orang Nasrani adalah orang yang banyak amal, tetapi tidak memiliki landasan ilmunya. Sehingga dari sikap yang demikian, yang muncul adalah budaya yang tidak ilmiah, atau budaya yang berdasarkan prasangka dan hawa nafsu manusia semata (Ad Dhaliin). Sedangkan Islam adalah agama yang mengajarkan umatnya untuk berilmu, dan wajib mengamalkannya kembali demi kebaikan bersama (As Shirattal Mustaqiim).
Setelah itu masa keemasan itu mulai melayu, statis, bahkan terkesan mundur hingga abad ke-21 M. ini. Dan yang terjadi kini sebaliknya. Setelah 400 tahun kejatuhan peradaban dan budaya ilmu Islam yang sangat luhur, dan Barat memegang dominasi dan hegemoni budayanya di seluruh dunia saat ini, dan umat Islam malah mengikuti gaya dan budaya mereka. Saat ini mayoritas umat Islam, khususnya para kaum mudanya yang merasa diri mereka sebagai pribadi-pribadi yang modern, malah merasa malu dan enggan untuk menjalani kehidupannya dengan mengikuti perintah Allah Subhannahu wata’alla. dan sunnah Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam. Saat ini kita akui bahwa Barat telah berhasil menanamkan paham sekularisme dan liberalisme mereka kepada sebagian besar masyarakat dunia, tidak terkecuali terhadap umat Islam.
Alqur’an daan sunnah hanya dianggap sebuah dogma yang tidak ada kaitannya dengan ilmu pengetaahuan, sains, teknologi, dan kemajuan zaman. Padahal sejatinya, awal mula budaya ilmu pengetahuan dan sains berkembang di awal abad ke 7 M yang dipelopori oleh ilmuwan Islam, semuanya berlandaskan petunjuk dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam. Dasar peradaban keilmuan Islam adalah keimanan kepada Allah Subhannahu wata’alla. Maka akhirnya yang muncul adalah sebuah peradaban ilmu pengetahuan yang terbalut di dalam keimanan kepada Allah. Sehingga Ilmu-ilmu pengetahuan tersebut digunakan untuk beribadah kepada Allah. Misalnya, awal munculnya ilmu astronomi adalah untuk mempermudah mengetahui awal puasa. Penemuan Ilmu matematika adalah untuk mempermudah dalam pengukuran dan juga untuk mempermudah transaksi dalam berdagang. Perhitungan ilmu ekonomi untuk bermuamalah, dan lain sebagainya.
Dikotomi Ilmu Umum dan Ilmu Agama
Dari uraian di atas, kemudian muncullah sebuah pertanyaan, mengapa kejayaan budaya ilmu dalam Islam menjadi pudar saat ini, tepatnya seratus tahun setelah kejatuhan kekhalifahan Utsmani Turki pada tahun 1920-an?
Salah satu faktor penyebab terbesarnya adalah karena umat Islam telah terjebak ke dalam budaya Barat yang berhasil memisahkan antara ilmu pengetahuan umum dengan ilmu-ilmu ketauhidan dan ke-Islaman. Umat Islam menjadi lebih nyaman dengan tidak membawa urusan agama ke dalam urusan atau masalah kehidupan sehari-hari. Pendikotomian seperti inilah yang menjauhkan umat Islam dari agama Islamnya sendiri dan Tuhannya, Allah Subhannahu wata’alla.
Pola pendidikan dikotomi ini pula yang saat ini dirasakan oleh para generasi muda muslim dunia. Sehingga bisa diperkirakan yang terjadi selanjutnya adalah, lahirnya para generasi muslim yang tidak mempunyai ‘jiwa’ dan adab di dalam ilmu dan pemikiran mereka.
Sebenarnya, bagaimanakah awal pendikotomian ilmu ini terjadi di dunia barat? Sejarah kelam keagamaan dan peradaban barat pada abad 12 sampai dengan awal abad 17 telah menorehkan sebuah warisan kelam terhadap ilmu pengetahuan. Ketidakpercayaan ilmuwan terhadap agama mereka (Kristen) sendiri dalam mengatur bidang kehidupan dan keilmuan telah menghasilkan para ilmuwan yang berfikiran sekuler dan liberal. Ilmu pengetahuan yang mereka ciptakan berdasarkan hasil uji coba empiris telah menggeser kekuatan wahyu yang ada di dalam kitab suci mereka.
Para ilmuwan tersebut tidak ingin ada campurtangan agama dalam ilmu pengetahuan yang mereka ciptakan. Mereka menganggap bahwa wahyu yang ada di dalam kitab suci mereka tidak bisa menghasilkan sesuatu yang nyata dan bisa dimanfaatkan, serta dirasakan langsung kegunaannya. Belum lagi sifat dan perlakuan pemuka dan penyelenggara agama tersebut yang sangat tidak sesuai dengan apa yang ada atau diperintahkan dalam kebaikan wahyu kitab suci mereka (baca: inkuisisi gereja).
