Normalisasi Sudan dan Arab dengan Israel, Nasib Palestina?
Normalisasi Sudan dan Arab dengan Israel berdampak pada politik Timur Tengah
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Firmanda Taufiq*
Keputusan Sudan untuk menormalisasi hubungannya dengan Israel adalah kebijakan krusial. Apalagi sebelumnya Sudan juga sudah melakukan pembicaraan dengan Israel. Pertemuan untuk menormalisasi hubungan Israel-Sudan sudah terjadi, dimulai dari pertemuan PM Netanyahu dan Ketua Dewan Transisi Sudan Abdel Fattah al-Burhan di Uganda, Februari lalu.
Selanjutnya, dibukanya teritorial udara Sudan bagi maskapai penerbangan Israel yang terbang dari Israel menuju Afrika dan Amerika Latin. Pihak Sudan juga sudah membuka diri bagi pejabat Israel untuk mengunjungi Khartoum kapan saja, seperti kunjungan para pejabat tinggi Israel ke Khartoum pada Rabu lalu. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa beberapa kebijakan Sudan atas upaya membuka normalisasi telah dilakukan secara intensif.
Hingga, akhirnya Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara resmi, Jumat (23/10/2020), mengumumkan bahwa Israel dan Sudan telah setuju menormalisasi hubungan diplomatiknya. Tetapi, proses normalisasi akan dilakukan secara bertahap, berbeda seperti halnya normalisasi hubungan Israel-Uni Emirat Arab dan Israel-Bahrain. Hal ini dikarenakan karena ada beberapa ketentuan yang mesti dipenuh pemerintah Sudan atas kesepakatan normalisasi tersebut.
Sejak lawatan Mike Pompeo ke beberapa negara Arab untuk melobi terjadinya kesepakatan normalisasi antara Israel-Arab. Sebenarnya, Sudan juga menjadi salah satu negara yang dikunjungi dan diajak melakukan normalisasi dengan Israel. Tetapi, waktu itu melalui Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok, keputusan untuk melakukan normalisasi ditolak mentah-mentah.
Sementara itu, negara yang segera menyambut ajaran normalisasi adalah Uni Emirat Arab (UEA). Keputusan UEA menormalisasi adalah terkait persoalan kerjasama ekonomi dan stabilitas keamanan kawasan. Mengingat musuh dan ancaman UEA adalah Iran. Sehingga, bermitra dengan Israel merupakan upaya untuk memperkuat stabilitas keamanan negaranya.
Lalu, Bahrain pun menyusul kebijakan untuk menormalisasi dengan Israel. Keputusan Bahrain dinilai sebum kebijakan dalam negeri untuk memperkuat stabilitas ekonomi dan membangun aliansi kekuatan. Tetapi, keputusan Bahrain tentu tidak lepas dari restu Arab Saudi untuk menerima ajakan normalisasi tersebut.
Atas keberhasilan lobi Amerika Serikat untuk membujuk negara-negara Arab tengan Israel. Artinya, negara-negara lainnya bisa ditaklukkan, mesti harus ada deal politik yang harus diajukan. Kebijakan Sudan untuk menormalisasi hubungan diplomatik merupakan keputusan untuk memperbaiki situasi ekonomi Sudan yang kompani-camping. Di lain pihak, reformasi politik Sudan juga tengah membuat negara tersebut harus bangkit dari keterpurukan.
Tidak hanya itu, proses dimulainya normalisasi hubungan Israel-Sudan juga berhasil setelah Arab Saudi bersedia membayar 335 juta dollar AS kepada keluarga korban ledakan bom di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Tanzania dan Kenya 1998 yang menewaskan 200 orang serta ledakan kapal USS Cole di lepas pantai Aden pada 2000. Melalui Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman (MBS) memberikan persetujuan kucuran dana itu untuk mempercepat normalisasi hubungan Israel-Sudan.
Fenomena normalisasi Arab-Israel telah bergulir dan membuat konstelasi politik Timur Tengah pun lambat laun sedikit berubah. Orientasi politik yang dibangun beberapa negara Arab, seperti UEA, Bahrain, dan Sudan pun berbeda, yakni menyangkut persoalan ekonomi. Meskipun, kepentingan Palestina tidak ditinggalkan dalam keputusan penting tersebut.
Jika fenomena normalisasi Arab-Israel pun akan terus terjadi dan semakin banyak negara Arab yang melakukannya. Maka, hal yang terpenting, hak-hak dan apa yang mesti Palestina dapatkan harus terpenuhi. Tanpa ada lagi tindak penindasan dan upaya aneksasi atas Tepi Barat. Skenario normalisasi tetap berjalan, tetapi kepentingan Palestina tetap harus diperjuangkan dan dicari solusi terbaik.
Namun, jika upaya normalisasi Arab-Israel hanya sebuah "intrik politik" Amerika Serikat-Israel. Tentu, situasi ini hanya mementingkan dalam negeri beberapa negara yang menormalisasi dengan Israel semata. Bahkan, kebijakan yang diambil pun akan memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan perjuangan Palestina.
Tampaknya, kondisi sulit ini harus segera diajukan solusinya. Jika keberlanjutan normalisasi tetap bergulir. Maka, dialog dan diskus intensif antar negara dalam menemukan titik konklusi yang nyata harus dilakukan.
Mengingat peran dan kontribusi Liga-liga Arab dalam persoalan normalisasi pun dipertanyakan, maka kesepakatan normalisasi seharusnya mampu direspons dengan baik dan permasalahan konflikt Israel-Palestina mampu diurai bersama.
Tetapi, jika normalisasi Arab-Israel atas pasar keuntungan masing-masing negara yang telah menyepakati keputusan tersebut. Maka, hal itu tidak jauh akan mengupayakan persoalan ekonomi dan meniadakan persoalan kemanusiaan, bahkan penindasan akan terus merajalela.
Untuk itu, normalisasi harusnya menjadi jawaban atas persoalan konflik Israel-Palestina, bukan malah menjadi masalah baru bagi stabilitas keamanan Timur Tengah. Jika hal itu terjadi, maka pelbagai kompleksitas dan konflik kawasan tidak akan pernah usai.
*Mahasiswa Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta