Umat Islam di Prancis, Korban Stigmaisasi dan Sekularisme?
Prancis dinilai sebagai rumah yang tak lagi nyaman buat umat Islam
REPUBLIKA.CO.ID, PARIS— Muslim Prancis mengungkapkan kekhawatiran yang terus meningkat selama beberapa pekan terakhir. Sorotan kecurigaan yang diarahkan pada mereka semakin terasa setelah serangan yang menewaskan Samuel Paty, disusul pernyataan Presiden Emmanuel Macron yang berupaya 'membersihkan' Islam di Prancis dari para ekstremis, atau istilah yang dia sebut sebagai separatisme Islam.
Di tengah meningkatnya tuduhan dan serangan baru oleh orang luar, termasuk pembunuhan tiga orang pada hari Kamis (29/10) di sebuah Gereja Katolik di Nice, posisi Muslim di Prancis semakin terpojokkan. Namun di antara sekian banyak Muslim Prancis yang memilih menundukkan kepala, ada pula yang memilih untuk melawan stigma negatif yang ditargetkan pada Islam.
Hicham Benaissa, sosiolog Islam mengatakan bahwa keadaan Prancis semakin memburuk bagi umat Muslim. Bahkan dalam beberapa komunitas Islam, pembicaraan tentang meninggalkan Prancis mulai terdengar.
“Ini mengkhawatirkan bagi umat Islam. Situasinya tegang. Ada ketakutan," kata Hicham yang dikutip di Times of Israel, Selasa (2/11).
Meski menjadi agama terbesar kedua di Prancis, dan merupakan populasi Muslim terbesar di Eropa Barat, namun diperkirakan 5 juta Muslim di negara itu masih harus berjuang keras untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan penuh dari lingkungannya. Diskriminasi masih membayangi Muslim Prancis sekaligus menambah beban hidup mereka yang sejatinya sudah cukup berat.
Sistem sekularisme yang awalnya ditujukan untuk menjamin kebebasan beragama, dalam beberapa tahun terakhir dijadikan tameng untuk membatasi bahkan mengubah nilai-nilai keagamaan. Rencana "separatisme" Macron sendiri, mencakup perombakan sebagian dari cara Islam diatur di Prancis, dari pelatihan para imam hingga manajemen asosiasi Muslim.
Alhasil seruan boikot produk Prancis bermunculan di negara-negara Muslim yang menjadi pasar ekspor terbesar Prancis. Macron diklaim sebagai penyebar sentimen anti-Muslim, terutama saat memuji guru yang dipenggal di dekat Paris, dengan membela hak Prancis untuk membuat karikatur Nabi Muhammad.
Samuel Paty, seorang guru sejarah di Paris, pada 16 Oktober menjadi korban penyerangan oleh seorang pengungsi remaja asal Chechnya karena menunjukkan karikatur Nabi Muhammad di kelasnya. Kejadian ini disusul serangan yang menewaskan tiga orang di sebuah gereja di kota selatan Nice, yang diduga dilakukan oleh seorang pemuda Tunisia.
Serangkaian pertumpahan darah ini sejatinya telah terjadi sejak Januari 2015, tepatnya saat Charlie Hebdo, sebuah majalah Prancis memasang karikatur yang melecehkan Nabi Muhammad di sampul mereka. Akibatnya, 12 orang pekerja terbunuh. Serangan selanjutnya terjadi 25 September lalu, seorang pengungsi asal Pakistan dilaporkan melukai dua orang di lokasi bekas kantor Charlie Hebdo.
Meski Imam Masjid Ar-Rahma Nice, Otman Aissaoui, telah mengungkapkan kecaman dan kutukannya serangan tidak manusiawi tersebut. Namun serangan dan pembunuhan yang melibatkan Muslim semakin dan terus memperkeruh citra Islam dan membentuk distigmatisasi yang masif.
"Sekali lagi, kami distigmatisasi, dan orang-orang bergerak begitu cepat untuk 'menyimpulkan' semuanya," kata Aissaoui, mencerminkan ketidaknyamanannya yang mendalam dari perlakuan yang diterima Muslim Prancis.
"Muslim tidak bersalah atau tidak bertanggung jawab (atas kejadian ini)…. Kita tidak perlu mengubah diri kita sendiri,” kata Abdallah Zekri, seorang pejabat Muslim Dewan Perancis.
“Kehadiran Islam bukanlah sesuatu yang diramalkan oleh masyarakat Prancis,” kata Tareq Oubrou, seorang imam terkemuka di Bordeaux.
“Sekularisme selalu menjadi tabir asap… cara tersembunyi untuk menangani pertanyaan tentang Islam,” kata Benaissa.
Ketegangan Prancis-Muslim semakin meningkat setelah adanya revisi undang-undang sekularisme yang berisi larangan memakai jilbab dan penutup wajah (cadar, niqab, burqa, dan lain-lain) di ruang kelas dan tempat kerja.
Rim-Sarah Alouane, kandidat doktor di Universitas Toulouse Capitole, melakukan penelitian tentang kebebasan beragama dan kebebasan sipil. Dia menuliskan bahwa sejak 1990-an, laïcité, konsep masyarakat sekuler Prancis, telah dipersenjatai dan disalahgunakan sebagai alat politik untuk membatasi visibilitas simbol-simbol agama, terutama yang Muslim, katanya.
“Melalui sistem ini, seharusnya negara dapat memastikan untuk menghormati dan sepenuhnya merangkul keragamannya dan tidak menganggapnya sebagai ancaman,” katanya.
Kemunculan Islam di Prancis tidak luput dari perhatian sayap kanan yang mengkambinghitamkannya sebagai ancaman bagi identitas Prancis. Muslim awalnya datang ke Prancis untuk bekerja. Pada 1970-an, imigran Muslim yang bekerja di pabrik mobil, konstruksi, dan beberapa sektor vital lain cukup memegang posisi penting bagi industri Prancis, sehingga banyak Muslim yang memutuskan untuk menetap dan menghapus keinginan untuk 'pulang', dan selama bertahun-tahun, masjid telah berkembang biak, begitu juga sekolah Muslim.
Olivier Roy, seorang ahli top, mengatakan kepada komite parlemen bahwa kebanyakan Muslim telah bekerja untuk berintegrasi ke dalam budaya Prancis. Mereka 'memformat' diri mereka sendiri agar sesuai dengan Prancis. Namun di sisi lain, mereka masih saja tidak mendapatkan pengakuan.
Macron mengakui dalam pidatonya bahwa Prancis memikul tanggung jawab penuh untuk "ghettoisasi" Muslim di proyek perumahan, tetapi menegaskan bahwa undang-undang yang direncanakan bukanlah tentang menstigmatisasi Muslim. Namun stigmatisme adalah bagian dari kehidupan di Prancis bagi banyak orang, mulai dari dipilih oleh polisi untuk pemeriksaan ID hingga diskriminasi dalam pencarian pekerjaan.