Berdasarkan trauma tersebut, mereka menganggap agama hanyalah penghambat bagi kemajuan system berfikir ilmu pengetahuan. Sehingga muncullah apa yang dinamakan dengan pemisahan atau pendikotomian antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum. Islam sendiri tidak pernah mengenal istilah dikotomi ilmu seperti ini. Islam selalu menyatukan atau mengintegralkan ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama Islam itu sendiri.
Ilmu pengetahuan umum yang berasal dari alam maupun dari hubungan sesama manusia (ilmu sosial), sejatinya adalah merupakan pengecawantahan atau terjemahan dari apa yang telah ada dalam kitab suci Al Qur’an.
Islam juga tidak pernah meninggalkan luka bagi pemeluknya dalam perkembangan ilmu pengetahuan di masa lalu. Justru Islam telah menorehkan sebuah kejayaan dalam pengintegrasian antara ilmu agama (tauhidiyyah) dengan ilmu pengetahuan umum (kauniyyah). Dibuktikan dengan munculnya ilmuwan-ilmuwan muslim yang sangat ahli dalam bidangnya masing-masing tetapi tetap menjadi seorang ahli ibadah kepada Allah Subhannahu wata’alla (abid dan alim).
Dikotomi Ilmu dan Dualisme Pendidikan di Indonesia
Apa yang terjadi saat ini adalah sebuah keadaan dimana umat Islam menjadi sangat terpengaruh dengan pendikotomian ilmu yang berasal dari peradaban sekuler barat ini. Khususnya umat Islam di Indonesia, dimana sistem pendidikan yang kita jalankan sekarang adalah sistem pendidikan dikotomi ilmu yang sekuler yang dibawa oleh bangsa barat, khususnya bangsa-bangsa penjajah Negara ini, seperti Belanda, Inggris, dan bangsa-bangsa sekutu mereka.
Persolaan dikotomi ilmu tersebut memang tak lepas dari kungkungan metodologi dan epistimologi keilmuan barat. Mengangungkan ilmu pengetahuan (akal) dan menyingkirkan peran agama didalamnya, memang bagian yang tak bisa terpisahkan dari metodologi mereka. Sejak periode modern, post-modern hingga saat ini identitas tersebut masih sangat melekat pada tradisi mereka.
Persoalan yang tetap aktual dibicarakan dalam dunia pendidikan di Indonesia hingga saat ini adalah dikotomi ilmu dan dualisme pendidikan. Hal ini disebabkan, masalah tersebut masih tetap saja terjadi, meskipun sudah cukup banyak pembahasan atau bahkan sudah ada tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya. Sebagian orang menyamakan maksud dari dikotomi dan dualisme tersebut, karena mereka melihat pada aspek kemenduannya. Tetapi, sesungguhnya ada hal prinsip yang membedakannya, jika dikotomi itu biasanya berkaitan dengan isi atau konten materi, sedangkan dualisme lebih ditujukan pada sistem pengelolaannya.
Wujud dari dikotomi ilmu itu adalah terjadinya pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum di sekolah/madrasah. Sedangkan wujud dari dualisme itu lebih ditekankan pada pengelolanya, seperti pengelolaan pendidikan di Indonesia ini yang berada di bawah dua kementerian, yaitu Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama.
Dampak dari dikotomi ilmu sebenarnya sangatlah besar, dan persoalan ini juga yang menjadi salahsatu faktor kemunduran pada umat Islam saat ini. Realitas tersebut sederhana dapat dilihat, misalnya dalam dunia pendidikan, banyak sarjana agama yang mengabaikan dan tidak paham ilmu umum sehingga tidak mampu menjawab problematika keilmuan dan tekhnologi modern, sehingga menghambat penyebaran nilai-nilai Islam dalam ranah yang lebih luas. Juga sebaliknya, banyak sarjana umum yang tidak paham agama, sehingga berefek pada dekadensi moral, dan tentu ini merusak nilai kemurnian ilmu itu sendiri. di sinilah terlihat ketidak seimbangan, ketika sarjana agama hanya mampu menguasi ranah Syariat dan sarjana umum yang hanya ahli di bidang umum.
Akibat Pendikotomian Ilmu
Kondisi pendikotomian ilmu juga disebabkan karena adanya keyakinan dalam masyarakat bahwa agama dan ilmu adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri, yang terpisah antara satu dan lainnya, baik dari objek formal maupun material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing bahkan sampai ke institusi penyelenggaranya. Ilmu tidak mempedulikan agama dan agama tidak mempedulikan ilmu.
Kaum skeptic mengklaim agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, padahal sains bisa melakukan hal tersebut. Agama bersikap diam-diam dan tidak mau memberikan petunjuk bukti kongkrit tentang keberadaan Tuhan. Di pihak lain sains mau menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan “pengalaman”. Agama tidak bisa melakukan hal tersebut dengan cara yang bisa memuaskan pihak yang netral (Haught, 2004: 4).
Lebih jauh mereka sering mengatakan bahwa agama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori atau keyakinan. Sedangkan sains, tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar. Selain itu agama terlalu bersandar pada imajinasi liar, sedangkan sains bertumpu pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional dan penuh gairah, dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif.
Dalam dunia pendidikan, pemisahan antara ilmu dan agama ini berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada umumnya. Umat Islam akan terus menglami dehumanisasi apabila sains, dan terutama penghampiran rasional terhadap problem-problem kemanusiaan, dipandang terpisah dari kebudayaan Islam.
Ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Umum dan ilmu-ilmu agama yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Agama secara terpisah, yang sekarang ini berjalan, sedang terjangkit krisis relevansi (tidak dapat memecahkan banyak persoalan), mengalami kemandekan dan kebuntuan (tertutup untuk pencarian alternatif-alternatif yang lebih mensejahterakan manusia) dan penuh bias-bias kepentingan. Untuk itulah diperlukan penyatuan epistemologi keilmuan sebagai sarana untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tidak terduga pada millennium ketiga serta tanggung-jawab kemanusiaan bersama secara global dalam mengelola sumber daya alam yang serba terbatas dan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.
Upaya Penghilangan Dikotomi Ilmu
Memperhatikan beberapa uraian di atas, patut diungkapkan di sini pernyataan Roger Graudy dalam bukunya Mencari Agama pada Abad XX:Wasiat Filsafat Roger Graudy, Jakarta: Bulan Bintang, 1986. “Teknologi, ilmu dan manajemen memang membawa kemajuan, tetapi gagal membawa kebahagiaan. Kekerasan adalah akibat kemajuan teknologi perang, kekuasaan pasar adalah buah dari penguasaan ilmu, kesenjangan adalah hasil ketimpangan manajemen. Semuanya tanpa iman. Transendental dalam arti spiritual akan membantu kemanusiaan menyelesaikan masalah-masalah modern.”
George Sarton pernah menulis: “Adalah tidak mungkin mempunyai pemahaman yang “benar” tentang ilmu-ilmu dalam Islam tanpa pemahaman yang mendalam tentang ajaran al-Qur’an. Hal demikian menjadi fenomena fundamental dan universal sepanjang abad pertengahan. Teologi menjadi inti agama sekaligus ilmu pengetahuan. Karena itu ilmu dan agama merupakan dua hal myang tidak terpisah, dan kita tidak bisa berharap memahami yang satu secara baik tanpa memahami bagian lainnya.” Yang menarik, bahasa al-Qur’an pada waktu itu telah menjadi sarana penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan
Setelah memperhatikan kebobrokan sains Barat sekuler yang dirundung cacat besar, maka perlu segera dirimuskan sains alternatif. Banyak tawaran dalam hal ini diantaranya: sains tauhidullah. Sains tauhidullah ini merupakan alternatif yang berdiri sendiri, berbeda dengan alur pikir yang ditempuh oleh sains Barat. Alur pikir sains tauhidullah dilakukan dengan observasi yang dipandu oleh Tuhan sendiri.
Landasan teori sains tauhidullah adalah bahwa setiap observasi harus dipandu dengan kalam Allah (mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring). Untuk itu diperlukan kemampuan yang baik dalam membuat premis-premis al-Qur’an. Menurut Soewardi perlu kerjasama yang erat antara pakar-pakar syari’ah dan pakar-pakar non syari’ah, kerjasama yang intensif dan saling asah, asih dan asuh.
Upaya lain dalam rangka perjumpaan sains dan agama adalah mengembangkan ilmu agama dengan bantuan ilmu pengetahuan modern. Karena ilmu agama adalah salah satu jenis ilmu manusia yang dapat berubah, berinteraksi, menyusut, dan mengembang. Termasuk di dalamnya untuk menafsirkan teks-teks agama, kita membutuhkan beragam jenis ilmu yang lain, agar pemahaman kita terhadap ayat suci tidak stagnan (Abdul Karim Soroush, 2002: 18-19).
Di sinilah tampak pentingnya mendialogkan wilayah sains dan teknologi serta wilayah kajian humaniora dan ilmu-ilmu sosial dalam studi–studi keagamaan. Gerakan rapprochment ini dapat juga disebut sebagai gerakan penyatuan atau reintegrasi epistemologi keilmuan. Upaya ini sangat diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tidak terduga pada milenium ke tiga serta tanggungjawab kemanusiaan bersama secara global dalam mengelola sumber daya alam yang serba terbatas. Pendekatan di atas bisa juga disebut dengan pendekatan multidisiplin dan interdisiplin.
