Sidebar

Larangan Menggambar Wajah Nabi Muhammad

Tuesday, 03 Nov 2020 16:54 WIB
Larangan Memvisualisasikan Wajah Nabi Muhammad. Foto: Ilustrasi Rasulullah

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Di berbagai belahan dunia, banyak pemimpin dan masyarakat di negara-negara berpenduduk Muslim tengah mengecam Presiden Prancis Emmanuel Macron. Ini lantaran pernyataan Macron yang dinilai menilai Islam.

Macron pernah menyebutkan bahwa karikatur Nabi Muhammad adalah bagian dari kebebasan berpendapat. Ada alasan yang membuat umat Islam marah dengan pernyataan Macron itu.

Karena, dalam Islam, tidak dibenarkan untuk memvisualkan wajah Nabi Muhammad. Mengenai hal ini, Direktur Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan alasan itu di salah satu diskusi daring di rumahfiqih.com.

Melukis atau menggambar Nabi Muhammad SAW disebutnya telah melewatkan satu masalah penting tentang kedudukan nabi. Muhammad disebutnya diutus Allah SWT tidak hanya sebagai pembawa wahyu, tapi juga seluruh seluruh penampilan, gerak-geriknya akan menjadi sumber hukum dalam syariat islam.

"Semua yang beliau katakan, semua yang beliau lakukan, bahkan segala penampilan dan gerak-gerik beliau. Semuanya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa beliau adalah sosok resmi utusan Allah SWT. Maka penampilan beliau dalam ekspresi wajah, senyum, marah, tertawa, bahkan cara beliau berpakaian, menyisir rambut, merapikan jenggot dan kumis serta hal-hal kecil lainnya, tidak bisa dilepaskan dari sumber hukum dalam syariah Islam," jelasnya.

Nabi Muhammad sebagai salah satu sumber hukum ini, tentunya harus diinformasikan dengan valid dan otentik. "Tidak boleh hanya semata didasarkan pada khayal, ilusi, imajinasi serta perkiraan subjektif dari orang yang tidak pernah bertemu langsung dengan beliau," katanya.

"Dalam menjadi validitas syariah, apapun perkataan yang dianggap sebagai perkataan Rasulullah SAW, pasti akan kita tolak mentah-mentah kalau tidak ada jalur periwayatannya yang sahih dan valid. Dan apapun perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan beliau SAW, juga akan kita buang ke tong sampah, selama tidak ada jalur periwayatan secara resmi dan memenuhi standar baku dan prosedur yang benar," jelasnya.

Karena hal tersebut, penggambaran sosok nabi juga tidak boleh atas dasar khayalan atau menerka-nerka. Gambar atau lukisan ini akan diartikan sebagai hadist palsu yang harus dijauhi.

"Haram hukumnya kita mengatakan bahwa gambar itu adalah gambar Nabi Muhammad SAW. Karena sama saja kita membuat dan menyebarkan hadits palsu kepada orang-orang. Padahal ada ancaman berat tentang orang-orang yang menyebarkan hadits palsu."

Nabi Muhammad bersabda:


مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ

Artinya: "Siapa meriwayatkan suatu hadits dariku dan dia tahu bahwa itu adalah dusta, maka dia adalah salah satu dari para pendusta." (HR. Muslim)

Lantas, bagaimana jika ada lukisan nabi karya para sahabat?

Ia juga menyebut jika memang ada lukisan nabi yang diambil dari karya para sahabat tentunya bisa dipertanyakan tentang kualitas kemampuan lukisan sahabat hingga seberapa otentik lukisan tersebut setelah ribuan tahun.

"Pertama, seberapa ahli sahabat itu dalam melukis wajah orang? Jangan-jangan lukisannya malah tidak mirip dan berbeda dari aslinya. Sampai disitu saja masalah lukis melukis wajah beliau SAW sudah jadi masalah," ungkapnya.

"Kedua, anggaplah ada sahabat yang berprofesi sebagai pelukis ulung dimana lukisannya amat mirip dengan aslinya, tetap saja masih ada masalah. Masalahnya adalah siapa yang bisa menjamin lukisan itu terjaga keasliannya hingga 15 abad ini?," tambahnya.

Kendati demikian, hingga kini juga belum ada riwayat tentang sahabat nabi yang berhasil melukis sosok Rasulullah dengan gambar yang sama percis. Ia juga menyebut hingga kini tidak pernah ada kasus dimana ada lukisan manusia yang diklaim sebagai wajah Rasulullah SAW sepanjang sejarah umat Islam.

"Kesimpulannya, para ulama telah ijma' tentang haramnya melukis wajah Rasulullah SAW, apapun alasannya, bahkan meskipun barangkali tujuannya mulia. Dan bab pelarangannya bukan semata karena penghinaan, melainkan karena kepalsuan dan tidak adanya jaminan validitasnya," jelasnya.

Baca Juga


Berita terkait

Berita Lainnya