Usaha untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu ini antara lain dapat dilakukan dengan: menyatukan lokasi pendidikan dan program kerjasama penelitian yang banyak melibatkan ahli dari berbagai disiplin ilmu dan juga program kuliah lintas disiplin.
Namun demikian hal yang lebih mendasar dari sekedar menggabungkan lokasi pendidikan adalah perlunya dibangun suatu ilmu yang mengombinasikan antara prinsip-prinsip ajaran metafisika dan moral islam dengan ilmu modern yang berorientasi pada pengalaman empiris.
Kuntowijoyo (2003: 67-69) juga mengusulkan perlunya integrasi ilmu dan agama, yang ia sebut sebagai ilmu-ilmu integralistik, yang merupakan paradigma Islam. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan penelitian secara sistematis. Penelitian ini dapat berupa: (1) grand theory (merumuskan pendapat-pendapat al-Qur’an, misalnya mengenai gejala-gejala sejarah), (2) studi teori (tokoh-tokoh Islam mengenai salah satu cabang humaniora, seperti al-Ghazali tentang musik, Iqbal tantang puisi.(3)Studi lapangan, berupa generalisasi, seperti “Tari Islam Tradisional” di Asia Tenggara, studi komparatif, dan studi kasus. Dengan pemahaman mengenai adanya struktur transendental al-Qur’an, yaitu gambaran kita mengenai sebuah bengunan ide yang sempurna mengenai kehidupan, suatu ide murni yang bersifat metahistoris, Al-Qur’an sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Premispremis normatif al-Qur’an dapat dirumuskan menjadi teori-teori yang empiris dan rasional. Dari ide-ide normatif ini, perumusan ilmu-ilmu dibentuk sampai kepada tingkat empiris, dan sering dipakai sebagai basis untuk kebijakankebijakan aktual..
Ayat-ayat Al-Quran sesungguhnya merupakan pernyataan-pernyataan normatif yang harus dianalisis uantuk diterjemahkan pada level yang objektif, bukan subjektif. Ini berarti al-Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis. Sebagaimana kegiatan analisis data akan menghasilkan konstruk, maka demikian pula analisis terhadap pernyataan-pernyataan al- Qur’an akan meghasilkan konstruk-konstruk teoretis al-Qur’an. Elaborasi terhadap konstruk-konstruk teoritis al-Qur’an inilah yang pada akhirnya merupakan kegiatan Qur’anic theory building, yaitu perumusan teori al-Qur’an.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan uraian di atas adalah bahwa persoalan dikotomi ilmu pengetahuan yang terjadi dalam dunia pendidikan secara global dan belum mendapatkan solusi pemecahannya secara komprehensif.
Terpisahnya ilmu pengetahuan sains umum dan ilmu pengetahuan agama merupakan hasil ketidakpercayaan masyarakat dunia Barat terhadap agama yang mereka anut, dan terhadap gereja sebagai penyelenggara agama mereka tersebut. Para ilmuwan Barat yang mulai mengenal ilmu sains pada awal abad ke 14 menganggap bahwa agama mereka hanyalah menjadi penghambat bagi kemajuan sains itu sendiri, dengan segala dogma yang terkandung di dalamnya.
Islam sendiri sejak kelahirannya 1500 tahun yang lalu tidak pernah mengenal istilah dikotomi ilmu pengetahuan. Semua ilmu yang terdapat di dunia ini merupakan ilmu Allah yang satu, berdasarkan ayat ayat Kauniyah dan Kaulliyah Allah Subhannahu wata’ala.
Sistem pendidikan di Indonesia sendiri masih bersifat dikotomis, dengan dipisahnya ilmu-ilmu pengetahuan umum dengan ilmu agama itu sendiri. Dengan kata lain, sifat sekulerisme masih digunakan dalam system pendidikan nasional.
Jadi logikanya, perdaban ilmu itu muncul ketika peradaban keimanan kepada Allah Subhannahu wata’alla.sudah demikian kuatnya. Sesungguhnya Allah Subhannahu wata’alla. telah menyediakan sumber ilmu di dunia ini lewat Al Qur’an, dan lewat alam beserta isinya. Kita harus menggali seluruh ilmu yang terkandung di dalam Al Qur’an dan alam semesta ini dengan menggunakan akal yang Allah berikan kepada kita, sebagai manusia yang kamil. Melalui ilmu yang kita dapatkan, kita bisa menciptakan sebuah kebudayaan yang luhur dalam bidang ilmu, sains, teknologi, seni, dan lain sebagainya. Semuanya harus kita budidayakan sebagai jalan untuk menuju peradaban yang diridhoi oleh Allah Subhannahu wata’alla..
Wallahu’alam bissowab